Sunday, April 23, 2006

Third Story : On The Sixth

On The Sixth



Pukul 06:06 p.m.

Suara itu begitu kerasnya sampai membuatku berpaling ketakutan. Aku segera melayang di atasnya, ingin melihat siapa kali ini yang bernasib buruk. Tapi panas sekali disana, aspal di depanku tampak berair dimataku, membuatku semakin gerah. Jalan ini biasanya bersih dan damai, tidak ribut. Tapi sekarang pecahan kaca tersebar dimana-mana, dan bahkan sebuah mobil sedan yang penyok dan terparkir ceroboh di trotoar tidak bisa mengalihkan pandanganku pada seorang gadis yang tergeletak diam di tengah jalan. Darah menetes di pelupuk matanya yang tertutup. Ah, dia rupanya yang bernasib buruk.
Aku terbang menjauh. Aku benci karena aku bisa melihat segalanya. Dunia ini sudah terlalu kecil, bahkan untuk seekor lebah.
Enam detik sebelumnya...
Ada seorang gadis muda dua puluh tahunan berpakaian biru muda dan jeans gelap sedang bergegas menelusuri trotoar dengan semangatnya. Jika ada orang yang baru saja melihatnya, tidak sulit baginya untuk tahu kalau gadis itu sedang terburu-buru. Langkahnya yang cepat mungkin hanya bisa diimbangi oleh seruannya pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, pada telepon genggamnya.
“Ya ampun, honey, angkat donk teleponnya...”
Namun hanya dengungan nada lemah yang terdengar membalas ke telinganya, sebelum akhirnya sebuah rekaman suara menyambutnya, “Hai, ini Jo. Tinggalkan pesan setelah beep dan aku akan meneleponmu kembali.”
“Jo, erm.. dengar, aku sudah banyak berpikir. Aku benar-benar minta maaf karena sikapku tadi siang. Aku mau kamu tahu kalau aku akan menemanimu mulai dari sekarang, tak peduli apapun yang terjadi. Aku sedang dalam perjalanan kesana. Busnya sudah menunggu di seberang jalan ini. Jangan menyerah ya... dan Jo, aku sayang ka..”
Sebuah sedan menabrak dengan suara keras yang hanya bisa ditutupi suara lengkingan rem mobil itu sendiri. Jalan yang sepi itu tidak lagi tampak indah. Aprille terlempar ke tengah jalan bahkan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya terakhirnya.
Enam menit sebelumnya...
Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan. Musim semi telah tiba, daun bermekaran dimana-mana, angin sejuk menggelitik telinga dan kicau burung bersenandung merdu. Tetap saja, Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan.
Aprille duduk termenung di bawah sebuah pohon tua. Tangannya menggenggam sebuah apel merah yang ranum. Ia tidak berniat sedikitpun untuk memakannya. Tapi ia memandangi apel itu dengan penuh ingin tahu. Lalu, tanpa peringatan apa-apa, dia melempar apel itu vertikal ke atas. Dia menangkapnya lalu melemparnya kembali.
“Sif, apa yang kau lakukan?” Aprille berbalik dengan kaget. Apelnya jatuh menggelinding ke entah mana.
“Sam.” Sahut Aprille mengenali lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Entah kenapa dia merasa begitu kecewa melihat Sam. Tapi Aprille sengaja menyembunyikan kekecewaannya dan berkata, “Oh, aku hanya sedang mencari udara segar... dan berpikir.”
Sam memandang Aprille dengan seksama. Sudah terlalu lama dia mengenal Aprille dan Jo sampai dia bisa tahu kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu Aprille sekarang.
“Sif, kau baik-baik saja?” Aprille melirik Sam dengan cepat, seakan Sam telah berbuat sesuatu yang salah. Tapi dia tidak akan bisa membohongi Sam, karena Sam lalu berkata, “Ini soal Jo, kan?”
Aprille diam saja, tidak mengangguk, tidak menggeleng.
“Dengar Sif, Aku sudah kenal Jo sejak dia kecil. Dia tidak pernah bahagia seumur hidupnya. Tapi waktu dia pindah ke kota ini dan bertemu denganmu, dia menjadi orang yang berbeda. Dia menjadi... bahagia.” Aprille memandang Sam seperti baru pertama kali dia bisa melihat dengan jelas. “Aku tahu dia mencintaimu, dia selalu mencintaimu. Dan apapun yang dikatakannya padamu yang mungkin melukaimu, aku yakin di dalam hatinya dia tidak bermaksud begitu, dan dia tidak pernah ragu akan cintamu.”
Perkataan Sam sepertinya telah membuka suatu jendela masa lalu Aprille. Dia bisa melihat masa-masa indah yang dia dan Jo lewati bersama. Dan seperti disambar petir dia mendadak menyadari sesuatu yang sudah dia lupakan, sesuatu yang begitu sederhana.
“Kamu benar Sam. Ya ampun Sam, mengapa aku bisa begitu bodoh? Apa yang kunantikan dengan duduk disini? Dari semua tempat yang bisa kukunjungi, aku datang ke taman ini dengan apel di tanganku... Tentu saja aku cinta padanya. Oh, tidak. Aku tak percaya aku meninggalkan dia di sana sekarang.. sendirian...”
Dan Aprille Schiffer berlari meninggalkan Sam yang terbengong, meninggalkan keraguannya, dan berlari mengejar cintanya. Mendadak saja, Gristle Park tidak lagi terasa begitu menyedihkan, sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu dia sadari.

***

Dua puluh enam kilometer dari tempat itu, di kamar paling ujung dari rumah sakit paling megah di kota itu, berbaring seorang lelaki dua puluh tahunan yang sedang menatap sebuah cincin berlian di dekapan kedua tangan lemahnya. Pikirannya terlukis di permukaan batu itu, karena dia berani sumpah kalau dia bisa melihat wajah Aprille menjawab ya setiap kali dia berpikir akan rencananya melamar gadis itu malam ini.
Jo menyimpan kembali cincin itu dalam sakunya. Ia juga sudah banyak berpikir. Ia mencintai Aprille dengan segenap hati, selalu dan selamanya. Dan dia juga tahu Aprille merasakan yang sama padanya. Oleh karenanya, Jo merasa begitu malu pada dirinya telah meragukan cinta Aprille.
Kepalanya sakit. Jo tahu dia harus istirahat sekarang. Tadi dia kebanyakan berpikir. Dia hampir saja memaksa otaknya untuk menghancurkan diri sendiri. Tidur. Dia butuh tidur.
Jo memeluk bantal warna biru kesukaan Aprille, yang setiap malam juga menemaninya untuk setia berada disamping Jo. Ah, andai waktu lebih cepat berlalu, dan aku akan bisa segera bertemu lagi dengan Sif. Aku sudah rindu padanya. Jo berpikir dengan pelan. Dia masih merasa sakit yang menusuk di kepalanya. Tapi dia juga punya Aprille yang berkelebat dalam benaknya.
Rasa sakit itu datang lagi. Jo tahu dia harus tetap berpegangan dengan Aprille. Jangan lepaskan tangannya.
Rasa sakit itu datang lagi. Begitu hebatnya sampai rasanya kepala Jo sudah membara.
Aku ingat Aprille. Waktu dia tersenyum. Waktu dia tertawa. Waktu dia bernyanyi.
Rasa sakit itu menyerang lagi. Aprille. Aku ingat Aprille...
Enam hari sebelumnya...
Ketika Aprille masuk ke kamar Jo, banyak hal yang menyerangnya sekaligus sehingga dia tidak bisa mencerna semuanya. Apakah itu bayangan beberapa hari lalu ketika Jo ambruk di hadapannya dan dibawa ke rumah sakit ini dalam keadaan yang mengkhawatirkan, atau apakah itu bayangan Dokter Phillip yang menyarankan operasi Cyrosurgery saat dia menyuarakan kecemasannya akan keadaan Jo, atau apakah itu hanya amukan kesedihan Aprille setiap kali ia harus melihat lelaki yang dicintainya berbaring lemah? Disela semuanya itu, Aprille langsung bisa melihat raut muka Jo di tempat tidur. Jo menoleh padanya.
“Hai..” sahut Aprille riang, namun segera diakhiri dengan nada penuh kebingungan. “Apa yang terjadi? Mereka bilang tidak akan mengeluarkan kamu dari ruang operasi paling tidak tiga jam lagi? Kamu baik-baik saja?”
Jo tidak menjawab Aprille. Dia menoleh ke arah jendela, dimana terpampang kesibukan kota yang sudah beberapa hari ini ditinggalkannya.
“Jo?” Ulang Aprille, kian mendesak. Aprille mendeteksi sesuatu di ekspresi Jo yang dia tahu Jo tidak bisa mengeluarkannya. Atau tidak tega.
“Mereka memberiku tujuh hari. Sif, tujuh hari.” Seperti ada yang merogoh jantung Aprille dan menghentakkannya kasar kebawah, Aprille tidak bisa berkata apa-apa. Dia bergegas mendekati Jo dan memeluknya. Tidak dia sadar air matanya mengalir jatuh ke bantal kesukaannya.
“Oh, tidak.”
“Dokter Phillip bilang operasi pendinginan itu tidak berhasil. Mereka hanya bisa menangkat sebagian.”
“Jo, jangan berkata lagi.” Sahut Aprille pilu. “Kamu akan bisa melewati ini. Kita akan.. kamu pasti akan sembuh.”
“Tidak, Sif. Sudah lama ini kuketahui. Dan kini saatnya sudah tiba. Tolong jangan menangis. Aku tak mau kamu menangis. Kamu lebih cantik kalo sedang ketawa.” Tapi Aprille tidak punya sedikit keinginan pun untuk tertawa. Dia tidak tahu harus berkata apa. Maka dia hanya diam dan mendekap Jo seerat mungkin, seakan yakin kalau begitu Jo tidak akan meninggalkannya.
Aprille merasakan tangan Jo membelainya beberapa waktu kemudian.
“Sif, aku sudah banyak berpikir. Kurasa kamu lebih baik tidak disini. Aku.. Aku tak mau melihatmu menyia-nyiakan waktumu bersamaku, kamu masih punya hidup di luar sana. Aku rasa...”
Aprille tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, “Apa maksudmu? Mana bisa aku meninggalkan kamu?”
“Itulah maksudku, dan kamu bisa, Sif. Aku tidak mau kamu seharian disini dan meninggalkan perkerjaanmu. Aku tak mau kamu tidak tidur dan sakit karena harus merawatku. Aku tak mau kamu tidak bisa menikmati kehidupan karena harus bersamaku.”
“Aku tidak ‘harus’ bersamamu. Jo... aku memang mau bersamamu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang begitu?” umpat Aprille, yang benar-benar terkejut. “Jo, ini benar-benar konyol, hanya karena seorang dokter bodoh meramalkan hidupmu tinggal tujuh hari, bukan berarti aku akan meninggalkanmu...”
“Justru itu. Semuanya telah berubah. Aku tidak akan ada lagi untukmu. Minggu depan, aku mungkin sudah mati! Dan aku tak mau kamu ada disana.. kamu seharusnya bahagia...” Aprille menggeleng tak percaya apa yang didengarnya, tapi dia tidak pernah melihat wajah Jo yang begitu sedih dan marah seperti itu. “Kupikir jika operasi ini berhasil, aku akan... padahal aku sudah merencanakannya.. tapi semuanya tidak berarti lagi.. tolonglah, Sif.. pergilah.”
“Tapi aku sayang padamu, Jo... dan kamu juga begitu...”
“Bukankah itu yang membuat semua ini menjadi lebih sulit?”
Jo berpaling. Ia bisa mendengar isak Aprille yang semakin lama semakin menjauh. Aprille sudah pergi. Selesai sudah semuanya. Jo meraih sakunya dan mengeluarkan sebuah cincin berlapis berlian. Ia menatap cincin itu lama sekali sebelum akhirnya dia menutup matanya yang basah.
Enam bulan sebelumnya...
“Jo, apa kamu sudah baca buku yang kupinjamkan itu?”
Waktu itu sedang awal musim dingin. Semua orang lebih suka berdiam di rumah mereka dan nonton TV, tapi Jo dan Aprille sudah berjanji tidak boleh berdiam di rumah sekalipun badai salju menerjang. Mereka harus pergi ke Gristle Park, berdua merayakan Anniversary hubungan mereka yang keenam, dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya.
“Oh, sudah. Tentang apa sih itu? Tiga bab pertama pikiranku selalu bilang ‘Ini kan The Hobbit’, dan dua bab selanjutnya kepalaku bilang ‘Bukan, ini sih bukunya Robert Ludlum’.”
“Haha, siapa yang sangka kamu tidak mengerti judul bukunya waktu kamu baca ‘Men are from Mars, Women are from Venus’.” Sela Aprille santai, mendorong Jo yang sejak tadi tersenyum-senyum. “Hey, tidak sangka yah kita sudah bertahan enam tahun?”
“Iya, kamu sudah jadi tua tuh.” Gurau Jo.
“Hah? Beraninya kamu taruh jinx di anniversary kita...”
“Tenang aja deh, Sif. Hari ini tidak akan kita lupakan.. kecuali kalau kita mati kedinginan.”
Aprille tertawa.
“Kepalamu masih sakit?” tanyanya tiba-tiba, dengan muka cemas seperti biasanya.
“Oh, tidak lagi. Thanx. Kurasa itu hanya migrain.” Jawab Jo. Lalu dia menggenggam tangan Aprille dan menuntunnya sampai dibawah sebuah pohon oak tua. “Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Sif.”
Baru saja Aprille menerbitkan wajah serius-hendak-mendengar-nya, telepon genggam Jo berdering keras, bunyinya lebih menembus tulang dari pada dinginnya udara.
“Oh, Dr Phillip. Mungkin dia mau kasih aspirin.”

***

“Hei, jadi apa kata Dr. Phillip?” tanya Aprille beberapa jam kemudian. Mereka sudah kembali di rumah Jo. Jo baru saja menemui Dr. Philip, yang ternyata ingin bertemu langsung dengan Jo.
“Katanya hasil pemeriksaannya sudah keluar.” Seru Jo lemah. “Dan tampaknya tidak bagus.” Jo memandang Aprille dengan penuh arti.
“Apa maksudmu?” Aprille melirik Jo dengan hati-hati, mencoba memecahkan teka-teki yang terhampar di wajah Jo.
“Katanya... katanya.. aku punya peliharaan tumor di otakku. Terus tumbuh.” Aprille mendekap mulutnya, shok.
“Ini gila. Kamu tidak percaya dia kan? Maksudku.. ayo kita cari pendapat kedua. Apa yang dia sarankan?”
“Menurut dia, kalau ini tumor yang ganas, aku mungkin tidak punya kesempatan. Dan kalau ini sesuatu yang ganas, maka aku hanya punya hitungan bulan... bukan tahun.”
Mereka berpandangan, lama sekali.
“Maaf aku sudah merusak Anniversary kita.” Kata Jo akhirnya.
“Tidak kok. Ngomong-ngomong apa sih yang mau kamu bilang tadi di taman?” tanya Aprille hati-hati.
“Oh, itu tidak penting lagi..” Jo tampak berpikir, tapi Aprille segera bertindak.
“Jo, aku cinta padamu.” Lalu dia tersenyum manis sekali.
“Aku juga, Sif.”
Enam tahun sebelumnya...
Aprille Schiffer paling suka belajar fisika sendirian di sebuah taman di dekat rumahnya. Dia tidak pernah mengundang teman-temannya kesana, karena dia suka kesendirian. Gristle Park menjadi semacam Fortress of Solitude miliknya. Disana, dia bebas melamunkan apa saja yang dia suka. Kadang, dia suka berpikir kalau dia bisa mendapat ide brillian macam si Newton sehingga suatu saat dia bisa menciptakan suatu rumus yang menggemparkan dunia.
Aprille Schiffer juga dikenal sebagai kutu buku di kelasnya, penggemar pelajaran Fisika yang digosipkan lebih menyukai fisika daripada cowok. Padahal dia sudah berumur 17 tahun. Sebenarnya, Aprille tidaklah demikian. Hanya saja, dia memang suka dengan fisika, dan itu selalu memberinya kesan kutu buku yang dalam.
Hari ini dia melempar-lemparkan apel dibawah sebuah pohon oak yang tua, mencoba memahami gravitasi seperti si Newton. Sialnya, dia ternyata bukan satu-satunya orang di taman itu. Seorang cowok sejak tadi meliriknya, ingin tahu apa yang sedang dia lakukan. Sampai suatu saat, ketika cowok itu tidak tahan lagi, dia menyapa gadis itu..
“Kamu ngapain sih lempar-lempar apel ke pohon?”
Aprille terlonjak kaget karena tidak menyadari dia sedang diawasi. Ia menoleh dan matanya memandang seorang lelaki jangkung yang berwajah seperti seekor singa.
“Hah?” seru Aprille. Apelnya terlempar keras dan memantul mengenai kepalanya sendiri.
“Kamu mesti hati-hati sebelum mati karena sakit kepala.” Guraunya tajam.
“Siapa kamu?” Balas Aprille sedikit kesal.
“Mengapa kamu selalu duduk di bawah pohon ini?” tanya balik si lelaki itu.
“Hey, jawab dulu donk.” Umpat Aprille, “Aku memang selalu kesini, kok. Kamu siapa? Aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya.”
“Oh, Aku baru di kota ini. Rumahku dekat taman ini, dan aku suka suasana damai disini. Kalau besok aku kesini, apakah kamu datang lagi?” tanya lelaki itu dengan cepat.
“Mungkin. Emank kenapa?” balas Aprille masih cuek.
“Aku belum punya teman disini, apakah kamu mau jadi temanku?” tanya cowok itu tanpa basa basi.
“Kenapa kamu mau berteman denganku?”
“Karena kamu punya apel.” Katanya dengan polos.
Keduanya tertawa bersamaan. Aprille melihat cowok itu duduk di rumput di dekatnya. Ekspresinya begitu tenang.
“Kenapa kamu belum juga memberitahu namamu?” tanya Aprille heran. Dia tidak pernah melihat seorang cowok yang begitu aneh.
“Oh, aku lupa. Maaf. Kamu bisa panggil aku Jo.” Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Aku Sif.” Sahut Aprille.
“Nama macam apa Sif itu?” umpat cowok itu menyebalkan.
“Nama macam apa Jo itu?” balas Aprille tersenyum, dan dia juga bisa melihat senyum terlukis dengan lembut di wajah cowok itu.
“Bagaimana kalau kita ulangi lagi?”
Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Hi, Namaku Jonathan Fayes. Tidak ada yang panggil aku Jo.”
“Hi juga, aku Aprille Schiffer. Tidak ada yang panggil aku Sif.”

——o0OÔO0o——

All Characters described are merely fiction.
Aprille Schiffer© and Jonathan Fayes© created by Bam, 2006

Komentar Penulis :
Ini mungkin adalah cerpen paling sulit yang pernah kutulis. Aku sudah berencana menyusun sebuah karya tentang cinta yang begitu pahit sejak beberapa minggu silam. Ide-ide untuk cerita ini berdatangan secara terpisah, namun pantas untuk ditunggu. Aku menyelesaikan cerpen ini dalam waktu 4 jam, dan menyempurnakannya selama 2 jam kemudian. Keunikan cerpen ini terletak pada kronologik ceritanya, bagaimana waktu bisa menipu. Hidup berubah, dan cinta bukanlah sebuah pawai kemenangan.
Aku ingat saat-saat ketika aku mencari nama yang cocok untuk si lelaki -Jo. Aku berpikir lama sekali sebelum akhirnya mendapatkan nama yang paling cocok untuk karakter tersebut. Juga, karakter Sam awalnya bersifat antagonis, namun ceritanya akan terlalu panjang jika aku harus memasukkan satu tokoh penting lainnya kedalam cerita ini. Sama untuk kisah ini, sungguh aneh bagaimana suatu hal bisa berubah.

Bam.

Trivia
- Sif adalah kependekan dari Schiffer.
- Kata Gristle berarti tulang rawan.
- Cyrosurgery adalah metode pembedahan tumor di hati dengan nitrogen cair pada suhu -200oC dimana pada suhu itu sel-sel tumor menjadi mati.
- Setting dan latar kisah ini adalah NewYork bulan April 2011 pada awal cerita, yang membawa Sif kembali ke November 2004 pada akhir cerita.
- Narator pada bagian prolog kisah ini adalah seekor lebah.

Friday, February 17, 2006

▫▪▫ Story 0 ▪▫▪

This is a story before the others.
Story 0
An Unfamiliar Glow

Sungguh pagi yang indah. Hari yang indah. Semua yang eksis di dunia tampaknya sedang merayakannya. Kicauan burung, udara sejuk yang meniup telinga, sampai barisan semut yang menari penuh semangat. Aku sangat tidak ingin merusak hari ini, namun kepulanganku ke kota ini hanyalah sebuah kunjungan, dan harus berakhir. Aku pun benci mengakhiri kunjungan ini, tempat dimana masa laluku bisa menyentuhku lagi, walau aku tahu aku tidak mempunyai kenangan yang benar-benar istimewa, aku selalu berpikiran sebaliknya.

Jadi, di hari yang biasa ini, aku bertolak ke pelabuhan, pintu keluar kota ini. Jevy yang mengantarku ke sana, karena aku tidak mempunyai seorang kakak, ayah, ataupun seorang ibu. Jevy tinggal di sebelah. Rumahnya besar dan megah, tapi dia tidak pernah sombong. Ia malah yang menawarkan jaguarnya untuk mengantarku.

Jevy menaruh koperku di bagasi dan mempersilakan aku masuk. Jaguar sungguh mobil yang bagus, walaupun aku tidak begitu suka dengan ide kendaraan yang membuang gas pollutan. Pemanasan global di bumi ini sudah cukup parah.
“Bagaimana liburanmu, Hailie?” tanyanya waktu kami mulai memasuki jalan tol.
“Lumayan,” kataku “Menyenangkan bisa melihat kembali kehidupan kita yang lalu.” Aku memandang santai pemandangan ramai yang terus berkelebat dari kaca jendela.
“Aku akan mengambil jalan di kiri, lebih sepi dan jarang digunakan. Kita tak mau terjebak macet.” Kata Jevi. Aku mengangguk setuju, tidak memandang Jevy yang sedang sibuk berkendara.

Kami masuk ke jalan lebar yang lebih sepi. Tidak ada mobil lain yang tampak, dan ini bukan lagi jalan layang. Jevi mempercepat laju mobilnya. Aku hanya menangkap gambar pohon-pohon sekilas sebelum mereka bergerak mundur melewatiku. Kemudian sesuatu terjadi dengan cepat sekali, membuatku menoleh terkejut ke arah Jevi.

Bahkan sebelum aku sadar apa yang terjadi, terdengar suara rem keras dan sesuatu menabrak mobil kami di sayap kanan belakang. Jevi berseru marah dan memutar stir untuk mengendalikan mobilnya yang sudah mulai oleng. Tapi bukannya membaik, mendadak aku merasa sesuatu yang berat memukul kami dari belakang. Jaguar Jevi terbalik. Sesuatu meledak dan suara letupan keras memenuhi kepalaku. Selama kira-kira sedetik, mobil kami terseret dalam keadaan terbalik. Api menyembur dan membakar kakiku yang tak bisa digerakkan. Panas dan sakit menguasaiku. Lalu terdengar ledakan lagi, dan kali ini lebih keras. Aku merasa seperti terlempar dengan keras. Tubuhku menyentuh sesuatu yang panas dan kasar. Kaki dan kepalaku sakit bukan kepalang, namun semuanya menjadi gelap dan hitam.



Aku mendengar suara-suara teriakan, suara kasar seorang lelaki. Lalu tubuhku bagai ditarik oleh sesuatu. Ketika aku membuka mata, pemandangan didepanku mengerikan sekali. Sekitar empat meter dari tempatku berbaring, dua mobil sedang diselimuti api, keadaannya gosong, terbalik, terpecah-pecah sampai rasanya tak bisa dikenali lagi. Tapi aku bisa melihat Jaguar Jevi yang sedang dilalap api. Isi kepalaku tiba-tiba terasa hilang. Aku melihat sekeliling untuk mencari Jevi, tapi tak ada orang yang aku kenal. Beberapa lelaki empat puluh tahunan keluar dari mobil mereka dan sedang terlihat sibuk bertelepon di ponsel mereka. Seorang lelaki gelap yang pakaiannya gosong berlari ke arahku.
“Nona, kau bisa jalan?” tanyanya sambil berjongkok memeriksa keadaanku.
Lalu aku sadar kesakitan yang melanda tubuhku. Aku tak bisa merasakan kakiku, tangan dan lenganku berdarah-darah dan perutku rasanya seakan disodok keras-keras dengan pemukul gong. Aku menggeleng. Lelaki itu mencoba mengangkat tubuhku, tapi aku meringis kesakitan. Dengan tanganku yang kebas, aku bisa merasakan luka yang cukup parah di dahiku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lelaki itu mengangkatku, berjalan sambil berteriak pada sekitarnya “Dimana ambulansnya!?”



Satu jam kemudian. Aku sampai di rumah sakit. Banyak orang berpakaian biru atau putih mendorongku yang sedang berbaring lemas di atas tandu berjalan.
“Yang lainnya tidak ditemukan. Gubernur dan anaknya juga.” Terdengar suara lelaki tadi. “Dia satu-satunya yang selamat.”
“Langsung bawa ke unit gawat darurat.” Perintah seorang wanita.
Aku merasa bergerak ke ruang ICU. Setelah banyak mendengar suara yang samar-samar di ambulans, kepalaku akhirnya berhasil menyimpulkan beberapa hal. Mobil yang tadi menabrak kami adalah mobil pemerintah yang hilang kendali. Begitu menabrak, sesuatu dari mobil itu meledak dan membalikkan jaguar Jevi. Lalu mobil itu meledak sekali lagi, dan membuat mobil kami terlempar keras dan ikut dilalap api. Pada saat itulah aku mungkin terlempar keluar mobil. Jevi dan yang lainnya tampaknya tak ada yang selamat.

Aku merasa semakin lemah, rupanya aku sudah dibius. Pandanganku semakin kabur. Aku tak bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di depanku, pikiranku tidak bisa merambat lagi, merasa hari biasa tadi tidaklah begitu biasa lagi.



Satu hari kemudian. Aku dipindahkan ke ruang High Dependency Unit, begitu aku selesai dioperasi. Disini, kerabat-kerabatku mulai datang berkunjung. Aunt May datang setiap hari. Ia hanya meninggalkanku sewaktu malam, karena waktu besuk sudah berakhir setiap pukul sepuluh. Aunt May bersyukur sekali aku selamat. Dia terus-terus menangis dan berterima kasih. Dia bilang dia tidak bisa bayangkan kehilangan diriku, padahal usiaku belum sampai muka dua. Dia sudah lebih tenang sewaktu aku bilang dia sudah seperti ibu bagiku. Dan bagiku, dia adalah ibuku.

Lalu Aunt May banyak bercerita. Dia sangat sedih waktu memaksakan dirinya memberitahuku Jevi sudah meninggal. Aku lumayan terkejut, walaupun sudah menduga demikian. Jevi orang yang baik. Tuhan memang kadang punya rencana yang lain. Tapi Aunt May bilang aku sekarang terkenal, karena selain Jevi, yang meninggal dalam kejadian kemarin adalah Gubernur kota tetangga kami beserta anaknya. Karena aku satu-satunya yang selamat, banyak wartawan datang untuk meliput cerita ini, berusaha mendapatkan fotoku.

Hari berlalu dengan lambat dan menyakitkan. Berbagai kejadian bertubi-tubi terjadi di sekitarku, tapi tak ada yang penting dan membuatku terkejut, setidaknya sampai malam harinya. Aku baru saja dibius, dan kondisiku lemah. Aku mendengar ada seseorang yang mau menjengukku. Seorang teman. Aku tak bisa memikirkan siapa, semua sahabatku sekarang sudah sedang ada di luar negeri. Ketika dia memasuki kamarku, aku mengenali gaya bicaranya yang malu-malu. Pete. Dia laki-laki yang aku kenal beberapa tahun yang lalu, sewaktu aku masih sekolah disini. Orangnya sangat penutup dan pemalu. Jangkung. Murah senyum, baik dan ramah. Aku jarang bergaul dengan dia, tapi kami berteman baik. Sewaktu lulus, kami tidak pernah berhubungan lagi. Terakhir aku dengar, dia sedang keluar kota. Aku tak bisa membayangkan Pete datang menjengukku. Dia seperti suatu bagian kecil masa laluku. Tapi disitulah dia, Pete berdiri di depan pintu masuk kamarku. Berbicara gugup dengan Aunt May. Aku mencoba menangkap pandangannya. Mukanya kelihatan pucat, dan dia lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Waktu dia memandangku, dia tersenyum seakan bermaksud menenangkanku. Beberapa menit kemudian, dia melambai padaku malu-malu, dan segera pergi tanpa sepatah katapun.


Satu malam kemudian. Keadaanku semakin membaik. Popularitasku semakin gencar mengejarku, sama sekali tidak kusangka sebelumnya. Beberapa teman sekolahku datang menjengukku. Beberapa darinya bahkan tidak kukenal. Tapi aku lumayan senang mereka datang, dan lumayan malu mereka melihatku saat keadaanku seperti ini.

Pada tengah hari ketiga aku di kamar ini, Pete datang lagi. Kali ini wajahnya lebih rileks dan tidak sepucat sebelumnya. Aku merasa kecewa dengan kunjungan terakhir Pete yang begitu singkat, jadi waktu aku melihat wajahnya sekali lagi, aku merasa bahagia. Suatu perasaan yang asing mendadak saja memenuhi diriku. Aku tak pernah mendapat hal yang seperti ini. Pete duduk, menanyakan bagaimana keadaanku. Tampaknya ia ingin meminta maaf untuk kunjungannya yang terakhir. Tapi dia bertingkah seperti tidak bisa berbicara. Itulah ciri khas Pete. Kalau sudah sampai soal perasaan, dia bisa menjadi yang paling jago, sekaligus yang paling bodoh.

Aku mengangguk pelan, tersenyum. Aku tahu apa yang mau ia katakan. Tiba-tiba saja aku rasanya bisa memahami dia. Waktu pertama Pete mendengar kabarku, mungkin dia shock. Dia selalu baik padaku. Tentu dia tidak mau menggangguku pada malam pertama aku disini, lagi pula aku sedang dibius. Aku tak cukup kuat untuk berbicara. Tapi sekarang sudah lain, kami berbincang-bincang seakan sekarang adalah acara reuni yang terundur. Aku menceritakan lagi kecelakaannya pada Pete. Kami tertawa. Kami mengingat kembali masa terakhir kami bertemu.

Aku sangat berterimakasih karena Pete sudah datang. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan tidak ingat lagi dengan orang ini. Sekarang aku senang dia ada bersamaku. Banyak kenangan lama kembali lagi padaku. Membuatku sadar kalau sesuatu yang kecil terjadi di masalalu, kadang tidak selamanya terlupakan. Kenangan yang biasa saja di masalalu, kadang menjadi yang terindah buat kita. Aku masih ingat kalau dulu, aku pernah merasa Pete suka padaku. Aku begitu cuek dan tidak peduli. Satu hal kecil.
Satu hal kecil.



Aku kalang kabut. Perasaanku tak terkendali. Kepalaku penuh istilah-istilah latin yang tidak aku mengerti. Udara disini pengap sekali, seperti biasa kalau lima puluh orang lebih dikumpulkan dalam satu ruangan yang AC-nya rusak. Susah sekali untuk konsentrasi. Padahal tinggal setengah jam lagi ujian Biologi akan dimulai. Entah apa yang kulakukan semalam sampai tidak sempat menghafal semua catatan ini. Tiga bab. Ilmu taksonomi, cara perkembangbiakan kelajengking, struktur anatomi jantung Pisces, dan sistem organ pada manusia yang terdiri dari sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem respirasi, sistem gerak dan sistem transportasi darah.

Aku pastilah tampak kacau sekali. Temanku Elisha yang duduk tepat disampingku sudah pindah kira-kira setengah jam yang lalu. Ia sudah sadar keadaanku yang berbahaya. Ia tentu juga sadar kemarahanku yang sudah menggelegak dipermukaan bisa tersembur ke siapa saja yang cukup tolol untuk bernafas terlalu keras di dekatku, atau tertawa mendengar lelucon orang lain. Banteng yang terluka ini tampaknya sudah jelas bagi seisi kelas. Tulisan ‘Jangan ganggu aku’ bagai tercoret begitu saja di jidatku, membuat semua orang yang sudah percaya akan lulus Biologi, buru-buru menyingkir sebelum aku meledak.

Aku sedang membaca ulang baris ketiga defenisi dari tekanan osmosis dan sedang sebal tak mengerti juga mengapa aku tidak bisa menyerap kalimat itu kedalam otakku, ketika seorang lelaki kurus berambut hitam terbelah ke samping datang dan duduk disampingku. Aku menoleh tak percaya padanya. Siapa pula yang belum membaca ancamanku, atau terlalu tolol untuk mengerti. Ternyata Pete. Dengan muka cerah seakan tak ada hal lain yang lebih dicintainya daripada duduk di sampingku, dia berpaling padaku.
“Sudah bisa belum?” tanyanya riang.
Selama kira-kira sedetik, aku berniat menimpuk kepalanya yang bodoh itu dengan buku biologiku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Malah, tanpa mengerti apa yang kulakukan, aku menatapnya dan tersenyum lalu berkata,
“Oh, belum.”

Pete tersenyum sekilas padaku, lalu meraih catatan yang tadi sekuat tenaga kuremas, seakan berharap isinya melayang masuk ke kepalaku. Aku tidak melakukan apa-apa selain membiarkannya. Aku tak tahu mengapa aku melakukan itu. Pete selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih. Dia tidak pernah membuatku marah, dan anehnya, tidak bisa. Aku tidak merasa punya rasa suka pada lelaki ini. Walaupun banyak orang yang bilang kalau Pete diam-diam naksir padaku. Aku tetap tak peduli. Bagiku, Pete hanyalah seorang teman. Dan aku tidak mengharap lebih. Tapi rupanya Pete tidak berpikir demikian. Karena dia kemudian membantuku untuk menghafal. Banyak hal yang tidak kuketahui dia terangkan kurang dari setengah jam. Dan walaupun pada awalnya aku sebal dengan interupsinya, aku menjadi lebih tenang karena ada baiknya Pete duduk di sampingku. Aku merasa paling tidak ujian Biologi kali ini aku akan lulus.

Ketika ujian berlangsung, aku dilanda stress, dan kalau itu mungkin, stroke. Aku tak bisa menjawab kira-kira empat per lima dari semua soalnya. Sungguh satu setengah jam yang menyedihkan. Pada belasan menit terakhir, aku sudah pasrah. Sebagian dari diriku tak mengerti mengapa aku tidak bisa menjawab soal-soal ini.

Lalu aku melihat Pete, berdiri di luar kelas menungguku. Kaget, aku hampir saja merobek lembar jawabanku. Untuk apa pula dia berdiri disana? Aku tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pete memandang ke dalam mataku dari kejauhan dan tersenyum, lalu dia mengacungkan kedua jempolnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Apakah dia mengharapkan aku bisa menjawab semua pertanyaan ini setelah dia membantuku tadi? Kalau iya, dia salah besar. Ataukah dia cuma ingin mengolokku, tahu kalau aku pasti gagal di ujian kali ini... Berbagai pikiran menyelimutiku. Pada akhirnya, aku mengisi acak jawaban untuk soal-soal yang tersisa, lalu bergegas keluar.

Pete langsung menyambutku. Aku rasanya sudah ingin memarahinya. Ingin melampiaskan segala kekesalan hari ini pada mukanya yang ceria dan malu-malu.
“Bagaimana, Hailie?” tanyanya riang, seperti biasa. Sekali lagi, aku mendadak tak ingat rencanaku untuk memukulnya. Aku hanya menjawab lesu, berharap dia pergi dariku secepat mungkin.
“Gak bagus.” Aku menggeleng lemah.

Lalu sesuatu yang aneh terjadi, aku ingat aku sedang berjalan di sampingnya, bergerak menjauh dari kelasku. Pete mengikutiku. Dan rasanya semua beban yang tadi memenuhi kepalaku mendadak hilang. Aku menatapnya heran, seolah yakin Pete punya penjelasannya. Tapi dia hanya memandangku dan tersenyum, lalu berbicara soal cuaca. Pada saat itu, aku tiba-tiba tidak ingin berpikir lagi. Aku lalu berjalan pulang bersama Pete, bicara soal hal-hal yang lain yang tak penting. Tersenyum, aku tak bisa melupakan perasaan ringan ini. Bersama Pete, yang selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih.



Satu minggu kemudian. Aku sudah operasi untuk yang kedua kalinya, yang membuatku terbangun malam-malam hari berikutnya sambil mengerang kesakitan. Aku sadar bagian yang tersulit belum lewat. Orang-orang yang menjengukku tidak bertambah sedikit, namun wajah Pete tak terlihat lagi dari mataku yang tersiram air mata kesakitan, membuatku sedikit merasa terlupakan. Aneh, aku tak tahu mengapa aku merasa begitu. Tapi aku lalu berpikir-pikir sendiri di kamar itu sewaktu aku menghabiskan hariku yang panjang. Mungkin tidak adil bagiku untuk mengharapkan Pete datang mengunjungiku lagi. Dia ’kan punya hidup. Dan dia juga tidak begitu akrab denganku dulu, waktu di sekolah, ataupun sesudahnya. Aku merasa sedikit muak pada diriku yang egois ini. Walaupun begitu, aku tak bisa tidak mengaku kalau sebagian kecil dari diriku mengharap bisa bertemu Pete lagi.

Makan siangku semakin lama semakin bervariasi, namun apapun yang masuk ke mulutku tampaknya berubah hambar. Sore ini rasa sakit kakiku tak terbayangkan. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis keras-keras. Ingin rasanya aku membagi kesakitan ini dengan orang lain, supaya mereka setidaknya mengerti apa yang kurasakan. Tapi aku tak bisa apa-apa, hanya bertahan tanpa tahu sudah berapa lama aku berjuang.

Lalu ketika Em, sohib baikku pulang, aku melihat wajah Pete bergerak mendekat menuju tempat tidurku. Dia tersenyum dan menyapaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, dan tanpa senyum, aku memandang matanya lama sekali. Tampaknya dia sedikit salah tingkah karena kulihat terus, karena dia buru-buru memalingkan mukanya sebentar sebelum mengobrol denganku. Seperti setiap kali teman baikku menjengukku, rasa sakit yang kurasakan semakin berkurang. Emosi tak terjelaskan menjalari tubuhku. Seberkas cahaya asing yang tak tampak sebelumnya, sekarang begitu pekat. Menyiramiku dengan kehangatan.

Aku sangat senang hari itu. Ketika semua temanku akhirnya pamit pulang, Pete kembali sekali lagi dan meninggalkan sepucuk amplop di hadapanku.
“Aku lupa memberikan ini padamu.” Katanya sedikit malu, lalu pergi setelah meninggalkan surat itu.
Aku membukanya dan menemukan sehelai kartu jingga ramah bertuliskan “Hailie Hope” di atas kalimat lain yang tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berhenti membacanya, tanpa banyak tahu mengapa mataku kembali basah. Tapi aku tahu satu hal, sudah cukup lama sejak air mata bahagia terakhir mengalir turun ke pipiku.

——oОo——


All Characters described are merely fiction. Hailie Hope© created by Bam, 2004

Komentar Penulis :

Cerpen ini aku tulis tahun 2005, aku lebih suka menggambarkannya sebagai suatu bab dari jurnal hidupku. Walau cerita ini bukanlah kisah nyata, beberapa hal yang kualami memberikanku inspirasi. Pete, aku suka tokoh yang aneh-pemalu-tapi-mengesankan ini. Mirip seseorang yang dulu aku kenal. Hailie Hope, mungkin adalah karakter favoritku. aku menciptakan dia sekitar lebih dari setahun lalu, dan sampai sekarang aku masih berharap bisa bertemu seseorang yang seperti dia. Cerita ini berlatar di tahun 2018-2019. Yah, karena hidup adalah masalah bagaimana kita menjalani waktu.
Bam.

Thursday, February 16, 2006

My First Story.

Welcome to el_leaved's story-blog! This is the premier post. Enjoy!

Story 1

Di atas Metro Mini.

Aku tak ingat lagi apa yang kurasakan saat ini, kupikir aku akan duduk di deretan paling belakang. Aku gerah. Panas. Tak pernah aku merasa sepanas ini di sore hari di Jakarta. Sejak dulu aku pikir Jakarta tidak lebih panas dari kota lain, tapi ternyata aku salah. Aku juga berkeringat, capek, dan ngantuk. Hanya berharap aku lebih cepat sampai ke rumah dan metro mini tua rongsok ini segera bergerak.

Aku duduk di barisan kedua belakang, di pinggir dekat jendela terbuka. Ah, setidaknya aku bisa mendapat sedikit angin sejuk sampai si supir memutuskan untuk mengakhiri penantian penumpang di terminal tersayangnya ini.

Metro belum lagi bergerak. Aku mulai bertambah ngantuk. Ada orang kasar di luar yang berseru-seru kata Grogol dengan logat Batak yang kental. Ada juga suara lain di kepalaku yang juga terasa kasar. Ia memaki-maki diriku. Nah, padahal aku tadi sudah janji untuk tidak, tidak akan berpikir tentang ini lagi selama aku di perjalanan. Berpikir tentang dia, tentang betapa tidak adilnya hidup ini bagiku, tentang apa yang menungguku di depan dan kapan saatnya tiba aku akan bertemu dengan gadis idamanku, yang benar-benar mengerti dan peduli padaku.

Ah, bukankah itu harapan setiap orang yang kesepian? Setiap remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata? Apa yang aku pikirkan, akulah orang itu, akulah remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata. Kan sudah kuperingatkan untuk tidak berpikir tentang ini? Aku tahu aku akan kembali bersikap serba pesimis lagi, kalau sudah mengenai cewek. Aku lumayan banyak mengenal cewek, namun dari semua yang pernah aku taksir, tidak ada yang pernah naksir balik. Lama-lama aku bisa mati bosan karena hidup yang penuh kerutinan menyedihkan ini.

Ada seorang cewek masuk ke dalam metro mini. Sepatunya mengeluarkan bunyi setiap kali dia melangkah, seakan memastikan dia mendapat perhatian semua penumpang saat dia berjalan naik mendekatiku. Dia seorang cewek cantik yang tidak kukenal. Dandanannya mengagumkan dan aku bisa mencium harum parfum yang dipakainya. Khas padang rumput di musim semi. Dia mengambil tempat duduk di belakangku, baris paling jauh, sehingga semua orang tidak bisa lagi melihatnya. Aku juga sulit mengecek dia lebih jauh tanpa menoleh memandangnya langsung.

Ketika kemudian ada seorang bapak masuk dan duduk di samping cewek cantik itu, akhirnya metro bergerak juga. Kelegaan membanjiriku, disusul rasa kantuk yang makin jadi. Mencoba tidak memikirkan cewek cantik barusan, aku merebahkan kepalaku di kaca jendela disebelahku. Bukannya bertambah nyaman, gerakan metro yang mulai ngebut itu membuat kepalaku terantuk berkali-kali, ditambah seruan kondektur yang semakin menjadi-jadi, rasanya sulit bagiku untuk bisa tidur dengan nyaman. Tapi di sela semua itu, aku bisa mendengar bisikan seorang lelaki yang asalnya tepat dibelakangku.

“... patuh dan tak bersuara, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu terluka.” Mataku yang terpejam dalam sekejap terbuka. Aku dengar apa yang aku dengar. Dan hanya ada dua orang di belakangku, dan hanya ada satu lelaki disana. Meskipun demikian aku tidak yakin apa yang terjadi adalah apa yang aku sangka, sampai aku mendengar desah gadis cantik itu yang jelas-jelas bernada takut. Ya ampun, kurasa dia sedang dirampok... aku tidak berani menoleh ke belakang, tidak mau membuat mereka tahu kalau aku mendengar.

Pura-pura masih merebahkan kepalaku, aku mendengarkan dengan tajam, mencari celah diantara suara mesin yang berderum dan suara kondektur yang bersemangat.

“Pelan-pelan keluarkan dompet loe, kita tidak mau ada yang terluka.” Suara bapak itu terdengar hanya berupa bisikan, sedikit gugup tapi pelan dan jelas, seakan ingin memastikan wanita itu tidak berbuat macam-macam. Aku tidak mendengar si gadis bersuara. Tapi pasti dia sedang ketakutan sekali, disamping menyesal karena sudah naik di metro yang salah dan tempat duduk yang salah pula.

Tidak ada suara selama beberapa saat. Sepertinya si gadis sedang mengeluarkan isi dompetnya pada orang asing.

“Hanya ini?” aku mencoba menekankan telingaku lebih ke belakang, mencoba meraih gelombang suara yang dengan marah dibisikkan lelaki itu. “Mana Handphone loe?”

Si gadis sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya apa yang dia mau. Aku bisa merasakan degupan jantungku yang sangat kuat sehingga takut mereka dapat mendengarnya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tampaknya tidak ada orang lain yang menyadari kejadian ini selain aku. Bagaimana jika aku teriak RAMPOK, apakah semua orang akan peduli dan cepat beraksi ataukah justru akan membuat si gadis terluka karena si perampok terkejut? Tapi aku tidak mau hanya berdiam diri saja, mendengar dan menyaksikan si gadis yang ketakutan. Mendadak semua rasa kantuk dan beban pikiranku menguap tanpa bekas.

Pelan-pelan aku merogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah cermin kecil yang tertempel di belakang handphoneku. Aku mencoba menggunakannya untuk melihat apa yang sedang terjadi di belakangku. Agak susah karena selalu terhalang sandaran kursi dan aku takut untuk bergerak terlalu banyak. Tapi akhirnya aku melihat sebilah pisau kecil yang dipegang lelaki itu dengan tangannya yang sedikit gemetaran. Dia tidak tampak begitu cocok dan yakin jadi perampok, tapi tetap saja pisau itu teracung dengan maksud mengancam ke pinggang si gadis.

Aku menggeser cerminku supaya bisa menangkap wajah si gadis, tapi mukanya dihadang oleh sandaran kursi di sampingku. Jadinya aku melihat muka orang yang duduk disampingnya. Dia lelaki berumur empat puluh tahunan yang lusuh, kumis dan jenggutnya tidak lebat tapi cukup banyak untuk menghitamkan sebagian wajahnya. Ekspresinya tampak gugup dan berkeringat.

Tiba-tiba lelaki itu menoleh dan matanya tepat menatap cerminku dan terpantul ke mataku. Selama setengah detik kami berpandangan dan kemudian aku menarik cepat cermin itu sehingga kontak mata kami terputus. Degup jantungku semakin melaju kencang. Aku berusaha menoleh ke pemandangan luar dan berharap bapak itu tidak menangkap pandanganku.

Aku tidak tahu harus bagaimana, apakah akan teriak atau hanya diam saja. Tapi sudah beberapa detik berlalu dan tidak ada yang terjadi. Padahal aku tadi yakin sekali kalau kami sudah berpandangan sejenak, cukup untuk merusak rencana rampoknya yang diam-diam. Dia seharusnya sudah berbuat sesuatu, ataukah dia merencanakan sesuatu untuk dilakukan pada diriku? Dan apakah dia akan melukai si gadis itu?

Aku bahkan tidak sempat untuk berpikir harus bagaimana, ketika tiba-tiba suara rem terdengar setelah ketukan tangan seseorang di belakangku. Si perampok mau turun dan lari, aku yakin itu. Dia sudah tahu kalau aku sudah tahu apa yang dia lakukan, dan dia mungkin berpikir aku terlalu pengecut untuk memberi tahu orang lain, seperti si gadis yang ketakutan itu, dan dia tidak mau mengambil resiko. Jika aku mau teriak, sekaranglah saatnya.

Betapa terkejutnya aku ternyata si gadis lah yang memberi isyarat berhenti. Dia tampak takut sekali sampai berlari menuju pintu keluar bus. Menabrak beberapa orang di depannya dan menyirami mereka dengan bau parfum yang harum, dia mendadak berteriak JAMBRET!!! dan menunjuk si lelaki yang tadi duduk di sampingnya. Semua orang menoleh kaget pada bapak itu. Bahkan si sopir menghentikan metronya. Aku ikut menoleh dengan bingung dan melihat si lelaki yang duduk ketakutan dan mandi keringat. Mulutnya terbuka setengah lebar seakan menerima nasibnya.

Aku benar-benar tak mengerti. Semua ini tidak masuk akal. Mengapa si perampok begitu bodoh melepaskan korbannya dan meninggalkan dirinya tersudut seperti ini? Dan mengapa lelaki itu tidak bereaksi melihat aku tadi?

Sebelum aku sempat memikirkan kemungkinannya, si kondektur yang tadi berdiri kaget di dekat pintu tiba-tiba menyerbu maju hendak mengebuk bapak itu. Tapi tampaknya bapak itu tidak tahu apa yang dia lakukan ketika dia berkata,

“Bohong! Jangan biarkan perempuan itu lari! Tangkap dia!”
BUK! BUK! Pukulan di muka menyusul perkataannya. Si kondektur yang main hakim sendiri rasanya tidak mendengar apa yang dia katakan. Tapi aku rasanya mulai curiga pada perempuan yang sudah tidak tampak batang hidungnya itu.

Sebelas-pukulan, tiga-sepakan, dan dua-belas-menit-penjelasan kemudian, semua orang akhirnya selesai mendengar bapak itu bercerita bagaimana gadis itu dan sekumpulan ‘teman’nya merampok rumahnya, menyandera istri anaknya, memaksanya mengeluarkan isi tabungannya di bank, dan menyuruhnya berpura-pura menjadi perampok di metro mini supaya si gadis bisa lolos dengan mudah.

Aku turun di terminal Grogol untuk melanjutkan naik metro mini yang akan mengantarku sampai depan rumahku. Satu perjalanan baru lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak akan memulainya dengan memikirkan tentang gadis idamanku yang tidak kunjung tiba di dalam hidupku. Tidak kali ini.

--―o0OOO0o―--

Komentar penulis :

Cerpen ini sangat unik. Aku ingat menulisnya pada tengah malam saat tiba-tiba ide tentang double robbery muncul di kepalaku. Disisi lain, aku suka karena cerita ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama yang sebenarnya adalah rekaman tertulis dari pikiran-pikirannya dalam satu kejadian ini. Cerpen ini juga suatu metafora yang bagus tentang kehidupan, diibaratkan hidup itu adalah satu perjalanan metro mini, kesialan kadang terjadi, mengambil keputusan kadang tidaklah selalu benar, dan obsesi kadang haruslah dilepaskan, yang sesungguhnya merupakan inti cerita ini, bagaimana si tokoh utama yang selalu menantikan gadis idamannya, lalu mendapat kesan negatif dari seorang perampok wanita sehingga kemudian mengubah prinsipnya terhadap wanita. Hidup itupun unik dan tidak dapat disangka, jadi nikmatilah!

Bam.