Monday, November 19, 2007

HIDUP / MATI [PART ONE]

Ini adalah bagian pertama cerita "HIDUP / MATI". Bagian Kedua ada disini.
This is the first part of the story "HIDUP / MATI". The second part is right here.

All Characters and Events are mere fiction. All rights belong to Bambang Superwan.

----------------------------------------------------------------------------------------

Tubuhku tertarik mundur dengan kecepatan tinggi, kedua bola mataku terkabur oleh kepekatan yang kental dan berpasir, namun tak ada butir-butir yang mengelus kulitku. Aku tidak merasa panas, tidak merasa dingin. Buta akan posisi tubuhku, kubayangkan diriku seperti tersedot dalam sebuah pipa raksasa, tak berakhir, tak berujung...


***


Aku membuka kelopak mataku, sebelum sepancar sinar kuning yang menyilaukan memandikan retinaku. Tapi sinar itu memudar perlahan-lahan, menyisakan sebuah bayang-bayang kehitaman, sungguh kabur. Meskipun demikian, aku tahu persis apa yang ada di balik bayangan itu, karena beberapa detik kemudian, ia tersenyum padaku.

“Kamu kelihatannya melongo.” suaranya merambat sampai ke telingaku, lambat namun pasti. “Benar-benar seperti saat pertama kali kita bertemu, kamu ingat tidak?”

Aku tidak langsung menjawabnya, tapi mengubah ekspresiku dan melihat sekeliling. Sinar kuning itu berasal dari lampu terang di atas tempat tidurku, dimana aku sedang terbaring. Dan bayangan hitam itu adalah wajah Shella, yang tersenyum dan sempurna, hal terbaik yang bisa kudapat pada saat-saat seperti ini.

“Tentu saja aku ingat, Shel, hari itu adalah hari terbaikku, aku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia, dan sejak itu hidupku berubah 180 derajat. Semuanya karena aku bertemu denganmu.” aku merasa seperti ada sebuah kehangatan menjalar di sela-sela pembuluh nadiku, memberiku kekuatan. “Berjanjilah padaku kamu tidak akan meninggalkanku, Shella.”

Shella mendekatkan duduknya dengan tubuhku, lalu dengan nyaman, ia meraih jemariku, menggumpalkan mereka dengan telapak tangannya, dan aku merasa kehangatan yang tadi kurasakan saling berbagi dengan kehangatan yang ia punya. Aku merasa satu, kami serasa satu.

Tapi segalanya mulai terasa redup, volume suaranya juga mengecil.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, janji.”

***

Aku membuka kelopak mataku, segera setelah sepancar sinar kuning menembus masuk memandikan retinaku.

“Nyata sekali... tadi benar-benar terasa begitu nyata.” Aku mencoba mengepalkan tanganku, mencari-cari kehangatan yang tadi menenangkan jiwaku, tapi jari-jariku terasa begitu dingin. Jantungku berdegup kencang, tapi aku tahu, aku tahu tidak ada bayang-bayang hitam di depan mataku kali ini. Aku melihat sekeliling, sinar kuning itu berasal dari lampu yang berada di atas kepalaku, yang seperti tubuhku, terbaring di atas sebuah tempat tidur serba putih. Ruangan itu kosong, sunyi dan hening.

Aku mengulurkan tangan kananku ke udara, perlahan dan menyakitkan. Kegelapan menyelubungiku, menghadiahkan kesadaran akan apa yang telah terjadi, yang dalam sekejap berubah menjadi banjir kecemasan. Aku panik, aku mencoba untuk berdiri. Aku harus menemukan dia, apa yang terjadi dengan Shella?

“Arrgh!”
Rasa sakit yang menyengat menyerang pinggangku, aku menyentuhnya dengan tangan kananku, yang baru pada saat itu kusadari, ada sepucuk jarum dibawah kulitku, dibawah sebuah perban putih di lenganku. Mereka juga sudah membalut pinggangku. Tapi aku tidak peduli. Satu-satunya hal yang penting di dunia ini adalah menemukan Shella.

Lalu pintu kamarku terbuka dan segera dua perawat dan E.L menerobos masuk.

“Alex, kamu tidak boleh bergerak dulu.” aku dengar suara teman baikku bergetar dalam kepedihan.

“E.L, dimana Shella?” pintaku dengan nafas berat. Dua perawat itu memaksaku untuk kembali berbaring.

“Dia di OR 1, dia sedang di operasi.” sahut E.L pelan, seakan membenci dirinya sendiri karena memberitahuku hal ini.

“Apa dia akan baik-baik aja?”

“Keadaannya lebih kritis dari kamu, Lex, tapi dokter bilang mereka akan berusaha sebaik mungkin.”

Aku memalingkan wajahku, menatap lampu kuning yang lama-lama menjadi putih, putih menyilaukan. Tapi aku tidak memejam mataku, atau bahkan memutar arah pandang.

“Semua itu salahku. Aku seharusnya tidak membawa Shella ikut diatas mobil itu. Kupikir dia akan senang, kupikir ia akan kukejutkan...”

“Alex, jangan salahkan dirimu, kamu tahu kalau semua ini adalah kecelakaan. Truk itu datang menghantam kalian tiba-tiba. Kalau ada seseorang yang bisa disalahkan, supir truk itulah yang pantas.”

Aku hampir tidak mendengarnya. Kilasan balik peristiwa itu begitu jelas di benakku. Hantaman kuat entah dari mana, suara klakson yang memekikkan, di sela-sela jeritan Shella, ketika tubuhku terasa berputar dan berat. Dalam sepersekian detik, Shella dan aku, mata kami bertemu...

Semuanya terjadi begitu cepat.

“E.L, apa yang terjadi dengan aku? Aku merasa jari-jariku dingin sekali.”

Dua perawat itu memandang E.L dengan penasaran, E.L sendiri tampak membatu, bisu seribu bahasa. Aku tidak bisa mengartikan pandangannya, tapi jelas-jelas E.L tahu sesuatu. Tapi akhirnya dia membuka mulutnya.

“Kamu dengar dari dokter saja, ya?”

“Tidak, E.L, aku mau mendengarnya dari sahabatku... katakan saja... apa aku akan mati?”

“...”

“E.L...”

“Sejujurnya, dokter bilang, selain merusak ginjalmu, logam yang tertancap dari pinggang my tadi juga mengakibatkan sesuatu pada jantungmu.” E.L mengakhiri kata-katanya dengan suram.

Aku memindahkan jemariku, menyentuh dada kiriku tanpa sadar. Tertunduk, aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali,

“Apa maksudnya?”

“Sebagian kecil otot jantungmu kehilangan kinerjanya sama sekali, dan dokter ahli bedah saraf bilang kalau ia tidak bisa memperbaikinya tanpa resiko besar kamu gagal jantung.”

“Apa maksudnya itu, E.L?”

“Maksudnya, Alex... jantung kamu kehilangan kekuatan perlahan-lahan setiap harinya, dan pada akhirnya akan berhenti berdetak.”

Sunyi senyap melanda ruangan itu. Jika ada angin berhembus, tidak ada yang bisa merasakannya. Aku memandang wajah teman baikku sepenuh-penuhnya seperti aku belum pernah melihat dia sebelumnya.

“Apa Shella tahu akan hal ini?” aku bertanya. E.L memandangku, aku mencoba menilai ekspresinya selama beberapa detik.

“Tidak.” katanya akhirnya. “Dia tidak tahu.”

“Aku mau menemuinya, E.L.”

***


Aku tidak ingat lagi kapan aku pernah merasa sesedih, se-menyesal, dan se-ngeri ini. Ketika aku melihat keadaan Shella, aku tahu semuanya tidak akan sama lagi. Tapi semua kecemasan itu tidak cukup kuat untuk mengalahkan kecemasanku yang paling utama. Aku benar-benar berharap Shella bisa bangun lagi. Operasi yang ia jalani sekarang adalah operasi pertama dari serangkaian operasi untuk memperbaiki kembali sistem saraf di tulang belakangnya. Ia menderita sangat parah, dan tidak ada yang bisa kulakukan untuknya sekarang, selain menatap wajahnya yang terlelap, tak sadarkan diri.

Dokter bedah di OR1 memarahi perawat yang membawaku kesana, bersikeras supaya aku keluar dari sana. Maka mereka membawaku kembali ke kamarku. Aku sendiri merasa sangat lemah, seperti akan jatuh dan membiarkan diriku terkapar di lantai rumah sakit selamanya... Hanya satu hal yang membuatku tetap bertahan, hanya satu orang yang membuatku bertahan, dan dia sendiri sedang berjuang di kamar sebelah...

Beberapa waktu berlalu tanpa aku mengerti... menit, jam, hari... semuanya tampaknya tak penting lagi, dan masih saja aku belum bisa bertemu dengan Shella yang sadarkan diri. E.L terus-menerus mendukungku dan memberiku semangat. Suatu sore, dia bilang kalau Shella sudah sadarkan diri dari operasi pertamanya, tapi aku harus menunggu beberapa saat sebelum boleh bertemu dengan dia. Aku tidak mendengar perkataan E.L yang berikutnya karena aku begitu lega Shella—setidaknya—selamat dari operasinya yang paling berbahaya. E.L tampaknya tidak menyadari bahwa aku tidak begitu mendengarnya lagi, karena dia sedang tegang menceritakan operasiku berikutnya, tentang sesuatu bernama L-VAD yang dipasangkan dalam tubuhku untuk membantu jantung lemahku memompa darah. Aku hanya mengangguk tanpa sadar.


Malam itu rasa sakit yang menyerang dadaku tak terbayangkan. Mesin yang berkedip-kedip di sebelah tempat tidurku berteriak-teriak mengakibatkan perawat-perawat dan beberapa dokter menyerbu masuk.

“Dia kena serangan jantung.” aku mendengar seseorang berkata.

“Shella...” aku mengerang.

“Dok, dia sudah sadarkan diri.”

“Shella, bawa aku.... kepadanya...” aku terus mengerang tapi tampaknya mereka terlalu sibuk untuk menanggapinya.

“Kita harus melakukannya sekarang, Penny, siapkan OR untukku.”

“Baik Dok.”

Aku melihat cahaya kuning kehitam-hitaman mengedip-ngedip di kepalaku, hampir seperti ketika mataku menatap sesuatu yang menyilaukan. Sementara tusukan jarum menguji ketahanan jantungku, aku disorong menuju ruang operasi. Dengan mata yang terpejam, aku terus menyeru-nyeru nama Shella.

“Dia tidak bisa tenang. Perawat, bawa pasien 602 ke OR. Kita akan membutuhkan bantuannya menenangkan dia.”

Aku mendengar seseorang berlari, pintu dibuka, dan kemudian aku tak tahu apa-apa lagi.

***

Ketika mataku bisa dibuka, hal pertama yang aku lihat adalah wajah Shella yang pucat dan suaranya adalah suara terindah yang pernah kudengar.

“Hai.”

Ia tampak lelah, terbaring di sebelahku. Walau kami terpisah tempat tidur, dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku yang dingin. Aku merasa hangat. Dia tersenyum padaku seolah itu adalah pagi yang indah, awal hari yang baru, dan kami hanya berdua.

Namun, dengan luka bakar di lengan kanannya, keningnya yang bengkak, dengan pakaian pasien kami yang sama jeleknya, dengan suara perawat-perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan operasi, kami tahu kalau waktu kami untuk bercakap-cakap tidaklah banyak.

“Shella, sorry yah...”

“Hei...” Shella menggenggamku dengan lebih erat, seakan-akan mengatakan bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah salahku. Aku merasa rasa sakit di dadaku berkurang sedikit. “Kamu akan baik-baik saja, Alex, dan kita akan bersama lagi.”

“Shel, hehe...” mendadak aku tertawa. Aku tak tahu mengapa aku melakukannya, tapi Shella juga tertawa bersamaku dan aku merasakan pandangan dokter-dokter di belakang kami memandang dengan penasaran.

“Jangan mati yah...”

“Haha... Ouch...” aku menyentuh dadaku dengan tanganku yang lain, yang sakit karena tawa tadi. “Aku tak akan mati, ini hanya operasi... kamu sudah mengalami punyamu, dan sekarang giliranku.”

“Lex, aku ingin kamu tahu kalau kamu akan sembuh... 100%.”

Perkataannya membuatku ingat akan apa yang dikatakan E.L, bahwa aku tidak akan bisa sembuh seperti sedia kala lagi, karena lambat laun, jantungku akan berhenti.

“Shel, apa kamu takut akan kematian?”

“Alex, jangan bilang begitu...” Aku menggeleng-geleng, tetap memandang mata coklatnya yang hangat.

“Jawablah Shel...” Shella memandangku dengan serius.

“Tidak, tapi aku takut kehilangan kamu... jadi jangan memikirkan yang seperti itu yah...” sahutnya manis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu... dan aku tahu kamu juga begitu... Shel... tahu nggak, beberapa malam lalu aku memimpikanmu lo... aku rasa waktu kecelakaan itu terjadi... kamu duduk di samping aku, dan kamu baik-baik saja... dan kamu menggenggam tanganku... dan rasanya hangat sekali... seperti sekarang, yah... dan aku tahu... aku tahu kita tidak akan berpisah... walaupun jika aku mati... karena kamu akan menemukan aku, iya kan?”

“Alex...”

“Kalau aku pergi duluan, aku mau kamu berjanji, Shel... berjanjilah kalau kamu tidak akan mati di tempat ini.. kamu akan terus hidup... dan kamu akan menikah dengan orang lain...”

“Alex, hentikan...” aku melihat air mata menggenangi bola matanya. Shella tidak tahu kalau aku tidak punya harapan lagi, tapi aku tahu... dan aku ingin dia mendengar apa yang aku bilang... “hentikan Alex, kamu akan baik-baik aja... kamu tidak akan mati.. karena dokter akan menjagamu baik-baik...”

“Dengarlah, Shel... kamu nanti akan punya keluarga... punya anak dan cucu... dan ketika waktumu sudah habis di dunia ini... aku akan menunggu mu... maka berjanjilah padaku satu hal... carilah aku nanti...”

“Alex...”

“Carilah aku nanti... jangan makan....jangan pergi... carilah aku sampai kita bertemu lagi... sampai ketika aku menggenggam tanganmu lagi... carilah aku nanti, karena aku akan menunggumu. Berjanjilah, Shella.”

“A.. Aku janji...”

Dan ketika suaranya merambat memasuki hatiku, aku tersenyum padanya... karena aku tahu kalau semuanya akan baik-baik saja... untuk pertama kali sejak kecelakaan ini... aku akhirnya bisa tenang.

Shella terisak, ketika dokter berusaha melepaskan kami dan membawaku menuju meja operasi untuk dibius... aku tidak mau melepaskan tangan Shella, dan begitu juga dia... Pandangan di matanya menjelaskan semuanya... aku tahu ... saat itu dia juga tahu kalau aku tidak akan selamat dengan jantung ini...

Rasa sakit tubuhku membuatku tidak bisa berbicara lagi... Dadaku memberontak, ototku menjerit, dan aku terpaksa menutup mataku. Penglihatanku semakin kabur, dan ketika kelopak mataku hampir bersentuhan... wajah Shella yang menjadi bayang-bayang hitam... sama seperti didalam mimpiku... memudar perlahan-lahan...

***

Aku terbangun di sebuah kegelapan luas tak berlantai dan tak berdinding. Buta dan sunyi, aku berusaha bergerak-gerak. Tubuhku masih ada... aku telanjang. Aku mencoba melihat kakiku, hendak mengecek aku menginjak apa, tapi aku tidak bisa menemukannya dengan mataku. Aku bisa menyentuh kakiku, tapi sepertinya aku tidak bisa menyentuh lantai.

Lalu aku ingat akan Shella. Aku ingat kalau dia ada bersamaku di ruang operasi tadi... dimana dia? Aku mencoba meneriakkan namanya. Tak ada suara yang keluar. Aku berteriak lebih keras. Tapi tetap tidak ada suara yang keluar. Mungkin mulutku tak bisa bergerak sama sekali. Lalu sesuatu terjadi di sudut kiri atas penglihatanku... atau mataku... di sudut kiri atas dari ketidakadaan, ada sebuah lubang. Lingkaran putih yang menyilaukan. Sungguh kontras dari kegelapan yang pekat ini.

Aku berusaha mendekatinya. Aku tidak berjalan, tidak merangkak, tidak melayang, tidak melakukan apa-apa, tapi aku berusaha mendekatinya. Dan lubang itu semakin dekat semakin besar. Aku menggapainya, memasukkan jariku kedalamnya, lalu lubang itu bertambah besar. Bertambah besar dengan sungguh cepat. Dalam sedetik, (ataukah pada saat itu juga?) aku disinari oleh warna putih... Aku memicingkan mataku... lalu sadar kalau mataku masih tertutup.

Dengan jariku, aku merasakan kelopak mataku masih ada, jadi aku membukanya.

Dengan kaget, aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku sedang melihat tubuhku berada satu meter lebih dibawahku. Aku sedang melayang. Aku melihat beberapa dokter sedang panik karena ada garis mendatar yang bising disebelah tubuhku. Aku melihat mereka menyuruhku untuk bangun. Mereka menyetrumku dan menyuntikkanku dengan sesuatu.

Aku mencoba untuk berkata,
“Hei, aku tidak apa-apa... aku disini. Aku diatas kalian.”
tapi masih juga tidak ada suara yang terdengar. Aku melihat sekeliling. Ternyata aku mengapung di sudut kiri atas ruangan itu, tapi aku tidak bisa melihat tangan dan kakiku. Aku mencoba menggerakkan tanganku, menyentuh jemariku dengan jari-jariku. Aku bisa melakukannya, hanya tidak bisa melihatnya.

Aku berusaha mendekati tubuhku, mencoba menyuruhnya bangun, menggenggam tangannya, menampar mukanya, atau mungkin masuk kedalamnya. Aku bisa mendekatinya... mendekatinya...

Lalu aku berhenti. Wajah Shella muncul di depanku, tepat di depan bola mataku. Aku terkesima... lalu suatu kehangatan yang sudah kukenal dengan baik memenuhi diriku. Aku merasakan tangannya memelukku. Aku tidak mau kembali ke tubuh lamaku itu. Maka aku menjauh darinya. Bau tubuh Shella mengitari jiwaku. Aku mencoba menyentuh Shella, tapi mendadak Shella tersenyum padaku dan aku bergerak mundur cepat sekali dengan Shella mengikutiku...

Suara-suara sayup bergerak-gerak disekelilingku. Tubuhku, dokter-dokter, dan ruangan itu berbaur menjadi warna-warna yang tak bisa kupahami. Aku bisa mendengar beberapa dokter berbicara, suara E.L, suaraku, suara ibuku, bahkan suara Shella, namun rasanya jauh sekali...

“Dia dioperasi sekarang, aku tidak tahu.... aku harap...”

“...padahal seharusnya besok hari pernikahan mereka...”

“Mama! Mama, lihat, aku bisa...”

“Alex, Alex, Alex...”

“Aku disini...”

“Shella...”

“Katakan, Dok.”

“Waktu kematian, 23.45.”






—Bersambung...

----------------------------------------------------------------------

Bagian kedua ada di sini. Klik.

No comments: