Friday, February 17, 2006

▫▪▫ Story 0 ▪▫▪

This is a story before the others.
Story 0
An Unfamiliar Glow

Sungguh pagi yang indah. Hari yang indah. Semua yang eksis di dunia tampaknya sedang merayakannya. Kicauan burung, udara sejuk yang meniup telinga, sampai barisan semut yang menari penuh semangat. Aku sangat tidak ingin merusak hari ini, namun kepulanganku ke kota ini hanyalah sebuah kunjungan, dan harus berakhir. Aku pun benci mengakhiri kunjungan ini, tempat dimana masa laluku bisa menyentuhku lagi, walau aku tahu aku tidak mempunyai kenangan yang benar-benar istimewa, aku selalu berpikiran sebaliknya.

Jadi, di hari yang biasa ini, aku bertolak ke pelabuhan, pintu keluar kota ini. Jevy yang mengantarku ke sana, karena aku tidak mempunyai seorang kakak, ayah, ataupun seorang ibu. Jevy tinggal di sebelah. Rumahnya besar dan megah, tapi dia tidak pernah sombong. Ia malah yang menawarkan jaguarnya untuk mengantarku.

Jevy menaruh koperku di bagasi dan mempersilakan aku masuk. Jaguar sungguh mobil yang bagus, walaupun aku tidak begitu suka dengan ide kendaraan yang membuang gas pollutan. Pemanasan global di bumi ini sudah cukup parah.
“Bagaimana liburanmu, Hailie?” tanyanya waktu kami mulai memasuki jalan tol.
“Lumayan,” kataku “Menyenangkan bisa melihat kembali kehidupan kita yang lalu.” Aku memandang santai pemandangan ramai yang terus berkelebat dari kaca jendela.
“Aku akan mengambil jalan di kiri, lebih sepi dan jarang digunakan. Kita tak mau terjebak macet.” Kata Jevi. Aku mengangguk setuju, tidak memandang Jevy yang sedang sibuk berkendara.

Kami masuk ke jalan lebar yang lebih sepi. Tidak ada mobil lain yang tampak, dan ini bukan lagi jalan layang. Jevi mempercepat laju mobilnya. Aku hanya menangkap gambar pohon-pohon sekilas sebelum mereka bergerak mundur melewatiku. Kemudian sesuatu terjadi dengan cepat sekali, membuatku menoleh terkejut ke arah Jevi.

Bahkan sebelum aku sadar apa yang terjadi, terdengar suara rem keras dan sesuatu menabrak mobil kami di sayap kanan belakang. Jevi berseru marah dan memutar stir untuk mengendalikan mobilnya yang sudah mulai oleng. Tapi bukannya membaik, mendadak aku merasa sesuatu yang berat memukul kami dari belakang. Jaguar Jevi terbalik. Sesuatu meledak dan suara letupan keras memenuhi kepalaku. Selama kira-kira sedetik, mobil kami terseret dalam keadaan terbalik. Api menyembur dan membakar kakiku yang tak bisa digerakkan. Panas dan sakit menguasaiku. Lalu terdengar ledakan lagi, dan kali ini lebih keras. Aku merasa seperti terlempar dengan keras. Tubuhku menyentuh sesuatu yang panas dan kasar. Kaki dan kepalaku sakit bukan kepalang, namun semuanya menjadi gelap dan hitam.



Aku mendengar suara-suara teriakan, suara kasar seorang lelaki. Lalu tubuhku bagai ditarik oleh sesuatu. Ketika aku membuka mata, pemandangan didepanku mengerikan sekali. Sekitar empat meter dari tempatku berbaring, dua mobil sedang diselimuti api, keadaannya gosong, terbalik, terpecah-pecah sampai rasanya tak bisa dikenali lagi. Tapi aku bisa melihat Jaguar Jevi yang sedang dilalap api. Isi kepalaku tiba-tiba terasa hilang. Aku melihat sekeliling untuk mencari Jevi, tapi tak ada orang yang aku kenal. Beberapa lelaki empat puluh tahunan keluar dari mobil mereka dan sedang terlihat sibuk bertelepon di ponsel mereka. Seorang lelaki gelap yang pakaiannya gosong berlari ke arahku.
“Nona, kau bisa jalan?” tanyanya sambil berjongkok memeriksa keadaanku.
Lalu aku sadar kesakitan yang melanda tubuhku. Aku tak bisa merasakan kakiku, tangan dan lenganku berdarah-darah dan perutku rasanya seakan disodok keras-keras dengan pemukul gong. Aku menggeleng. Lelaki itu mencoba mengangkat tubuhku, tapi aku meringis kesakitan. Dengan tanganku yang kebas, aku bisa merasakan luka yang cukup parah di dahiku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lelaki itu mengangkatku, berjalan sambil berteriak pada sekitarnya “Dimana ambulansnya!?”



Satu jam kemudian. Aku sampai di rumah sakit. Banyak orang berpakaian biru atau putih mendorongku yang sedang berbaring lemas di atas tandu berjalan.
“Yang lainnya tidak ditemukan. Gubernur dan anaknya juga.” Terdengar suara lelaki tadi. “Dia satu-satunya yang selamat.”
“Langsung bawa ke unit gawat darurat.” Perintah seorang wanita.
Aku merasa bergerak ke ruang ICU. Setelah banyak mendengar suara yang samar-samar di ambulans, kepalaku akhirnya berhasil menyimpulkan beberapa hal. Mobil yang tadi menabrak kami adalah mobil pemerintah yang hilang kendali. Begitu menabrak, sesuatu dari mobil itu meledak dan membalikkan jaguar Jevi. Lalu mobil itu meledak sekali lagi, dan membuat mobil kami terlempar keras dan ikut dilalap api. Pada saat itulah aku mungkin terlempar keluar mobil. Jevi dan yang lainnya tampaknya tak ada yang selamat.

Aku merasa semakin lemah, rupanya aku sudah dibius. Pandanganku semakin kabur. Aku tak bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di depanku, pikiranku tidak bisa merambat lagi, merasa hari biasa tadi tidaklah begitu biasa lagi.



Satu hari kemudian. Aku dipindahkan ke ruang High Dependency Unit, begitu aku selesai dioperasi. Disini, kerabat-kerabatku mulai datang berkunjung. Aunt May datang setiap hari. Ia hanya meninggalkanku sewaktu malam, karena waktu besuk sudah berakhir setiap pukul sepuluh. Aunt May bersyukur sekali aku selamat. Dia terus-terus menangis dan berterima kasih. Dia bilang dia tidak bisa bayangkan kehilangan diriku, padahal usiaku belum sampai muka dua. Dia sudah lebih tenang sewaktu aku bilang dia sudah seperti ibu bagiku. Dan bagiku, dia adalah ibuku.

Lalu Aunt May banyak bercerita. Dia sangat sedih waktu memaksakan dirinya memberitahuku Jevi sudah meninggal. Aku lumayan terkejut, walaupun sudah menduga demikian. Jevi orang yang baik. Tuhan memang kadang punya rencana yang lain. Tapi Aunt May bilang aku sekarang terkenal, karena selain Jevi, yang meninggal dalam kejadian kemarin adalah Gubernur kota tetangga kami beserta anaknya. Karena aku satu-satunya yang selamat, banyak wartawan datang untuk meliput cerita ini, berusaha mendapatkan fotoku.

Hari berlalu dengan lambat dan menyakitkan. Berbagai kejadian bertubi-tubi terjadi di sekitarku, tapi tak ada yang penting dan membuatku terkejut, setidaknya sampai malam harinya. Aku baru saja dibius, dan kondisiku lemah. Aku mendengar ada seseorang yang mau menjengukku. Seorang teman. Aku tak bisa memikirkan siapa, semua sahabatku sekarang sudah sedang ada di luar negeri. Ketika dia memasuki kamarku, aku mengenali gaya bicaranya yang malu-malu. Pete. Dia laki-laki yang aku kenal beberapa tahun yang lalu, sewaktu aku masih sekolah disini. Orangnya sangat penutup dan pemalu. Jangkung. Murah senyum, baik dan ramah. Aku jarang bergaul dengan dia, tapi kami berteman baik. Sewaktu lulus, kami tidak pernah berhubungan lagi. Terakhir aku dengar, dia sedang keluar kota. Aku tak bisa membayangkan Pete datang menjengukku. Dia seperti suatu bagian kecil masa laluku. Tapi disitulah dia, Pete berdiri di depan pintu masuk kamarku. Berbicara gugup dengan Aunt May. Aku mencoba menangkap pandangannya. Mukanya kelihatan pucat, dan dia lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Waktu dia memandangku, dia tersenyum seakan bermaksud menenangkanku. Beberapa menit kemudian, dia melambai padaku malu-malu, dan segera pergi tanpa sepatah katapun.


Satu malam kemudian. Keadaanku semakin membaik. Popularitasku semakin gencar mengejarku, sama sekali tidak kusangka sebelumnya. Beberapa teman sekolahku datang menjengukku. Beberapa darinya bahkan tidak kukenal. Tapi aku lumayan senang mereka datang, dan lumayan malu mereka melihatku saat keadaanku seperti ini.

Pada tengah hari ketiga aku di kamar ini, Pete datang lagi. Kali ini wajahnya lebih rileks dan tidak sepucat sebelumnya. Aku merasa kecewa dengan kunjungan terakhir Pete yang begitu singkat, jadi waktu aku melihat wajahnya sekali lagi, aku merasa bahagia. Suatu perasaan yang asing mendadak saja memenuhi diriku. Aku tak pernah mendapat hal yang seperti ini. Pete duduk, menanyakan bagaimana keadaanku. Tampaknya ia ingin meminta maaf untuk kunjungannya yang terakhir. Tapi dia bertingkah seperti tidak bisa berbicara. Itulah ciri khas Pete. Kalau sudah sampai soal perasaan, dia bisa menjadi yang paling jago, sekaligus yang paling bodoh.

Aku mengangguk pelan, tersenyum. Aku tahu apa yang mau ia katakan. Tiba-tiba saja aku rasanya bisa memahami dia. Waktu pertama Pete mendengar kabarku, mungkin dia shock. Dia selalu baik padaku. Tentu dia tidak mau menggangguku pada malam pertama aku disini, lagi pula aku sedang dibius. Aku tak cukup kuat untuk berbicara. Tapi sekarang sudah lain, kami berbincang-bincang seakan sekarang adalah acara reuni yang terundur. Aku menceritakan lagi kecelakaannya pada Pete. Kami tertawa. Kami mengingat kembali masa terakhir kami bertemu.

Aku sangat berterimakasih karena Pete sudah datang. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan tidak ingat lagi dengan orang ini. Sekarang aku senang dia ada bersamaku. Banyak kenangan lama kembali lagi padaku. Membuatku sadar kalau sesuatu yang kecil terjadi di masalalu, kadang tidak selamanya terlupakan. Kenangan yang biasa saja di masalalu, kadang menjadi yang terindah buat kita. Aku masih ingat kalau dulu, aku pernah merasa Pete suka padaku. Aku begitu cuek dan tidak peduli. Satu hal kecil.
Satu hal kecil.



Aku kalang kabut. Perasaanku tak terkendali. Kepalaku penuh istilah-istilah latin yang tidak aku mengerti. Udara disini pengap sekali, seperti biasa kalau lima puluh orang lebih dikumpulkan dalam satu ruangan yang AC-nya rusak. Susah sekali untuk konsentrasi. Padahal tinggal setengah jam lagi ujian Biologi akan dimulai. Entah apa yang kulakukan semalam sampai tidak sempat menghafal semua catatan ini. Tiga bab. Ilmu taksonomi, cara perkembangbiakan kelajengking, struktur anatomi jantung Pisces, dan sistem organ pada manusia yang terdiri dari sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem respirasi, sistem gerak dan sistem transportasi darah.

Aku pastilah tampak kacau sekali. Temanku Elisha yang duduk tepat disampingku sudah pindah kira-kira setengah jam yang lalu. Ia sudah sadar keadaanku yang berbahaya. Ia tentu juga sadar kemarahanku yang sudah menggelegak dipermukaan bisa tersembur ke siapa saja yang cukup tolol untuk bernafas terlalu keras di dekatku, atau tertawa mendengar lelucon orang lain. Banteng yang terluka ini tampaknya sudah jelas bagi seisi kelas. Tulisan ‘Jangan ganggu aku’ bagai tercoret begitu saja di jidatku, membuat semua orang yang sudah percaya akan lulus Biologi, buru-buru menyingkir sebelum aku meledak.

Aku sedang membaca ulang baris ketiga defenisi dari tekanan osmosis dan sedang sebal tak mengerti juga mengapa aku tidak bisa menyerap kalimat itu kedalam otakku, ketika seorang lelaki kurus berambut hitam terbelah ke samping datang dan duduk disampingku. Aku menoleh tak percaya padanya. Siapa pula yang belum membaca ancamanku, atau terlalu tolol untuk mengerti. Ternyata Pete. Dengan muka cerah seakan tak ada hal lain yang lebih dicintainya daripada duduk di sampingku, dia berpaling padaku.
“Sudah bisa belum?” tanyanya riang.
Selama kira-kira sedetik, aku berniat menimpuk kepalanya yang bodoh itu dengan buku biologiku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Malah, tanpa mengerti apa yang kulakukan, aku menatapnya dan tersenyum lalu berkata,
“Oh, belum.”

Pete tersenyum sekilas padaku, lalu meraih catatan yang tadi sekuat tenaga kuremas, seakan berharap isinya melayang masuk ke kepalaku. Aku tidak melakukan apa-apa selain membiarkannya. Aku tak tahu mengapa aku melakukan itu. Pete selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih. Dia tidak pernah membuatku marah, dan anehnya, tidak bisa. Aku tidak merasa punya rasa suka pada lelaki ini. Walaupun banyak orang yang bilang kalau Pete diam-diam naksir padaku. Aku tetap tak peduli. Bagiku, Pete hanyalah seorang teman. Dan aku tidak mengharap lebih. Tapi rupanya Pete tidak berpikir demikian. Karena dia kemudian membantuku untuk menghafal. Banyak hal yang tidak kuketahui dia terangkan kurang dari setengah jam. Dan walaupun pada awalnya aku sebal dengan interupsinya, aku menjadi lebih tenang karena ada baiknya Pete duduk di sampingku. Aku merasa paling tidak ujian Biologi kali ini aku akan lulus.

Ketika ujian berlangsung, aku dilanda stress, dan kalau itu mungkin, stroke. Aku tak bisa menjawab kira-kira empat per lima dari semua soalnya. Sungguh satu setengah jam yang menyedihkan. Pada belasan menit terakhir, aku sudah pasrah. Sebagian dari diriku tak mengerti mengapa aku tidak bisa menjawab soal-soal ini.

Lalu aku melihat Pete, berdiri di luar kelas menungguku. Kaget, aku hampir saja merobek lembar jawabanku. Untuk apa pula dia berdiri disana? Aku tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pete memandang ke dalam mataku dari kejauhan dan tersenyum, lalu dia mengacungkan kedua jempolnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Apakah dia mengharapkan aku bisa menjawab semua pertanyaan ini setelah dia membantuku tadi? Kalau iya, dia salah besar. Ataukah dia cuma ingin mengolokku, tahu kalau aku pasti gagal di ujian kali ini... Berbagai pikiran menyelimutiku. Pada akhirnya, aku mengisi acak jawaban untuk soal-soal yang tersisa, lalu bergegas keluar.

Pete langsung menyambutku. Aku rasanya sudah ingin memarahinya. Ingin melampiaskan segala kekesalan hari ini pada mukanya yang ceria dan malu-malu.
“Bagaimana, Hailie?” tanyanya riang, seperti biasa. Sekali lagi, aku mendadak tak ingat rencanaku untuk memukulnya. Aku hanya menjawab lesu, berharap dia pergi dariku secepat mungkin.
“Gak bagus.” Aku menggeleng lemah.

Lalu sesuatu yang aneh terjadi, aku ingat aku sedang berjalan di sampingnya, bergerak menjauh dari kelasku. Pete mengikutiku. Dan rasanya semua beban yang tadi memenuhi kepalaku mendadak hilang. Aku menatapnya heran, seolah yakin Pete punya penjelasannya. Tapi dia hanya memandangku dan tersenyum, lalu berbicara soal cuaca. Pada saat itu, aku tiba-tiba tidak ingin berpikir lagi. Aku lalu berjalan pulang bersama Pete, bicara soal hal-hal yang lain yang tak penting. Tersenyum, aku tak bisa melupakan perasaan ringan ini. Bersama Pete, yang selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih.



Satu minggu kemudian. Aku sudah operasi untuk yang kedua kalinya, yang membuatku terbangun malam-malam hari berikutnya sambil mengerang kesakitan. Aku sadar bagian yang tersulit belum lewat. Orang-orang yang menjengukku tidak bertambah sedikit, namun wajah Pete tak terlihat lagi dari mataku yang tersiram air mata kesakitan, membuatku sedikit merasa terlupakan. Aneh, aku tak tahu mengapa aku merasa begitu. Tapi aku lalu berpikir-pikir sendiri di kamar itu sewaktu aku menghabiskan hariku yang panjang. Mungkin tidak adil bagiku untuk mengharapkan Pete datang mengunjungiku lagi. Dia ’kan punya hidup. Dan dia juga tidak begitu akrab denganku dulu, waktu di sekolah, ataupun sesudahnya. Aku merasa sedikit muak pada diriku yang egois ini. Walaupun begitu, aku tak bisa tidak mengaku kalau sebagian kecil dari diriku mengharap bisa bertemu Pete lagi.

Makan siangku semakin lama semakin bervariasi, namun apapun yang masuk ke mulutku tampaknya berubah hambar. Sore ini rasa sakit kakiku tak terbayangkan. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis keras-keras. Ingin rasanya aku membagi kesakitan ini dengan orang lain, supaya mereka setidaknya mengerti apa yang kurasakan. Tapi aku tak bisa apa-apa, hanya bertahan tanpa tahu sudah berapa lama aku berjuang.

Lalu ketika Em, sohib baikku pulang, aku melihat wajah Pete bergerak mendekat menuju tempat tidurku. Dia tersenyum dan menyapaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, dan tanpa senyum, aku memandang matanya lama sekali. Tampaknya dia sedikit salah tingkah karena kulihat terus, karena dia buru-buru memalingkan mukanya sebentar sebelum mengobrol denganku. Seperti setiap kali teman baikku menjengukku, rasa sakit yang kurasakan semakin berkurang. Emosi tak terjelaskan menjalari tubuhku. Seberkas cahaya asing yang tak tampak sebelumnya, sekarang begitu pekat. Menyiramiku dengan kehangatan.

Aku sangat senang hari itu. Ketika semua temanku akhirnya pamit pulang, Pete kembali sekali lagi dan meninggalkan sepucuk amplop di hadapanku.
“Aku lupa memberikan ini padamu.” Katanya sedikit malu, lalu pergi setelah meninggalkan surat itu.
Aku membukanya dan menemukan sehelai kartu jingga ramah bertuliskan “Hailie Hope” di atas kalimat lain yang tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berhenti membacanya, tanpa banyak tahu mengapa mataku kembali basah. Tapi aku tahu satu hal, sudah cukup lama sejak air mata bahagia terakhir mengalir turun ke pipiku.

——oОo——


All Characters described are merely fiction. Hailie Hope© created by Bam, 2004

Komentar Penulis :

Cerpen ini aku tulis tahun 2005, aku lebih suka menggambarkannya sebagai suatu bab dari jurnal hidupku. Walau cerita ini bukanlah kisah nyata, beberapa hal yang kualami memberikanku inspirasi. Pete, aku suka tokoh yang aneh-pemalu-tapi-mengesankan ini. Mirip seseorang yang dulu aku kenal. Hailie Hope, mungkin adalah karakter favoritku. aku menciptakan dia sekitar lebih dari setahun lalu, dan sampai sekarang aku masih berharap bisa bertemu seseorang yang seperti dia. Cerita ini berlatar di tahun 2018-2019. Yah, karena hidup adalah masalah bagaimana kita menjalani waktu.
Bam.

Thursday, February 16, 2006

My First Story.

Welcome to el_leaved's story-blog! This is the premier post. Enjoy!

Story 1

Di atas Metro Mini.

Aku tak ingat lagi apa yang kurasakan saat ini, kupikir aku akan duduk di deretan paling belakang. Aku gerah. Panas. Tak pernah aku merasa sepanas ini di sore hari di Jakarta. Sejak dulu aku pikir Jakarta tidak lebih panas dari kota lain, tapi ternyata aku salah. Aku juga berkeringat, capek, dan ngantuk. Hanya berharap aku lebih cepat sampai ke rumah dan metro mini tua rongsok ini segera bergerak.

Aku duduk di barisan kedua belakang, di pinggir dekat jendela terbuka. Ah, setidaknya aku bisa mendapat sedikit angin sejuk sampai si supir memutuskan untuk mengakhiri penantian penumpang di terminal tersayangnya ini.

Metro belum lagi bergerak. Aku mulai bertambah ngantuk. Ada orang kasar di luar yang berseru-seru kata Grogol dengan logat Batak yang kental. Ada juga suara lain di kepalaku yang juga terasa kasar. Ia memaki-maki diriku. Nah, padahal aku tadi sudah janji untuk tidak, tidak akan berpikir tentang ini lagi selama aku di perjalanan. Berpikir tentang dia, tentang betapa tidak adilnya hidup ini bagiku, tentang apa yang menungguku di depan dan kapan saatnya tiba aku akan bertemu dengan gadis idamanku, yang benar-benar mengerti dan peduli padaku.

Ah, bukankah itu harapan setiap orang yang kesepian? Setiap remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata? Apa yang aku pikirkan, akulah orang itu, akulah remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata. Kan sudah kuperingatkan untuk tidak berpikir tentang ini? Aku tahu aku akan kembali bersikap serba pesimis lagi, kalau sudah mengenai cewek. Aku lumayan banyak mengenal cewek, namun dari semua yang pernah aku taksir, tidak ada yang pernah naksir balik. Lama-lama aku bisa mati bosan karena hidup yang penuh kerutinan menyedihkan ini.

Ada seorang cewek masuk ke dalam metro mini. Sepatunya mengeluarkan bunyi setiap kali dia melangkah, seakan memastikan dia mendapat perhatian semua penumpang saat dia berjalan naik mendekatiku. Dia seorang cewek cantik yang tidak kukenal. Dandanannya mengagumkan dan aku bisa mencium harum parfum yang dipakainya. Khas padang rumput di musim semi. Dia mengambil tempat duduk di belakangku, baris paling jauh, sehingga semua orang tidak bisa lagi melihatnya. Aku juga sulit mengecek dia lebih jauh tanpa menoleh memandangnya langsung.

Ketika kemudian ada seorang bapak masuk dan duduk di samping cewek cantik itu, akhirnya metro bergerak juga. Kelegaan membanjiriku, disusul rasa kantuk yang makin jadi. Mencoba tidak memikirkan cewek cantik barusan, aku merebahkan kepalaku di kaca jendela disebelahku. Bukannya bertambah nyaman, gerakan metro yang mulai ngebut itu membuat kepalaku terantuk berkali-kali, ditambah seruan kondektur yang semakin menjadi-jadi, rasanya sulit bagiku untuk bisa tidur dengan nyaman. Tapi di sela semua itu, aku bisa mendengar bisikan seorang lelaki yang asalnya tepat dibelakangku.

“... patuh dan tak bersuara, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu terluka.” Mataku yang terpejam dalam sekejap terbuka. Aku dengar apa yang aku dengar. Dan hanya ada dua orang di belakangku, dan hanya ada satu lelaki disana. Meskipun demikian aku tidak yakin apa yang terjadi adalah apa yang aku sangka, sampai aku mendengar desah gadis cantik itu yang jelas-jelas bernada takut. Ya ampun, kurasa dia sedang dirampok... aku tidak berani menoleh ke belakang, tidak mau membuat mereka tahu kalau aku mendengar.

Pura-pura masih merebahkan kepalaku, aku mendengarkan dengan tajam, mencari celah diantara suara mesin yang berderum dan suara kondektur yang bersemangat.

“Pelan-pelan keluarkan dompet loe, kita tidak mau ada yang terluka.” Suara bapak itu terdengar hanya berupa bisikan, sedikit gugup tapi pelan dan jelas, seakan ingin memastikan wanita itu tidak berbuat macam-macam. Aku tidak mendengar si gadis bersuara. Tapi pasti dia sedang ketakutan sekali, disamping menyesal karena sudah naik di metro yang salah dan tempat duduk yang salah pula.

Tidak ada suara selama beberapa saat. Sepertinya si gadis sedang mengeluarkan isi dompetnya pada orang asing.

“Hanya ini?” aku mencoba menekankan telingaku lebih ke belakang, mencoba meraih gelombang suara yang dengan marah dibisikkan lelaki itu. “Mana Handphone loe?”

Si gadis sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya apa yang dia mau. Aku bisa merasakan degupan jantungku yang sangat kuat sehingga takut mereka dapat mendengarnya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tampaknya tidak ada orang lain yang menyadari kejadian ini selain aku. Bagaimana jika aku teriak RAMPOK, apakah semua orang akan peduli dan cepat beraksi ataukah justru akan membuat si gadis terluka karena si perampok terkejut? Tapi aku tidak mau hanya berdiam diri saja, mendengar dan menyaksikan si gadis yang ketakutan. Mendadak semua rasa kantuk dan beban pikiranku menguap tanpa bekas.

Pelan-pelan aku merogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah cermin kecil yang tertempel di belakang handphoneku. Aku mencoba menggunakannya untuk melihat apa yang sedang terjadi di belakangku. Agak susah karena selalu terhalang sandaran kursi dan aku takut untuk bergerak terlalu banyak. Tapi akhirnya aku melihat sebilah pisau kecil yang dipegang lelaki itu dengan tangannya yang sedikit gemetaran. Dia tidak tampak begitu cocok dan yakin jadi perampok, tapi tetap saja pisau itu teracung dengan maksud mengancam ke pinggang si gadis.

Aku menggeser cerminku supaya bisa menangkap wajah si gadis, tapi mukanya dihadang oleh sandaran kursi di sampingku. Jadinya aku melihat muka orang yang duduk disampingnya. Dia lelaki berumur empat puluh tahunan yang lusuh, kumis dan jenggutnya tidak lebat tapi cukup banyak untuk menghitamkan sebagian wajahnya. Ekspresinya tampak gugup dan berkeringat.

Tiba-tiba lelaki itu menoleh dan matanya tepat menatap cerminku dan terpantul ke mataku. Selama setengah detik kami berpandangan dan kemudian aku menarik cepat cermin itu sehingga kontak mata kami terputus. Degup jantungku semakin melaju kencang. Aku berusaha menoleh ke pemandangan luar dan berharap bapak itu tidak menangkap pandanganku.

Aku tidak tahu harus bagaimana, apakah akan teriak atau hanya diam saja. Tapi sudah beberapa detik berlalu dan tidak ada yang terjadi. Padahal aku tadi yakin sekali kalau kami sudah berpandangan sejenak, cukup untuk merusak rencana rampoknya yang diam-diam. Dia seharusnya sudah berbuat sesuatu, ataukah dia merencanakan sesuatu untuk dilakukan pada diriku? Dan apakah dia akan melukai si gadis itu?

Aku bahkan tidak sempat untuk berpikir harus bagaimana, ketika tiba-tiba suara rem terdengar setelah ketukan tangan seseorang di belakangku. Si perampok mau turun dan lari, aku yakin itu. Dia sudah tahu kalau aku sudah tahu apa yang dia lakukan, dan dia mungkin berpikir aku terlalu pengecut untuk memberi tahu orang lain, seperti si gadis yang ketakutan itu, dan dia tidak mau mengambil resiko. Jika aku mau teriak, sekaranglah saatnya.

Betapa terkejutnya aku ternyata si gadis lah yang memberi isyarat berhenti. Dia tampak takut sekali sampai berlari menuju pintu keluar bus. Menabrak beberapa orang di depannya dan menyirami mereka dengan bau parfum yang harum, dia mendadak berteriak JAMBRET!!! dan menunjuk si lelaki yang tadi duduk di sampingnya. Semua orang menoleh kaget pada bapak itu. Bahkan si sopir menghentikan metronya. Aku ikut menoleh dengan bingung dan melihat si lelaki yang duduk ketakutan dan mandi keringat. Mulutnya terbuka setengah lebar seakan menerima nasibnya.

Aku benar-benar tak mengerti. Semua ini tidak masuk akal. Mengapa si perampok begitu bodoh melepaskan korbannya dan meninggalkan dirinya tersudut seperti ini? Dan mengapa lelaki itu tidak bereaksi melihat aku tadi?

Sebelum aku sempat memikirkan kemungkinannya, si kondektur yang tadi berdiri kaget di dekat pintu tiba-tiba menyerbu maju hendak mengebuk bapak itu. Tapi tampaknya bapak itu tidak tahu apa yang dia lakukan ketika dia berkata,

“Bohong! Jangan biarkan perempuan itu lari! Tangkap dia!”
BUK! BUK! Pukulan di muka menyusul perkataannya. Si kondektur yang main hakim sendiri rasanya tidak mendengar apa yang dia katakan. Tapi aku rasanya mulai curiga pada perempuan yang sudah tidak tampak batang hidungnya itu.

Sebelas-pukulan, tiga-sepakan, dan dua-belas-menit-penjelasan kemudian, semua orang akhirnya selesai mendengar bapak itu bercerita bagaimana gadis itu dan sekumpulan ‘teman’nya merampok rumahnya, menyandera istri anaknya, memaksanya mengeluarkan isi tabungannya di bank, dan menyuruhnya berpura-pura menjadi perampok di metro mini supaya si gadis bisa lolos dengan mudah.

Aku turun di terminal Grogol untuk melanjutkan naik metro mini yang akan mengantarku sampai depan rumahku. Satu perjalanan baru lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak akan memulainya dengan memikirkan tentang gadis idamanku yang tidak kunjung tiba di dalam hidupku. Tidak kali ini.

--―o0OOO0o―--

Komentar penulis :

Cerpen ini sangat unik. Aku ingat menulisnya pada tengah malam saat tiba-tiba ide tentang double robbery muncul di kepalaku. Disisi lain, aku suka karena cerita ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama yang sebenarnya adalah rekaman tertulis dari pikiran-pikirannya dalam satu kejadian ini. Cerpen ini juga suatu metafora yang bagus tentang kehidupan, diibaratkan hidup itu adalah satu perjalanan metro mini, kesialan kadang terjadi, mengambil keputusan kadang tidaklah selalu benar, dan obsesi kadang haruslah dilepaskan, yang sesungguhnya merupakan inti cerita ini, bagaimana si tokoh utama yang selalu menantikan gadis idamannya, lalu mendapat kesan negatif dari seorang perampok wanita sehingga kemudian mengubah prinsipnya terhadap wanita. Hidup itupun unik dan tidak dapat disangka, jadi nikmatilah!

Bam.