Sunday, April 23, 2006

Third Story : On The Sixth

On The Sixth



Pukul 06:06 p.m.

Suara itu begitu kerasnya sampai membuatku berpaling ketakutan. Aku segera melayang di atasnya, ingin melihat siapa kali ini yang bernasib buruk. Tapi panas sekali disana, aspal di depanku tampak berair dimataku, membuatku semakin gerah. Jalan ini biasanya bersih dan damai, tidak ribut. Tapi sekarang pecahan kaca tersebar dimana-mana, dan bahkan sebuah mobil sedan yang penyok dan terparkir ceroboh di trotoar tidak bisa mengalihkan pandanganku pada seorang gadis yang tergeletak diam di tengah jalan. Darah menetes di pelupuk matanya yang tertutup. Ah, dia rupanya yang bernasib buruk.
Aku terbang menjauh. Aku benci karena aku bisa melihat segalanya. Dunia ini sudah terlalu kecil, bahkan untuk seekor lebah.
Enam detik sebelumnya...
Ada seorang gadis muda dua puluh tahunan berpakaian biru muda dan jeans gelap sedang bergegas menelusuri trotoar dengan semangatnya. Jika ada orang yang baru saja melihatnya, tidak sulit baginya untuk tahu kalau gadis itu sedang terburu-buru. Langkahnya yang cepat mungkin hanya bisa diimbangi oleh seruannya pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, pada telepon genggamnya.
“Ya ampun, honey, angkat donk teleponnya...”
Namun hanya dengungan nada lemah yang terdengar membalas ke telinganya, sebelum akhirnya sebuah rekaman suara menyambutnya, “Hai, ini Jo. Tinggalkan pesan setelah beep dan aku akan meneleponmu kembali.”
“Jo, erm.. dengar, aku sudah banyak berpikir. Aku benar-benar minta maaf karena sikapku tadi siang. Aku mau kamu tahu kalau aku akan menemanimu mulai dari sekarang, tak peduli apapun yang terjadi. Aku sedang dalam perjalanan kesana. Busnya sudah menunggu di seberang jalan ini. Jangan menyerah ya... dan Jo, aku sayang ka..”
Sebuah sedan menabrak dengan suara keras yang hanya bisa ditutupi suara lengkingan rem mobil itu sendiri. Jalan yang sepi itu tidak lagi tampak indah. Aprille terlempar ke tengah jalan bahkan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya terakhirnya.
Enam menit sebelumnya...
Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan. Musim semi telah tiba, daun bermekaran dimana-mana, angin sejuk menggelitik telinga dan kicau burung bersenandung merdu. Tetap saja, Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan.
Aprille duduk termenung di bawah sebuah pohon tua. Tangannya menggenggam sebuah apel merah yang ranum. Ia tidak berniat sedikitpun untuk memakannya. Tapi ia memandangi apel itu dengan penuh ingin tahu. Lalu, tanpa peringatan apa-apa, dia melempar apel itu vertikal ke atas. Dia menangkapnya lalu melemparnya kembali.
“Sif, apa yang kau lakukan?” Aprille berbalik dengan kaget. Apelnya jatuh menggelinding ke entah mana.
“Sam.” Sahut Aprille mengenali lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Entah kenapa dia merasa begitu kecewa melihat Sam. Tapi Aprille sengaja menyembunyikan kekecewaannya dan berkata, “Oh, aku hanya sedang mencari udara segar... dan berpikir.”
Sam memandang Aprille dengan seksama. Sudah terlalu lama dia mengenal Aprille dan Jo sampai dia bisa tahu kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu Aprille sekarang.
“Sif, kau baik-baik saja?” Aprille melirik Sam dengan cepat, seakan Sam telah berbuat sesuatu yang salah. Tapi dia tidak akan bisa membohongi Sam, karena Sam lalu berkata, “Ini soal Jo, kan?”
Aprille diam saja, tidak mengangguk, tidak menggeleng.
“Dengar Sif, Aku sudah kenal Jo sejak dia kecil. Dia tidak pernah bahagia seumur hidupnya. Tapi waktu dia pindah ke kota ini dan bertemu denganmu, dia menjadi orang yang berbeda. Dia menjadi... bahagia.” Aprille memandang Sam seperti baru pertama kali dia bisa melihat dengan jelas. “Aku tahu dia mencintaimu, dia selalu mencintaimu. Dan apapun yang dikatakannya padamu yang mungkin melukaimu, aku yakin di dalam hatinya dia tidak bermaksud begitu, dan dia tidak pernah ragu akan cintamu.”
Perkataan Sam sepertinya telah membuka suatu jendela masa lalu Aprille. Dia bisa melihat masa-masa indah yang dia dan Jo lewati bersama. Dan seperti disambar petir dia mendadak menyadari sesuatu yang sudah dia lupakan, sesuatu yang begitu sederhana.
“Kamu benar Sam. Ya ampun Sam, mengapa aku bisa begitu bodoh? Apa yang kunantikan dengan duduk disini? Dari semua tempat yang bisa kukunjungi, aku datang ke taman ini dengan apel di tanganku... Tentu saja aku cinta padanya. Oh, tidak. Aku tak percaya aku meninggalkan dia di sana sekarang.. sendirian...”
Dan Aprille Schiffer berlari meninggalkan Sam yang terbengong, meninggalkan keraguannya, dan berlari mengejar cintanya. Mendadak saja, Gristle Park tidak lagi terasa begitu menyedihkan, sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu dia sadari.

***

Dua puluh enam kilometer dari tempat itu, di kamar paling ujung dari rumah sakit paling megah di kota itu, berbaring seorang lelaki dua puluh tahunan yang sedang menatap sebuah cincin berlian di dekapan kedua tangan lemahnya. Pikirannya terlukis di permukaan batu itu, karena dia berani sumpah kalau dia bisa melihat wajah Aprille menjawab ya setiap kali dia berpikir akan rencananya melamar gadis itu malam ini.
Jo menyimpan kembali cincin itu dalam sakunya. Ia juga sudah banyak berpikir. Ia mencintai Aprille dengan segenap hati, selalu dan selamanya. Dan dia juga tahu Aprille merasakan yang sama padanya. Oleh karenanya, Jo merasa begitu malu pada dirinya telah meragukan cinta Aprille.
Kepalanya sakit. Jo tahu dia harus istirahat sekarang. Tadi dia kebanyakan berpikir. Dia hampir saja memaksa otaknya untuk menghancurkan diri sendiri. Tidur. Dia butuh tidur.
Jo memeluk bantal warna biru kesukaan Aprille, yang setiap malam juga menemaninya untuk setia berada disamping Jo. Ah, andai waktu lebih cepat berlalu, dan aku akan bisa segera bertemu lagi dengan Sif. Aku sudah rindu padanya. Jo berpikir dengan pelan. Dia masih merasa sakit yang menusuk di kepalanya. Tapi dia juga punya Aprille yang berkelebat dalam benaknya.
Rasa sakit itu datang lagi. Jo tahu dia harus tetap berpegangan dengan Aprille. Jangan lepaskan tangannya.
Rasa sakit itu datang lagi. Begitu hebatnya sampai rasanya kepala Jo sudah membara.
Aku ingat Aprille. Waktu dia tersenyum. Waktu dia tertawa. Waktu dia bernyanyi.
Rasa sakit itu menyerang lagi. Aprille. Aku ingat Aprille...
Enam hari sebelumnya...
Ketika Aprille masuk ke kamar Jo, banyak hal yang menyerangnya sekaligus sehingga dia tidak bisa mencerna semuanya. Apakah itu bayangan beberapa hari lalu ketika Jo ambruk di hadapannya dan dibawa ke rumah sakit ini dalam keadaan yang mengkhawatirkan, atau apakah itu bayangan Dokter Phillip yang menyarankan operasi Cyrosurgery saat dia menyuarakan kecemasannya akan keadaan Jo, atau apakah itu hanya amukan kesedihan Aprille setiap kali ia harus melihat lelaki yang dicintainya berbaring lemah? Disela semuanya itu, Aprille langsung bisa melihat raut muka Jo di tempat tidur. Jo menoleh padanya.
“Hai..” sahut Aprille riang, namun segera diakhiri dengan nada penuh kebingungan. “Apa yang terjadi? Mereka bilang tidak akan mengeluarkan kamu dari ruang operasi paling tidak tiga jam lagi? Kamu baik-baik saja?”
Jo tidak menjawab Aprille. Dia menoleh ke arah jendela, dimana terpampang kesibukan kota yang sudah beberapa hari ini ditinggalkannya.
“Jo?” Ulang Aprille, kian mendesak. Aprille mendeteksi sesuatu di ekspresi Jo yang dia tahu Jo tidak bisa mengeluarkannya. Atau tidak tega.
“Mereka memberiku tujuh hari. Sif, tujuh hari.” Seperti ada yang merogoh jantung Aprille dan menghentakkannya kasar kebawah, Aprille tidak bisa berkata apa-apa. Dia bergegas mendekati Jo dan memeluknya. Tidak dia sadar air matanya mengalir jatuh ke bantal kesukaannya.
“Oh, tidak.”
“Dokter Phillip bilang operasi pendinginan itu tidak berhasil. Mereka hanya bisa menangkat sebagian.”
“Jo, jangan berkata lagi.” Sahut Aprille pilu. “Kamu akan bisa melewati ini. Kita akan.. kamu pasti akan sembuh.”
“Tidak, Sif. Sudah lama ini kuketahui. Dan kini saatnya sudah tiba. Tolong jangan menangis. Aku tak mau kamu menangis. Kamu lebih cantik kalo sedang ketawa.” Tapi Aprille tidak punya sedikit keinginan pun untuk tertawa. Dia tidak tahu harus berkata apa. Maka dia hanya diam dan mendekap Jo seerat mungkin, seakan yakin kalau begitu Jo tidak akan meninggalkannya.
Aprille merasakan tangan Jo membelainya beberapa waktu kemudian.
“Sif, aku sudah banyak berpikir. Kurasa kamu lebih baik tidak disini. Aku.. Aku tak mau melihatmu menyia-nyiakan waktumu bersamaku, kamu masih punya hidup di luar sana. Aku rasa...”
Aprille tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, “Apa maksudmu? Mana bisa aku meninggalkan kamu?”
“Itulah maksudku, dan kamu bisa, Sif. Aku tidak mau kamu seharian disini dan meninggalkan perkerjaanmu. Aku tak mau kamu tidak tidur dan sakit karena harus merawatku. Aku tak mau kamu tidak bisa menikmati kehidupan karena harus bersamaku.”
“Aku tidak ‘harus’ bersamamu. Jo... aku memang mau bersamamu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang begitu?” umpat Aprille, yang benar-benar terkejut. “Jo, ini benar-benar konyol, hanya karena seorang dokter bodoh meramalkan hidupmu tinggal tujuh hari, bukan berarti aku akan meninggalkanmu...”
“Justru itu. Semuanya telah berubah. Aku tidak akan ada lagi untukmu. Minggu depan, aku mungkin sudah mati! Dan aku tak mau kamu ada disana.. kamu seharusnya bahagia...” Aprille menggeleng tak percaya apa yang didengarnya, tapi dia tidak pernah melihat wajah Jo yang begitu sedih dan marah seperti itu. “Kupikir jika operasi ini berhasil, aku akan... padahal aku sudah merencanakannya.. tapi semuanya tidak berarti lagi.. tolonglah, Sif.. pergilah.”
“Tapi aku sayang padamu, Jo... dan kamu juga begitu...”
“Bukankah itu yang membuat semua ini menjadi lebih sulit?”
Jo berpaling. Ia bisa mendengar isak Aprille yang semakin lama semakin menjauh. Aprille sudah pergi. Selesai sudah semuanya. Jo meraih sakunya dan mengeluarkan sebuah cincin berlapis berlian. Ia menatap cincin itu lama sekali sebelum akhirnya dia menutup matanya yang basah.
Enam bulan sebelumnya...
“Jo, apa kamu sudah baca buku yang kupinjamkan itu?”
Waktu itu sedang awal musim dingin. Semua orang lebih suka berdiam di rumah mereka dan nonton TV, tapi Jo dan Aprille sudah berjanji tidak boleh berdiam di rumah sekalipun badai salju menerjang. Mereka harus pergi ke Gristle Park, berdua merayakan Anniversary hubungan mereka yang keenam, dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya.
“Oh, sudah. Tentang apa sih itu? Tiga bab pertama pikiranku selalu bilang ‘Ini kan The Hobbit’, dan dua bab selanjutnya kepalaku bilang ‘Bukan, ini sih bukunya Robert Ludlum’.”
“Haha, siapa yang sangka kamu tidak mengerti judul bukunya waktu kamu baca ‘Men are from Mars, Women are from Venus’.” Sela Aprille santai, mendorong Jo yang sejak tadi tersenyum-senyum. “Hey, tidak sangka yah kita sudah bertahan enam tahun?”
“Iya, kamu sudah jadi tua tuh.” Gurau Jo.
“Hah? Beraninya kamu taruh jinx di anniversary kita...”
“Tenang aja deh, Sif. Hari ini tidak akan kita lupakan.. kecuali kalau kita mati kedinginan.”
Aprille tertawa.
“Kepalamu masih sakit?” tanyanya tiba-tiba, dengan muka cemas seperti biasanya.
“Oh, tidak lagi. Thanx. Kurasa itu hanya migrain.” Jawab Jo. Lalu dia menggenggam tangan Aprille dan menuntunnya sampai dibawah sebuah pohon oak tua. “Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Sif.”
Baru saja Aprille menerbitkan wajah serius-hendak-mendengar-nya, telepon genggam Jo berdering keras, bunyinya lebih menembus tulang dari pada dinginnya udara.
“Oh, Dr Phillip. Mungkin dia mau kasih aspirin.”

***

“Hei, jadi apa kata Dr. Phillip?” tanya Aprille beberapa jam kemudian. Mereka sudah kembali di rumah Jo. Jo baru saja menemui Dr. Philip, yang ternyata ingin bertemu langsung dengan Jo.
“Katanya hasil pemeriksaannya sudah keluar.” Seru Jo lemah. “Dan tampaknya tidak bagus.” Jo memandang Aprille dengan penuh arti.
“Apa maksudmu?” Aprille melirik Jo dengan hati-hati, mencoba memecahkan teka-teki yang terhampar di wajah Jo.
“Katanya... katanya.. aku punya peliharaan tumor di otakku. Terus tumbuh.” Aprille mendekap mulutnya, shok.
“Ini gila. Kamu tidak percaya dia kan? Maksudku.. ayo kita cari pendapat kedua. Apa yang dia sarankan?”
“Menurut dia, kalau ini tumor yang ganas, aku mungkin tidak punya kesempatan. Dan kalau ini sesuatu yang ganas, maka aku hanya punya hitungan bulan... bukan tahun.”
Mereka berpandangan, lama sekali.
“Maaf aku sudah merusak Anniversary kita.” Kata Jo akhirnya.
“Tidak kok. Ngomong-ngomong apa sih yang mau kamu bilang tadi di taman?” tanya Aprille hati-hati.
“Oh, itu tidak penting lagi..” Jo tampak berpikir, tapi Aprille segera bertindak.
“Jo, aku cinta padamu.” Lalu dia tersenyum manis sekali.
“Aku juga, Sif.”
Enam tahun sebelumnya...
Aprille Schiffer paling suka belajar fisika sendirian di sebuah taman di dekat rumahnya. Dia tidak pernah mengundang teman-temannya kesana, karena dia suka kesendirian. Gristle Park menjadi semacam Fortress of Solitude miliknya. Disana, dia bebas melamunkan apa saja yang dia suka. Kadang, dia suka berpikir kalau dia bisa mendapat ide brillian macam si Newton sehingga suatu saat dia bisa menciptakan suatu rumus yang menggemparkan dunia.
Aprille Schiffer juga dikenal sebagai kutu buku di kelasnya, penggemar pelajaran Fisika yang digosipkan lebih menyukai fisika daripada cowok. Padahal dia sudah berumur 17 tahun. Sebenarnya, Aprille tidaklah demikian. Hanya saja, dia memang suka dengan fisika, dan itu selalu memberinya kesan kutu buku yang dalam.
Hari ini dia melempar-lemparkan apel dibawah sebuah pohon oak yang tua, mencoba memahami gravitasi seperti si Newton. Sialnya, dia ternyata bukan satu-satunya orang di taman itu. Seorang cowok sejak tadi meliriknya, ingin tahu apa yang sedang dia lakukan. Sampai suatu saat, ketika cowok itu tidak tahan lagi, dia menyapa gadis itu..
“Kamu ngapain sih lempar-lempar apel ke pohon?”
Aprille terlonjak kaget karena tidak menyadari dia sedang diawasi. Ia menoleh dan matanya memandang seorang lelaki jangkung yang berwajah seperti seekor singa.
“Hah?” seru Aprille. Apelnya terlempar keras dan memantul mengenai kepalanya sendiri.
“Kamu mesti hati-hati sebelum mati karena sakit kepala.” Guraunya tajam.
“Siapa kamu?” Balas Aprille sedikit kesal.
“Mengapa kamu selalu duduk di bawah pohon ini?” tanya balik si lelaki itu.
“Hey, jawab dulu donk.” Umpat Aprille, “Aku memang selalu kesini, kok. Kamu siapa? Aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya.”
“Oh, Aku baru di kota ini. Rumahku dekat taman ini, dan aku suka suasana damai disini. Kalau besok aku kesini, apakah kamu datang lagi?” tanya lelaki itu dengan cepat.
“Mungkin. Emank kenapa?” balas Aprille masih cuek.
“Aku belum punya teman disini, apakah kamu mau jadi temanku?” tanya cowok itu tanpa basa basi.
“Kenapa kamu mau berteman denganku?”
“Karena kamu punya apel.” Katanya dengan polos.
Keduanya tertawa bersamaan. Aprille melihat cowok itu duduk di rumput di dekatnya. Ekspresinya begitu tenang.
“Kenapa kamu belum juga memberitahu namamu?” tanya Aprille heran. Dia tidak pernah melihat seorang cowok yang begitu aneh.
“Oh, aku lupa. Maaf. Kamu bisa panggil aku Jo.” Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Aku Sif.” Sahut Aprille.
“Nama macam apa Sif itu?” umpat cowok itu menyebalkan.
“Nama macam apa Jo itu?” balas Aprille tersenyum, dan dia juga bisa melihat senyum terlukis dengan lembut di wajah cowok itu.
“Bagaimana kalau kita ulangi lagi?”
Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Hi, Namaku Jonathan Fayes. Tidak ada yang panggil aku Jo.”
“Hi juga, aku Aprille Schiffer. Tidak ada yang panggil aku Sif.”

——o0OÔO0o——

All Characters described are merely fiction.
Aprille Schiffer© and Jonathan Fayes© created by Bam, 2006

Komentar Penulis :
Ini mungkin adalah cerpen paling sulit yang pernah kutulis. Aku sudah berencana menyusun sebuah karya tentang cinta yang begitu pahit sejak beberapa minggu silam. Ide-ide untuk cerita ini berdatangan secara terpisah, namun pantas untuk ditunggu. Aku menyelesaikan cerpen ini dalam waktu 4 jam, dan menyempurnakannya selama 2 jam kemudian. Keunikan cerpen ini terletak pada kronologik ceritanya, bagaimana waktu bisa menipu. Hidup berubah, dan cinta bukanlah sebuah pawai kemenangan.
Aku ingat saat-saat ketika aku mencari nama yang cocok untuk si lelaki -Jo. Aku berpikir lama sekali sebelum akhirnya mendapatkan nama yang paling cocok untuk karakter tersebut. Juga, karakter Sam awalnya bersifat antagonis, namun ceritanya akan terlalu panjang jika aku harus memasukkan satu tokoh penting lainnya kedalam cerita ini. Sama untuk kisah ini, sungguh aneh bagaimana suatu hal bisa berubah.

Bam.

Trivia
- Sif adalah kependekan dari Schiffer.
- Kata Gristle berarti tulang rawan.
- Cyrosurgery adalah metode pembedahan tumor di hati dengan nitrogen cair pada suhu -200oC dimana pada suhu itu sel-sel tumor menjadi mati.
- Setting dan latar kisah ini adalah NewYork bulan April 2011 pada awal cerita, yang membawa Sif kembali ke November 2004 pada akhir cerita.
- Narator pada bagian prolog kisah ini adalah seekor lebah.