Saturday, November 24, 2007

HIDUP / MATI [PART TWO]

Ini adalah bagian kedua dari cerita "HIDUP / MATI". Bagian pertama ada disini.
This is the second part of the story "HIDUP / MATI". The first part is right here.

All Characters and Events are mere fiction. All rights belong to Bambang Superwan.
---------------------------------------------------------------------------------------------

Hari itu adalah hari yang biasa saja. Langit ungu dan merah ber-aurora ria tanpa ada yang mengusik, tanpa ada yang mengagumi, bahkan, tanpa ada yang melihat ke atas. Aku hanya berdiri diam di bawahnya, begitu juga bermilyar-milyar orang lain. Aku tidak melihat wajah mereka satu per satu, karena terus terang saja, aku tidak peduli. Tapi menurut imajinasiku—yang tersisa akibat keteguhan memori Shella, aku bisa membayangkan kalau mereka adalah orang-orang yang sudah mati entah sekarang, atau di masa yang lampau. Ada orang-orang yang tua, ada yang sebaya denganku, dan bahkan ada anak-anak kecil. Mereka semua diam tak bergeming, hampir sama dengan apa yang aku lakukan sekarang. Hanya saja, sesuatu terjadi pada tubuhku, sedetik kemudian—bukan, sepersepuluh detik kemudian, ada sesuatu yang bersinar di sekelilingku. Semakin lama semakin terang... Aku menundukkan kepalaku, mencoba melihat tangan dan kakiku. Betapa senangnya aku, aku dapat melihatnya, dan bukan itu saja... Aku bersinar! Tubuhku bersinar. Akhirnya ini terjadi juga... sinar kuning ... persis seperti yang berada di atas tempat tidurku dulu...

***

“Shella...”

Wajahnya yang benar-benar sempurna melayang-layang di depan bola mataku. Tapi entah kenapa aku tidak bisa melihat tubuhnya... Mungkin sama alasannya aku tidak bisa melihat tubuhku sendiri. Aku memperhatikannya dengan lekat. Ia memandangku balik dengan senyuman yang begitu hangat. Perasaanku tidak pernah senyaman ini. Lalu aku merasakan jemarinya memelukku. Selama beberapa saat, aku berpikir kalau aku sudah berada di Surga, sebelum tiba-tiba semuanya berpudar. Wajah Shella menjadi mundur. Genggaman tangannya merenggang. Pemandangan ruang OR yang berada di bawah ku mulai mendistorsikan diri mereka. Tubuhku yang tergeletak di tempat tidur itu seakan kehilangan warna.

Tubuhku, dokter-dokter, dan ruangan itu berbaur menjadi warna-warna yang tak bisa kupahami. Aku bisa mendengar suara sayup-sayup di belakang ku, di depan ku, dari atas... dari segala arah. Aku mengenali beberapa suara. Aku yakin aku mendengar suara E.L ... “Dia dioperasi sekarang, aku tidak tahu.... aku harap...”, lalu ada beberapa suara lain yang tidak aku kenal, masing-masing berseru sesuatu tentang pernikahan, dan ada suara seorang anak yang memanggil ibunya. Dan suara itu datang mendadak.

Suara Shella memanggil-manggil namaku, “Alex, Alex, Alex...

Lalu sesuatu yang lebih aneh terjadi, ketika aku mendengar suaraku sendiri berkata membalas Shella, “Aku disini...

Aku terkuak diantara perasaan bingung, takut, dan bahagia. Aku melihat seorang wanita tua berbaring tak jauh dari pandanganku, sedangkan wajah Shella yang tadi semakin mundur menjauh. Aku tidak mengenal wanita tua itu, tapi entah mengapa aku merasa sesuatu bergolak ketika aku melihatnya. Tanpa sadar, aku bergumam,

Shella...

Tapi tidak ada yang terjadi, seakan tidak ada yang mendengar suaraku, tidak wajah Shella, tidak pula wanita tua yang lemah itu.

Bau tubuh Shella mendadak mengitari jiwaku. Aku mencoba menyentuh Shella yang masih mundur perlahan-lahan, tapi mendadak Shella tersenyum padaku dan aku bergerak mundur cepat sekali dengan Shella mengikutiku...

Tubuhku tertarik mundur dengan kecepatan tinggi, kedua bola mataku terkabur oleh kepekatan yang kental dan berpasir, namun tak ada butir-butir yang mengelus kulitku. Aku tidak merasa panas, tidak merasa dingin. Buta akan posisi tubuhku, kubayangkan diriku seperti tersedot dalam sebuah pipa raksasa, tak berakhir, tak berujung... Berjuang akan keberadaanku, aku memaksa mataku untuk dibuka.

Ruang di rumah sakit itu sudah menghilang, begitu juga bayangan wanita tua tadi. Wajah Shella yang mengikutiku perlahan-lahan juga memudar, sampai akhirnya terkikis oleh butiran pasir yang menyelubungi tubuh bergerakku.

“TIDAK!!! SHELLA!!!” Aku berteriak, namun entah mengapa, aku merasa seperti hanya diriku sendiri yang mendengarnya. Kemudian aku sadar, kalau teriakan itu bukanlah berasal dari mulutku, melainkan dari pikiranku. Aku sudah mati. Aku pasti sudah mati. Itu menjelaskan mengapa aku tidak mempunyai tubuh lagi tapi pikiranku masih melekat.

Aku tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pipa tak berakhir itu tampaknya menjadi semakin rapat dan menekanku dari segala arah. Aku pasrah, membiarkan ia menarikku entah kemana. Pada saat itulah, aku mendengar sebuah deringan yang menyebalkan. Hampir sama seperti suara dering telepon, kecuali suaranya tidak terputus-putus dan volume suara ini begitu keras. Aku tidak bisa melihat lagi. Aku membayangkan tubuhku—kalaupun masih ada, sedang dibentur-benturkan kemana-mana dengan kecepatan tinggi. Rasa sakit yang rasanya tak mungkin berakhir itu membuatku hampir gila, jadi kaget sekali aku ketika semuanya berakhir secepat ia terjadi. Tahu-tahu, aku sedang melayang santai disebuah ketidakadaan. Aku membuka mataku dan kali ini, aku bisa.

***

Dengan perasaan gugup, aku melihat tubuhku menjadi utuh lagi. Kaki dan tanganku semuanya ada pada tempatnya. Masalahnya hanya satu, aku lah yang tidak berada pada tempatnya. Aku sedang melayang dengan posisi tubuh terlentang rileks, wajah menghadap atas—atau setidaknya kukira aku menghadap sesuatu yang pantas dikatakan atas. Sekelilingku semuanya adalah langit tak berlantai dan tak beratap. Semuanya berwarna ungu keputih-putihan. Ada sebuah fluida ungu yang memberinya warna, bukan gas, bukan cairan. Suasananya sunyi dan hening. Tidak ada orang disana.

“Halo, Alex.”

Aku memutar tubuhku sambil tersentak kaget. Ada seseorang lelaki di belakang kepalaku. Aku memperhatikan wajahnya. Ia memakai baju putih yang cemerlang, hampir bersinar sendirinya. Wajahnya sangat bersih, namun ia memiliki janggut coklat dan mata yang bersahabat, kelam, tapi ramah. Rambutnya lumayan panjang, bergelombang namun rapi. Ia juga melayang-layang, seperti aku.

“Apakah kamu Tuhan?” aku bertanya bego.

“Siapa? Aku? Bukan, aku bukan tuhan.” lelaki itu menuturkan kata-kata itu dengan tenang, tanpa ekspresi, datar namun terkesan ramah. Ada sesuatu yang aneh dengan lelaki ini. Aku bisa merasakan kedamaian ketika aku menatap matanya.

“Apa aku sudah mati?” Aku bertanya lagi, hampir putus asa menginginkan jawaban.

“Ya.” Dia mengangguk dan tersenyum. Nada bicaranya masih datar. Dan pada saat itu, aku akhirnya yakin kalau aku sudah mati.

“Dapatkah aku kembali?”

“Menjadi hidup lagi?” dia bertanya balik, lalu menjawab dirinya sendiri, masih sama datarnya. “Alex, kamu sudah meninggalkan tubuhmu dan kamu tidak bisa kembali ke dalam tubuh itu lagi.”

“Tapi aku bisa kembali, bukan? Sebagai hantu?” aku memaksanya.

“Hantu. Itulah yang kalian manusia di sana menyebutnya. Tidak ada yang namanya hantu, Alex. Kamu bisa kembali, ya, tapi kemungkinannya sangatlah kecil, dan tidak ada yang bisa kamu lakukan walaupun kamu berhasil kembali.”

“Mengapa?” tuntutku.

“Karena kamu tidak benar-benar kembali. Begini, apa yang kamu sebut dengan kembali sebagai hantu itu, hanya bisa terjadi ketika pikiran seseorang yang sudah mati masih terpaut pada suatu hal yang duniawi. Dan kamu tidak benar-benar bisa kembali kesana, hanya pikiranmulah yang bisa berkelana kembali ke dunia itu.”

“Aku tidak mengerti.” sahutku pelan.

“Tentu saja kamu tidak mengerti. Kamu tidak seharusnya mengerti anomali seperti ini. Rahasia penghubung dunia ini dengan dunia lamamu tidak terletak pada jiwamu, melainkan pikiranmu. Jiwamu akan berada bersama dirimu selalu, Alex. Pikiranmu lah yang bisa berkelana.”

“Jadi, kalau begitu, pikiranku bisa kembali?”

“Sayangnya, iya. Tidak banyak manusia yang bisa meninggalkan pikiran mereka, hanya beberapa yang bisa, ialah mereka yang mempunyai sebuah kualitas khusus ketika mereka mati.”

“Kualitas apa?” tukasku.

“Cinta.”

Aku memandangnya dengan tekun. Ia masih setenang tadi. Melihatku tak bersuara, ia lanjut berbicara.

“Mereka yang memiliki kualitas itu dapat meninggalkan pikiran mereka terikat di dunia manusia. Dan dengan melakukannya, mereka bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi dengan diri mereka di masa lalu kehidupan mereka, dan kadang bahkan masa depannya.”

“Jadi itulah yang ku lihat dan ku dengar...” sahutku pelan, lebih kepada diriku sendiri. “Masa lalu ku... masa depan ku...”

“Ya, itulah yang kamu lihat. Tapi itu hanyalah imprint dari pikiranmu, kejadian itu dapat senyata realitas, tapi mereka sudah terjadi, atau belum terjadi. Kamu sudah mati. Apa yang kamu lihat berbaring di masa depanmu?” untuk pertama kalinya, lelaki itu terdengar penasaran.

“Aku mendengar suara teman baikku, E.L, suara seorang anak, dan aku melihat seorang wanita tua berbaring.” aku menuturkan dengan lantang.

“Oh... begitu. Siapa sangka semesta ini begitu menarik?” Dan ia mendadak tersenyum.

“Apa maksudnya?” aku bertanya balik.

“Oh tidak, lupakanlah. Alex, ada sesuatu yang harus kamu ketahui. Pikiran yang terpaut di dua dunia itu tidaklah baik. Kamu tidak bisa menjadi ‘penuh’ jika pikiranmu bergantung di tempat lain. Jadi dengan begitu, kamu harus mengambil keputusan.”

“Apa maksudmu?” tanya ku pelan.

“Di sebelah sana, ada sebuah garis. Kamu harus memutuskan apakah kamu mau menyebranginya atau tidak. Jika kamu menyebranginya, maka kamu akan memasuki dunia yang baru, dunia yang penuh dengan kedamaian, dunia dimana tempatku berada.” Ia tersenyum sejenak. “Tapi ketika kamu melangkahi garis itu, maka semua pikiranmu, baik yang tertaut di tubuhmu dan yang tertaut di dunia itu, akan hilang.”

“Aku harus memilih?” aku bertanya pelan.

“Ya. Dan pahamilah, Alex. Semua ingatan akan Shella akan hilang, sehingga kamu tidak mungkin bisa kembali lagi.” Dia memandangku dengan lekat untuk pertamakalinya seakan mengatakan kalau dia tahu semuanya tentang diriku, tentang Shella dan semuanya.

“Apa yang terjadi kalau aku memilih untuk tidak melewati garis itu?” tanyaku balik setelah beberapa saat.

“Maka kamu akan terkirim ke sebuah tempat dimana manusia-manusia yang lain berada, dimana manusia-manusia yang juga memilih untuk tidak menghapus ingatan mereka berada. Mereka juga memilih untuk mempertahankan memori mereka, tapi kalau itu terjadi, kalau kamu memilih jalan itu, maka tidak ada yang tahu kamu akan terkurung disana untuk berapa lama. Dan pahami juga ini, Alex. Begitu kamu disana, kamu tidak bisa mendapat pilihan ini lagi, dan ini yang terpenting, kamu akan dikirim ke sebuah tempat yang akan memakan ingatanmu secara perlahan-lahan, sehingga pada akhirnya, kamu akan melupakan Shella juga. Dan pada saat itu, kamu akan menjadi sebuah jiwa yang ‘kosong’ untuk selamanya.”

Aku menelan ludah.

“Pikirkan lah baik-baik, Alexander.”

Lalu lelaki itu mundur dan mulai menghilang, dan pada saat bersamaan, sebuah garis perak muncul di hadapanku. Garis yang mungkin terbuat dari gas yang dipadatkan.

“Tunggu! Berapa lama waktuku?” aku bertanya panik.

“Kamu akan tahu begitu kamu sudah memutuskan.” katanya pelan, datar, dan anehnya, dengan sedih.

“Siapa kamu?” aku bertanya lagi.

“Aku hanyalah seorang Pembawa (baca : Carrier). Aku bertugas mengantarkan kamu Alex, tapi sayangnya, aku tahu pasti apa jalan yang akan kamu ambil.” Sedetik kemudian, Pembawa itu menghilang.

Aku melayang disana, ragu-ragu selama beberapa detik. Aku mencoba mendekati garis itu. Aku bisa melakukannya. Ketika aku semakin dekat kesana, aku berhenti mendadak. Lalu aku hanya berhenti saja.

Sebuah jalan menuju kedamaian tanpa Shella dan jalan lain menuju Shella, yang seram dan pada akhirnya akan membuatku melupakan Shella. Aku menutup mataku rapat-rapat selama beberapa lama. Dan ketika aku membukanya lagi, garis itu sudah tidak ada disana lagi.

***


Pada detik aku menyadari kalau garis itu sudah hilang, aku terjatuh kedalam sebuah terowongan lain. Kali ini terowongan itu terasa sangat kasar. Ada butiran-butiran kristal yang menggesek kulitku. Aku merasa dingin sekali. Tubuhku gemetaran. Aku tahu, kalau aku sedang ditransfer ke ‘tempat’ mereka yang memilih keputusan yang sama denganku. Aku bertanya-tanya ada berapa orang yang berada di tempat itu, dan apakah mereka orang-orang yang ramah.

Aku mendarat di sebuah lantai keras berwarna ungu campur merah. Aku berdiri saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja terjatuh dari langit atau apa. Tidak ada tanda-tanda kalau aku baru mengerem dengan cepat. Aku hanya berdiri saja di suatu tempat yang baru. Aku sudah sampai.

Mataku terbelalak. Aku sedang berdiri di tengah-tengah kumpulan ribuan, jutaan, bukan.... milyaran manusia yang umurnya bervariasi dari anak kecil sekitar sepuluh tahunan sampai orang tua sekitar seratus tahunan. Aku berpikir keras dalam hati. Kukira hanya sedikit manusia yang pikirannya terpaut di bumi. Kukira hanya sedikit manusia yang memiliki cinta di kehidupannya. Jika ini adalah sedikit menurut si Pembawa, aku tidak bisa membayangkan bagaimana maksudnya dengan kata ‘banyak’.

Semua manusia di tempat datar nan luas ini berdiri diam seakan mati, tidak bergeming, tidak melihat diriku. Pandangan mereka tampaknya terfokus akan sesuatu dan wajah mereka semua tanpa ekspresi. Aku bertanya-tanya apakah aku juga demikian. Lalu aku sadar kalau mereka semua telanjang. Dan aku juga telanjang. Aku sudah telanjang sejak aku berbicara dengan si Pembawa itu. Tapi tampaknya aku tidak peduli. Aku juga tidak merasa malu. Semua itu tidak penting.

Aku bertanya-tanya apakah mereka sudah kehilangan pikiran dan kesadaran mereka. Apakah mereka sudah berada disini begitu lamanya, sehingga mereka sudah melupakan apa itu hidup. Dan apakah aku akan menjadi seperti mereka? Kosong.

“Hello?” Aku mencoba berbicara, tapi tidak bisa kugerakkan mulutku. Aku tidak mendengar suara apapun. Mungkin suara itu hanyalah pikiranku saja, atau mungkin ditempat ini gelombang suara tidak bisa merambat. Aku mencoba melihat ke atas, ke langit, dan walaupun kepalaku tidak bisa mendongak, aku bisa melihat langit. Langitnya sama persis dengan lantai. Sebuah fluida berwarna ungu dan merah berputar-putar, menari-nari seperti Aurora di bumi. Dimana aku?

Aku mencoba menggerakkan tubuhku tapi tidak bisa. Aku mencoba menangkap pandangan manusia lain, tapi tidak bisa. Lalu sesuatu terjadi di kejauhan. Di ujung sudut mataku, ada sesuatu yang tiba-tiba bersinar. Cukup lama untuk aku menyadarinya. Lalu cahaya kuning itu padam. Aku menutup mataku dan kali ini, aku bisa melakukannya.

Betapa terkejutnya aku, wajah E.L mendadak hadir di depanku.

***

“Shella, kamu kelihatan cantik sekali.” E.L berkata padaku. Aku tersentak kaget, namun akhirnya menyadari kalau E.L sebenarnya memandang seseorang di belakang tubuhku. Aku berbalik dan menerima shock lain. Aku melihat Shella yang memakai gaun merah memukau. Namun dia bukan lagi Shella yang aku kenal dulu. Dia pasti sudah berumur tiga puluhan, walaupun wajahnya yang cantik masih sama manisnya dengan Shellaku. Aku melihat dia sedang tersenyum dengan puas. Sepertinya ini hari yang sangat berbahagia baginya.

“Thanks, Erick. Kamu benar-benar teman yang baik, mau datang jauh-jauh dari California hanya untukku.”

Suara Shella yang lebih dewasa membuatku bergetar dalam hati. Tampaknya mereka tidak bisa melihatku. Aku merasa tubuhku hanyalah bagaikan bayangan tak nyata yang bisa mendengar dan melihat mereka, tapi tidak sebaliknya. Hanya pikiran. Lalu tubuhku bersinar. Semua sel di tubuhku mengeluarkan cahaya kuning yang hanya aku yang bisa melihatnya.

Aku berbalik menatap E.L. Sahabat baikku juga sudah jauh lebih dewasa dan sukses. Dia memakai jas yang membuatnya tampak seperti orang kaya.

“Tentu saja aku harus datang melihat teman terbaikku merayakan 10 tahun anniversari pernikahannya. Dimana suamimu, dimana Vinc? Aku mesti memberinya selamat. Dia bahkan belum tahu aku datang.” sahut E.L

Tiba-tiba ada sebuah suara melengking dan seorang yang kecil berlari menabrak Shella.

“Mama! Mama, lihat, aku bisa menerbangkan pesawatku ini!” sahut bocah itu girang, memperlihatkan pesawat remote controlnya terbang melayang-layang. Dia tidak mungkin lebih tua dari 8 tahun.

“Oh, Alex. Jangan ganggu mama dulu. Mama mau bersiap-siap untuk pesta. Ayo pergi main ke atas.” sahut Shella penuh kasih sayang pada anak itu. Aku memandang anak Shella dengan kagum. Ia punya mata ibunya yang hangat.

“Kau tahu, Shel? Alex pasti akan bahagia kalau dia tahu keadaanmu sekarang.” kata E.L. Shella memandang E.L dari dekat, lalu Shella tersenyum padanya, senyum yang begitu aku rindukan.

“Aku rindu padanya, Erick. Terutama hari ini, entah mengapa aku selalu ingat padanya. Dan iya, aku tahu dia pasti bahagia aku punya hidup sebaik ini. Itulah yang dia mau.”

Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku, tapi jika aku harus menjelaskannya, aku merasa tercabik diantara perasaan sedih dan euforik. Aku begitu bahagia karena Shella selamat dari kecelakaan itu. Belum lagi karena dia berhasil menjalani hidup yang bahagia.

Aku mengerti kalau aku harus kembali, maka aku tersedot ke belakang, seperti yang sudah sering aku alami. Lalu beberapa saat kamudian aku membuka mataku. Aku kembali memandang milyaran manusia kosong di hadapanku. Perkataan Shella masih mengiang-ngiang di benakku. Begitu juga wajahnya, wajah teman baikku, wajah anak Shella yang namanya diberikan berdasarkan namaku.

Sementara aku terhanyut dalam kebahagiaan yang diberikan memoriku, aku tidak sadar aku sudah berdiri berapa lama. Hari dan Bulan berganti, tahun berselang seperti satu hari. Aku masih tetap berdiri. Hidup bahagia dalam kenanganku... sebelum mereka menghilang selamanya.

***

Rasanya sudah lama sekali aku berdiri, tapi aku tidak tahu sudah berapa tahun berlalu, berapa abad... aku berdiri dengan perasaan kosong. Aku tidak peduli dengan sekitarku lagi. Aku tidak ingat wajah E.L lagi. Aku tidak berkedip. Aku hampir kosong.

Pikiranku merambat dengan sangat lambat. Aku susah berpikir, tapi di dalam lubuk hatiku, aku tahu kalau aku harus berjuang. Aku tidak akan membiarkan tempat ini memakan habis semua memoriku. Aku harus memikirkan Shella, karena hanya dialah satu-satunya yang tersisa di pikiranku. Lalu aku memejamkan mata, tahu benar kalau ketulusan pikiranku akan membuka jalan kembali menuju dunia manusia...

***

Aku melayang-layang di sudut kiri atas sebuah ruangan yang tampak familiar. Sebuah OR. tapi ini bukan OR tempat aku mati dulu. Ini ruangan yang lain.

Aku melihat ke sekeliling. Ada seorang wanita tua berbaring di tempat tidur. Dua dokter muda disampingnya. Aku melayangkan pandanganku menembus ruangan itu, menuju ruangan lain. Aku melihat seorang laki-laki tua sedang duduk, pandangannya cemas. Seorang lelaki tua lain yang wajahnya mirip E.L berdiri di depannya. Aku tahu siapa lelaki yang satu lagi. Dia suami Shella, Vinc. Lalu seorang laki-laki 40 tahunan yang matanya mirip dengan mata Shella tiba menghampiri E.L. Alex sudah dewasa.

Aku kembali masuk ke ruangan operasi dimana Shella sedang berbaring. Dia sudah sangat tua dan lemah. Aku mendekatinya dan tubuhku bersinar lagi. Cahaya kuning keluar sekali lagi dari setiap senti tubuhku. Aku diselimuti berbagai perasaan seperti kali itu. Aku merasa sedih dan senang. Aku melihat mata Shella yang terpejam. Aku tahu kalau waktu Shella sudah habis di dunia ini. Dia akan segera menyusulku.

Shella...” aku mencoba berseru, tanpa ada suara yang keluar.

Tubuhku yang bersinar sama sekali tidak memberikan efek apa-apa bagi dokter yang menanganinya. Mereka berusaha mengembalikan nafas Shella, namun aku tahu kalau dokter itu pasti sudah sadar juga kalau Shella sudah pergi. Aku melihat kedua dokter itu menghela nafas. Mereka saling memandang, lalu dokter yang lebih tua berseru,

“Katakan, Dok.”

“Waktu kematian, 23.45.” seru dokter yang lebih muda dengan pahit. Lalu dia menutup wajah Shella, membiarkan dia istirahat untuk terakhir kalinya.

***

Hari itu adalah hari yang biasa saja. Langit ungu dan merah ber-aurora ria tanpa ada yang mengusik, tanpa ada yang mengagumi, bahkan, tanpa ada yang melihat ke atas. Aku hanya berdiri diam di bawahnya, begitu juga bermilyar-milyar orang lain. Hanya saja, sesuatu terjadi pada tubuhku, sedetik kemudian—bukan, sepersepuluh detik kemudian, ada sesuatu yang bersinar di sekelilingku. Semakin lama semakin terang... Aku menundukkan kepalaku, mencoba melihat tangan dan kakiku. Betapa senangnya aku, aku dapat melihatnya, dan bukan itu saja... Aku bersinar! Tubuhku bersinar. Akhirnya ini terjadi juga... sinar kuning ... persis seperti yang berada di atas tempat tidurku dulu... persis seperti ketika aku melihat masa depan Shella dulu.

Lalu dari ribuan manusia di hadapanku, aku melihat sebuah bayangan hitam, semakin lama semakin jelas. Efeknya sama persis seperti mimpiku dulu. Ah, rasanya sudah berzaman-zaman yang lalu. Lalu bayangan hitam itu memudar dan memuda. Aku bisa melihat wajah Shella. Karena seperti aku, dia juga bersinar. Dia tersenyum. Sebuah senyum yang sangat gemilang dan memabukkan.

Shella sama sekali tidak bertambah umur. Dia tampak sama seperti ketika aku mati dulu, hanya tanpa luka segorespun, dia sempurna. Telanjang dan bersih, dia berjalan menuju aku. Aku mencoba melangkahkan kakiku. Aku bisa melakukannya. Aku berjalan menujunya. Kami berjalan menuju satu sama lain. Pelan dan tanpa berlari, mata kami bertemu di sepanjang waktu. Aku bisa melihat kerinduan bersimbah dari matanya.

Lalu ketika kami sudah begitu dekat, aku mencoba berbicara.

“Hai.” kataku tanpa ada suara yang keluar. Tapi itu tidak masalah, karena Shella mendengarnya.

“Hai.” balasnya manis.

Aku menggandeng tangannya. Dan ketika aku melakukannya, semua manusia lain yang berdiri di sekitar kami menghilang dalam sekejap, dan sebagai gantinya, ada sebuah garis perak yang indah terbentang di hadapan tubuh kami yang bersinar. Aku terpana.

Si Pembawa berdiri di seberang garis itu, memandangku dengan penuh senyuman bahagia. Aku menoleh pada Shella, yang mengiyakanku, seakan tahu persis apa yang harus kami lakukan. Aku menggenggam erat tangan Shella, dan kami menyeberang melewati garis itu.

Aku tidak perlu kedamaian yang dijanjikan si Pembawa.
Aku sudah memilikinya bersama Shella di sisiku.


S E L E S A I



P.S : Cerita ini terinspirasikan oleh lagu David Gates yang berjudul Find Me.

Ini teks lagunya. Lihat bagaimana cerita ini dibuat from Song to Script :D

Find Me

The skies are not as blue, when you're not with me
The stars, they never seem to shine as bright
And the hours crack like days across the ages
And a year or two pass by with every night.
It makes me know if i should ever leave this world before you do
When you follow you must promise, cross your heart and promise to

Find me...look hard, and dont stop, I'll be waiting 'till then
Dont sleep, and dont eat 'till I'm back, back in your arms again
I dont wanna have to spend all my forever without you.
Just knowing that your out there somewhere too.
So darlin...please I'm begging you on bended knee...
Find me...

I've tried to tell this world how much i love you.
But they dont understand how deep it goes.
And i can't even find the words to tell you
So I'm the only one who really knows.
And though we have our times together, I am always wanting more
So if we get separated wont you do just like before and

Find me...look hard and dont stop, I'll be waiting 'till then
Dont sleep, and dont eat 'till I'm back, back in your arms again
Through a hundred million faces you will see me shinning through.
'Cause I'll glow when you come close , I always do.
So darlin' please im begging you on bended knee..
We can share our love through all eternity
'Cause with you is all i ever wanna be......
Find me


Trivia :

Berdasarkan penelitian para ahli tentang hidup setelah kematian, kebanyakan manusia yang mati suri (dinyatakan mati secara medis dan hidup kembali) menunjukkan pola yang sama, dimana mereka semua mengalami "petualangan di luar tubuh", "melihat tubuh mereka yang terbaring", "memasuki terowongan panjang", "mendengar dering-dering bunyi yang menyebalkan", "bertemu sebuah mahluk cahaya yang memberitahukan masalalunya", dan "melihat sebuah garis perbatasan antar dunia".

Saya (penulis) mempercayai bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan apa yang ada di dalam cerita ini tidak sepenuhnya imaginasi belaka.

Cerita Oleh : Bambang Superwan.

------------------------------------------------------------------------

Monday, November 19, 2007

HIDUP / MATI [PART ONE]

Ini adalah bagian pertama cerita "HIDUP / MATI". Bagian Kedua ada disini.
This is the first part of the story "HIDUP / MATI". The second part is right here.

All Characters and Events are mere fiction. All rights belong to Bambang Superwan.

----------------------------------------------------------------------------------------

Tubuhku tertarik mundur dengan kecepatan tinggi, kedua bola mataku terkabur oleh kepekatan yang kental dan berpasir, namun tak ada butir-butir yang mengelus kulitku. Aku tidak merasa panas, tidak merasa dingin. Buta akan posisi tubuhku, kubayangkan diriku seperti tersedot dalam sebuah pipa raksasa, tak berakhir, tak berujung...


***


Aku membuka kelopak mataku, sebelum sepancar sinar kuning yang menyilaukan memandikan retinaku. Tapi sinar itu memudar perlahan-lahan, menyisakan sebuah bayang-bayang kehitaman, sungguh kabur. Meskipun demikian, aku tahu persis apa yang ada di balik bayangan itu, karena beberapa detik kemudian, ia tersenyum padaku.

“Kamu kelihatannya melongo.” suaranya merambat sampai ke telingaku, lambat namun pasti. “Benar-benar seperti saat pertama kali kita bertemu, kamu ingat tidak?”

Aku tidak langsung menjawabnya, tapi mengubah ekspresiku dan melihat sekeliling. Sinar kuning itu berasal dari lampu terang di atas tempat tidurku, dimana aku sedang terbaring. Dan bayangan hitam itu adalah wajah Shella, yang tersenyum dan sempurna, hal terbaik yang bisa kudapat pada saat-saat seperti ini.

“Tentu saja aku ingat, Shel, hari itu adalah hari terbaikku, aku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia, dan sejak itu hidupku berubah 180 derajat. Semuanya karena aku bertemu denganmu.” aku merasa seperti ada sebuah kehangatan menjalar di sela-sela pembuluh nadiku, memberiku kekuatan. “Berjanjilah padaku kamu tidak akan meninggalkanku, Shella.”

Shella mendekatkan duduknya dengan tubuhku, lalu dengan nyaman, ia meraih jemariku, menggumpalkan mereka dengan telapak tangannya, dan aku merasa kehangatan yang tadi kurasakan saling berbagi dengan kehangatan yang ia punya. Aku merasa satu, kami serasa satu.

Tapi segalanya mulai terasa redup, volume suaranya juga mengecil.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, janji.”

***

Aku membuka kelopak mataku, segera setelah sepancar sinar kuning menembus masuk memandikan retinaku.

“Nyata sekali... tadi benar-benar terasa begitu nyata.” Aku mencoba mengepalkan tanganku, mencari-cari kehangatan yang tadi menenangkan jiwaku, tapi jari-jariku terasa begitu dingin. Jantungku berdegup kencang, tapi aku tahu, aku tahu tidak ada bayang-bayang hitam di depan mataku kali ini. Aku melihat sekeliling, sinar kuning itu berasal dari lampu yang berada di atas kepalaku, yang seperti tubuhku, terbaring di atas sebuah tempat tidur serba putih. Ruangan itu kosong, sunyi dan hening.

Aku mengulurkan tangan kananku ke udara, perlahan dan menyakitkan. Kegelapan menyelubungiku, menghadiahkan kesadaran akan apa yang telah terjadi, yang dalam sekejap berubah menjadi banjir kecemasan. Aku panik, aku mencoba untuk berdiri. Aku harus menemukan dia, apa yang terjadi dengan Shella?

“Arrgh!”
Rasa sakit yang menyengat menyerang pinggangku, aku menyentuhnya dengan tangan kananku, yang baru pada saat itu kusadari, ada sepucuk jarum dibawah kulitku, dibawah sebuah perban putih di lenganku. Mereka juga sudah membalut pinggangku. Tapi aku tidak peduli. Satu-satunya hal yang penting di dunia ini adalah menemukan Shella.

Lalu pintu kamarku terbuka dan segera dua perawat dan E.L menerobos masuk.

“Alex, kamu tidak boleh bergerak dulu.” aku dengar suara teman baikku bergetar dalam kepedihan.

“E.L, dimana Shella?” pintaku dengan nafas berat. Dua perawat itu memaksaku untuk kembali berbaring.

“Dia di OR 1, dia sedang di operasi.” sahut E.L pelan, seakan membenci dirinya sendiri karena memberitahuku hal ini.

“Apa dia akan baik-baik aja?”

“Keadaannya lebih kritis dari kamu, Lex, tapi dokter bilang mereka akan berusaha sebaik mungkin.”

Aku memalingkan wajahku, menatap lampu kuning yang lama-lama menjadi putih, putih menyilaukan. Tapi aku tidak memejam mataku, atau bahkan memutar arah pandang.

“Semua itu salahku. Aku seharusnya tidak membawa Shella ikut diatas mobil itu. Kupikir dia akan senang, kupikir ia akan kukejutkan...”

“Alex, jangan salahkan dirimu, kamu tahu kalau semua ini adalah kecelakaan. Truk itu datang menghantam kalian tiba-tiba. Kalau ada seseorang yang bisa disalahkan, supir truk itulah yang pantas.”

Aku hampir tidak mendengarnya. Kilasan balik peristiwa itu begitu jelas di benakku. Hantaman kuat entah dari mana, suara klakson yang memekikkan, di sela-sela jeritan Shella, ketika tubuhku terasa berputar dan berat. Dalam sepersekian detik, Shella dan aku, mata kami bertemu...

Semuanya terjadi begitu cepat.

“E.L, apa yang terjadi dengan aku? Aku merasa jari-jariku dingin sekali.”

Dua perawat itu memandang E.L dengan penasaran, E.L sendiri tampak membatu, bisu seribu bahasa. Aku tidak bisa mengartikan pandangannya, tapi jelas-jelas E.L tahu sesuatu. Tapi akhirnya dia membuka mulutnya.

“Kamu dengar dari dokter saja, ya?”

“Tidak, E.L, aku mau mendengarnya dari sahabatku... katakan saja... apa aku akan mati?”

“...”

“E.L...”

“Sejujurnya, dokter bilang, selain merusak ginjalmu, logam yang tertancap dari pinggang my tadi juga mengakibatkan sesuatu pada jantungmu.” E.L mengakhiri kata-katanya dengan suram.

Aku memindahkan jemariku, menyentuh dada kiriku tanpa sadar. Tertunduk, aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali,

“Apa maksudnya?”

“Sebagian kecil otot jantungmu kehilangan kinerjanya sama sekali, dan dokter ahli bedah saraf bilang kalau ia tidak bisa memperbaikinya tanpa resiko besar kamu gagal jantung.”

“Apa maksudnya itu, E.L?”

“Maksudnya, Alex... jantung kamu kehilangan kekuatan perlahan-lahan setiap harinya, dan pada akhirnya akan berhenti berdetak.”

Sunyi senyap melanda ruangan itu. Jika ada angin berhembus, tidak ada yang bisa merasakannya. Aku memandang wajah teman baikku sepenuh-penuhnya seperti aku belum pernah melihat dia sebelumnya.

“Apa Shella tahu akan hal ini?” aku bertanya. E.L memandangku, aku mencoba menilai ekspresinya selama beberapa detik.

“Tidak.” katanya akhirnya. “Dia tidak tahu.”

“Aku mau menemuinya, E.L.”

***


Aku tidak ingat lagi kapan aku pernah merasa sesedih, se-menyesal, dan se-ngeri ini. Ketika aku melihat keadaan Shella, aku tahu semuanya tidak akan sama lagi. Tapi semua kecemasan itu tidak cukup kuat untuk mengalahkan kecemasanku yang paling utama. Aku benar-benar berharap Shella bisa bangun lagi. Operasi yang ia jalani sekarang adalah operasi pertama dari serangkaian operasi untuk memperbaiki kembali sistem saraf di tulang belakangnya. Ia menderita sangat parah, dan tidak ada yang bisa kulakukan untuknya sekarang, selain menatap wajahnya yang terlelap, tak sadarkan diri.

Dokter bedah di OR1 memarahi perawat yang membawaku kesana, bersikeras supaya aku keluar dari sana. Maka mereka membawaku kembali ke kamarku. Aku sendiri merasa sangat lemah, seperti akan jatuh dan membiarkan diriku terkapar di lantai rumah sakit selamanya... Hanya satu hal yang membuatku tetap bertahan, hanya satu orang yang membuatku bertahan, dan dia sendiri sedang berjuang di kamar sebelah...

Beberapa waktu berlalu tanpa aku mengerti... menit, jam, hari... semuanya tampaknya tak penting lagi, dan masih saja aku belum bisa bertemu dengan Shella yang sadarkan diri. E.L terus-menerus mendukungku dan memberiku semangat. Suatu sore, dia bilang kalau Shella sudah sadarkan diri dari operasi pertamanya, tapi aku harus menunggu beberapa saat sebelum boleh bertemu dengan dia. Aku tidak mendengar perkataan E.L yang berikutnya karena aku begitu lega Shella—setidaknya—selamat dari operasinya yang paling berbahaya. E.L tampaknya tidak menyadari bahwa aku tidak begitu mendengarnya lagi, karena dia sedang tegang menceritakan operasiku berikutnya, tentang sesuatu bernama L-VAD yang dipasangkan dalam tubuhku untuk membantu jantung lemahku memompa darah. Aku hanya mengangguk tanpa sadar.


Malam itu rasa sakit yang menyerang dadaku tak terbayangkan. Mesin yang berkedip-kedip di sebelah tempat tidurku berteriak-teriak mengakibatkan perawat-perawat dan beberapa dokter menyerbu masuk.

“Dia kena serangan jantung.” aku mendengar seseorang berkata.

“Shella...” aku mengerang.

“Dok, dia sudah sadarkan diri.”

“Shella, bawa aku.... kepadanya...” aku terus mengerang tapi tampaknya mereka terlalu sibuk untuk menanggapinya.

“Kita harus melakukannya sekarang, Penny, siapkan OR untukku.”

“Baik Dok.”

Aku melihat cahaya kuning kehitam-hitaman mengedip-ngedip di kepalaku, hampir seperti ketika mataku menatap sesuatu yang menyilaukan. Sementara tusukan jarum menguji ketahanan jantungku, aku disorong menuju ruang operasi. Dengan mata yang terpejam, aku terus menyeru-nyeru nama Shella.

“Dia tidak bisa tenang. Perawat, bawa pasien 602 ke OR. Kita akan membutuhkan bantuannya menenangkan dia.”

Aku mendengar seseorang berlari, pintu dibuka, dan kemudian aku tak tahu apa-apa lagi.

***

Ketika mataku bisa dibuka, hal pertama yang aku lihat adalah wajah Shella yang pucat dan suaranya adalah suara terindah yang pernah kudengar.

“Hai.”

Ia tampak lelah, terbaring di sebelahku. Walau kami terpisah tempat tidur, dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku yang dingin. Aku merasa hangat. Dia tersenyum padaku seolah itu adalah pagi yang indah, awal hari yang baru, dan kami hanya berdua.

Namun, dengan luka bakar di lengan kanannya, keningnya yang bengkak, dengan pakaian pasien kami yang sama jeleknya, dengan suara perawat-perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan operasi, kami tahu kalau waktu kami untuk bercakap-cakap tidaklah banyak.

“Shella, sorry yah...”

“Hei...” Shella menggenggamku dengan lebih erat, seakan-akan mengatakan bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah salahku. Aku merasa rasa sakit di dadaku berkurang sedikit. “Kamu akan baik-baik saja, Alex, dan kita akan bersama lagi.”

“Shel, hehe...” mendadak aku tertawa. Aku tak tahu mengapa aku melakukannya, tapi Shella juga tertawa bersamaku dan aku merasakan pandangan dokter-dokter di belakang kami memandang dengan penasaran.

“Jangan mati yah...”

“Haha... Ouch...” aku menyentuh dadaku dengan tanganku yang lain, yang sakit karena tawa tadi. “Aku tak akan mati, ini hanya operasi... kamu sudah mengalami punyamu, dan sekarang giliranku.”

“Lex, aku ingin kamu tahu kalau kamu akan sembuh... 100%.”

Perkataannya membuatku ingat akan apa yang dikatakan E.L, bahwa aku tidak akan bisa sembuh seperti sedia kala lagi, karena lambat laun, jantungku akan berhenti.

“Shel, apa kamu takut akan kematian?”

“Alex, jangan bilang begitu...” Aku menggeleng-geleng, tetap memandang mata coklatnya yang hangat.

“Jawablah Shel...” Shella memandangku dengan serius.

“Tidak, tapi aku takut kehilangan kamu... jadi jangan memikirkan yang seperti itu yah...” sahutnya manis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu... dan aku tahu kamu juga begitu... Shel... tahu nggak, beberapa malam lalu aku memimpikanmu lo... aku rasa waktu kecelakaan itu terjadi... kamu duduk di samping aku, dan kamu baik-baik saja... dan kamu menggenggam tanganku... dan rasanya hangat sekali... seperti sekarang, yah... dan aku tahu... aku tahu kita tidak akan berpisah... walaupun jika aku mati... karena kamu akan menemukan aku, iya kan?”

“Alex...”

“Kalau aku pergi duluan, aku mau kamu berjanji, Shel... berjanjilah kalau kamu tidak akan mati di tempat ini.. kamu akan terus hidup... dan kamu akan menikah dengan orang lain...”

“Alex, hentikan...” aku melihat air mata menggenangi bola matanya. Shella tidak tahu kalau aku tidak punya harapan lagi, tapi aku tahu... dan aku ingin dia mendengar apa yang aku bilang... “hentikan Alex, kamu akan baik-baik aja... kamu tidak akan mati.. karena dokter akan menjagamu baik-baik...”

“Dengarlah, Shel... kamu nanti akan punya keluarga... punya anak dan cucu... dan ketika waktumu sudah habis di dunia ini... aku akan menunggu mu... maka berjanjilah padaku satu hal... carilah aku nanti...”

“Alex...”

“Carilah aku nanti... jangan makan....jangan pergi... carilah aku sampai kita bertemu lagi... sampai ketika aku menggenggam tanganmu lagi... carilah aku nanti, karena aku akan menunggumu. Berjanjilah, Shella.”

“A.. Aku janji...”

Dan ketika suaranya merambat memasuki hatiku, aku tersenyum padanya... karena aku tahu kalau semuanya akan baik-baik saja... untuk pertama kali sejak kecelakaan ini... aku akhirnya bisa tenang.

Shella terisak, ketika dokter berusaha melepaskan kami dan membawaku menuju meja operasi untuk dibius... aku tidak mau melepaskan tangan Shella, dan begitu juga dia... Pandangan di matanya menjelaskan semuanya... aku tahu ... saat itu dia juga tahu kalau aku tidak akan selamat dengan jantung ini...

Rasa sakit tubuhku membuatku tidak bisa berbicara lagi... Dadaku memberontak, ototku menjerit, dan aku terpaksa menutup mataku. Penglihatanku semakin kabur, dan ketika kelopak mataku hampir bersentuhan... wajah Shella yang menjadi bayang-bayang hitam... sama seperti didalam mimpiku... memudar perlahan-lahan...

***

Aku terbangun di sebuah kegelapan luas tak berlantai dan tak berdinding. Buta dan sunyi, aku berusaha bergerak-gerak. Tubuhku masih ada... aku telanjang. Aku mencoba melihat kakiku, hendak mengecek aku menginjak apa, tapi aku tidak bisa menemukannya dengan mataku. Aku bisa menyentuh kakiku, tapi sepertinya aku tidak bisa menyentuh lantai.

Lalu aku ingat akan Shella. Aku ingat kalau dia ada bersamaku di ruang operasi tadi... dimana dia? Aku mencoba meneriakkan namanya. Tak ada suara yang keluar. Aku berteriak lebih keras. Tapi tetap tidak ada suara yang keluar. Mungkin mulutku tak bisa bergerak sama sekali. Lalu sesuatu terjadi di sudut kiri atas penglihatanku... atau mataku... di sudut kiri atas dari ketidakadaan, ada sebuah lubang. Lingkaran putih yang menyilaukan. Sungguh kontras dari kegelapan yang pekat ini.

Aku berusaha mendekatinya. Aku tidak berjalan, tidak merangkak, tidak melayang, tidak melakukan apa-apa, tapi aku berusaha mendekatinya. Dan lubang itu semakin dekat semakin besar. Aku menggapainya, memasukkan jariku kedalamnya, lalu lubang itu bertambah besar. Bertambah besar dengan sungguh cepat. Dalam sedetik, (ataukah pada saat itu juga?) aku disinari oleh warna putih... Aku memicingkan mataku... lalu sadar kalau mataku masih tertutup.

Dengan jariku, aku merasakan kelopak mataku masih ada, jadi aku membukanya.

Dengan kaget, aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku sedang melihat tubuhku berada satu meter lebih dibawahku. Aku sedang melayang. Aku melihat beberapa dokter sedang panik karena ada garis mendatar yang bising disebelah tubuhku. Aku melihat mereka menyuruhku untuk bangun. Mereka menyetrumku dan menyuntikkanku dengan sesuatu.

Aku mencoba untuk berkata,
“Hei, aku tidak apa-apa... aku disini. Aku diatas kalian.”
tapi masih juga tidak ada suara yang terdengar. Aku melihat sekeliling. Ternyata aku mengapung di sudut kiri atas ruangan itu, tapi aku tidak bisa melihat tangan dan kakiku. Aku mencoba menggerakkan tanganku, menyentuh jemariku dengan jari-jariku. Aku bisa melakukannya, hanya tidak bisa melihatnya.

Aku berusaha mendekati tubuhku, mencoba menyuruhnya bangun, menggenggam tangannya, menampar mukanya, atau mungkin masuk kedalamnya. Aku bisa mendekatinya... mendekatinya...

Lalu aku berhenti. Wajah Shella muncul di depanku, tepat di depan bola mataku. Aku terkesima... lalu suatu kehangatan yang sudah kukenal dengan baik memenuhi diriku. Aku merasakan tangannya memelukku. Aku tidak mau kembali ke tubuh lamaku itu. Maka aku menjauh darinya. Bau tubuh Shella mengitari jiwaku. Aku mencoba menyentuh Shella, tapi mendadak Shella tersenyum padaku dan aku bergerak mundur cepat sekali dengan Shella mengikutiku...

Suara-suara sayup bergerak-gerak disekelilingku. Tubuhku, dokter-dokter, dan ruangan itu berbaur menjadi warna-warna yang tak bisa kupahami. Aku bisa mendengar beberapa dokter berbicara, suara E.L, suaraku, suara ibuku, bahkan suara Shella, namun rasanya jauh sekali...

“Dia dioperasi sekarang, aku tidak tahu.... aku harap...”

“...padahal seharusnya besok hari pernikahan mereka...”

“Mama! Mama, lihat, aku bisa...”

“Alex, Alex, Alex...”

“Aku disini...”

“Shella...”

“Katakan, Dok.”

“Waktu kematian, 23.45.”






—Bersambung...

----------------------------------------------------------------------

Bagian kedua ada di sini. Klik.