Welcome to el_leaved's story-blog! This is the premier post. Enjoy!
Story 1
Di atas Metro Mini.
Aku tak ingat lagi apa yang kurasakan saat ini, kupikir aku akan duduk di deretan paling belakang. Aku gerah. Panas. Tak pernah aku merasa sepanas ini di sore hari di Jakarta. Sejak dulu aku pikir Jakarta tidak lebih panas dari kota lain, tapi ternyata aku salah. Aku juga berkeringat, capek, dan ngantuk. Hanya berharap aku lebih cepat sampai ke rumah dan metro mini tua rongsok ini segera bergerak.
Aku duduk di barisan kedua belakang, di pinggir dekat jendela terbuka. Ah, setidaknya aku bisa mendapat sedikit angin sejuk sampai si supir memutuskan untuk mengakhiri penantian penumpang di terminal tersayangnya ini.
Metro belum lagi bergerak. Aku mulai bertambah ngantuk. Ada orang kasar di luar yang berseru-seru kata Grogol dengan logat Batak yang kental. Ada juga suara lain di kepalaku yang juga terasa kasar. Ia memaki-maki diriku. Nah, padahal aku tadi sudah janji untuk tidak, tidak akan berpikir tentang ini lagi selama aku di perjalanan. Berpikir tentang dia, tentang betapa tidak adilnya hidup ini bagiku, tentang apa yang menungguku di depan dan kapan saatnya tiba aku akan bertemu dengan gadis idamanku, yang benar-benar mengerti dan peduli padaku.
Ah, bukankah itu harapan setiap orang yang kesepian? Setiap remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata? Apa yang aku pikirkan, akulah orang itu, akulah remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata. Kan sudah kuperingatkan untuk tidak berpikir tentang ini? Aku tahu aku akan kembali bersikap serba pesimis lagi, kalau sudah mengenai cewek. Aku lumayan banyak mengenal cewek, namun dari semua yang pernah aku taksir, tidak ada yang pernah naksir balik. Lama-lama aku bisa mati bosan karena hidup yang penuh kerutinan menyedihkan ini.
Ada seorang cewek masuk ke dalam metro mini. Sepatunya mengeluarkan bunyi setiap kali dia melangkah, seakan memastikan dia mendapat perhatian semua penumpang saat dia berjalan naik mendekatiku. Dia seorang cewek cantik yang tidak kukenal. Dandanannya mengagumkan dan aku bisa mencium harum parfum yang dipakainya. Khas padang rumput di musim semi. Dia mengambil tempat duduk di belakangku, baris paling jauh, sehingga semua orang tidak bisa lagi melihatnya. Aku juga sulit mengecek dia lebih jauh tanpa menoleh memandangnya langsung.
Ketika kemudian ada seorang bapak masuk dan duduk di samping cewek cantik itu, akhirnya metro bergerak juga. Kelegaan membanjiriku, disusul rasa kantuk yang makin jadi. Mencoba tidak memikirkan cewek cantik barusan, aku merebahkan kepalaku di kaca jendela disebelahku. Bukannya bertambah nyaman, gerakan metro yang mulai ngebut itu membuat kepalaku terantuk berkali-kali, ditambah seruan kondektur yang semakin menjadi-jadi, rasanya sulit bagiku untuk bisa tidur dengan nyaman. Tapi di sela semua itu, aku bisa mendengar bisikan seorang lelaki yang asalnya tepat dibelakangku.
“... patuh dan tak bersuara, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu terluka.” Mataku yang terpejam dalam sekejap terbuka. Aku dengar apa yang aku dengar. Dan hanya ada dua orang di belakangku, dan hanya ada satu lelaki disana. Meskipun demikian aku tidak yakin apa yang terjadi adalah apa yang aku sangka, sampai aku mendengar desah gadis cantik itu yang jelas-jelas bernada takut. Ya ampun, kurasa dia sedang dirampok... aku tidak berani menoleh ke belakang, tidak mau membuat mereka tahu kalau aku mendengar.
Pura-pura masih merebahkan kepalaku, aku mendengarkan dengan tajam, mencari celah diantara suara mesin yang berderum dan suara kondektur yang bersemangat.
“Pelan-pelan keluarkan dompet loe, kita tidak mau ada yang terluka.” Suara bapak itu terdengar hanya berupa bisikan, sedikit gugup tapi pelan dan jelas, seakan ingin memastikan wanita itu tidak berbuat macam-macam. Aku tidak mendengar si gadis bersuara. Tapi pasti dia sedang ketakutan sekali, disamping menyesal karena sudah naik di metro yang salah dan tempat duduk yang salah pula.
Tidak ada suara selama beberapa saat. Sepertinya si gadis sedang mengeluarkan isi dompetnya pada orang asing.
“Hanya ini?” aku mencoba menekankan telingaku lebih ke belakang, mencoba meraih gelombang suara yang dengan marah dibisikkan lelaki itu. “Mana Handphone loe?”
Si gadis sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya apa yang dia mau. Aku bisa merasakan degupan jantungku yang sangat kuat sehingga takut mereka dapat mendengarnya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tampaknya tidak ada orang lain yang menyadari kejadian ini selain aku. Bagaimana jika aku teriak RAMPOK, apakah semua orang akan peduli dan cepat beraksi ataukah justru akan membuat si gadis terluka karena si perampok terkejut? Tapi aku tidak mau hanya berdiam diri saja, mendengar dan menyaksikan si gadis yang ketakutan. Mendadak semua rasa kantuk dan beban pikiranku menguap tanpa bekas.
Pelan-pelan aku merogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah cermin kecil yang tertempel di belakang handphoneku. Aku mencoba menggunakannya untuk melihat apa yang sedang terjadi di belakangku. Agak susah karena selalu terhalang sandaran kursi dan aku takut untuk bergerak terlalu banyak. Tapi akhirnya aku melihat sebilah pisau kecil yang dipegang lelaki itu dengan tangannya yang sedikit gemetaran. Dia tidak tampak begitu cocok dan yakin jadi perampok, tapi tetap saja pisau itu teracung dengan maksud mengancam ke pinggang si gadis.
Aku menggeser cerminku supaya bisa menangkap wajah si gadis, tapi mukanya dihadang oleh sandaran kursi di sampingku. Jadinya aku melihat muka orang yang duduk disampingnya. Dia lelaki berumur empat puluh tahunan yang lusuh, kumis dan jenggutnya tidak lebat tapi cukup banyak untuk menghitamkan sebagian wajahnya. Ekspresinya tampak gugup dan berkeringat.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh dan matanya tepat menatap cerminku dan terpantul ke mataku. Selama setengah detik kami berpandangan dan kemudian aku menarik cepat cermin itu sehingga kontak mata kami terputus. Degup jantungku semakin melaju kencang. Aku berusaha menoleh ke pemandangan luar dan berharap bapak itu tidak menangkap pandanganku.
Aku tidak tahu harus bagaimana, apakah akan teriak atau hanya diam saja. Tapi sudah beberapa detik berlalu dan tidak ada yang terjadi. Padahal aku tadi yakin sekali kalau kami sudah berpandangan sejenak, cukup untuk merusak rencana rampoknya yang diam-diam. Dia seharusnya sudah berbuat sesuatu, ataukah dia merencanakan sesuatu untuk dilakukan pada diriku? Dan apakah dia akan melukai si gadis itu?
Aku bahkan tidak sempat untuk berpikir harus bagaimana, ketika tiba-tiba suara rem terdengar setelah ketukan tangan seseorang di belakangku. Si perampok mau turun dan lari, aku yakin itu. Dia sudah tahu kalau aku sudah tahu apa yang dia lakukan, dan dia mungkin berpikir aku terlalu pengecut untuk memberi tahu orang lain, seperti si gadis yang ketakutan itu, dan dia tidak mau mengambil resiko. Jika aku mau teriak, sekaranglah saatnya.
Betapa terkejutnya aku ternyata si gadis lah yang memberi isyarat berhenti. Dia tampak takut sekali sampai berlari menuju pintu keluar bus. Menabrak beberapa orang di depannya dan menyirami mereka dengan bau parfum yang harum, dia mendadak berteriak JAMBRET!!! dan menunjuk si lelaki yang tadi duduk di sampingnya. Semua orang menoleh kaget pada bapak itu. Bahkan si sopir menghentikan metronya. Aku ikut menoleh dengan bingung dan melihat si lelaki yang duduk ketakutan dan mandi keringat. Mulutnya terbuka setengah lebar seakan menerima nasibnya.
Aku benar-benar tak mengerti. Semua ini tidak masuk akal. Mengapa si perampok begitu bodoh melepaskan korbannya dan meninggalkan dirinya tersudut seperti ini? Dan mengapa lelaki itu tidak bereaksi melihat aku tadi?
Sebelum aku sempat memikirkan kemungkinannya, si kondektur yang tadi berdiri kaget di dekat pintu tiba-tiba menyerbu maju hendak mengebuk bapak itu. Tapi tampaknya bapak itu tidak tahu apa yang dia lakukan ketika dia berkata,
“Bohong! Jangan biarkan perempuan itu lari! Tangkap dia!”
BUK! BUK! Pukulan di muka menyusul perkataannya. Si kondektur yang main hakim sendiri rasanya tidak mendengar apa yang dia katakan. Tapi aku rasanya mulai curiga pada perempuan yang sudah tidak tampak batang hidungnya itu.
Sebelas-pukulan, tiga-sepakan, dan dua-belas-menit-penjelasan kemudian, semua orang akhirnya selesai mendengar bapak itu bercerita bagaimana gadis itu dan sekumpulan ‘teman’nya merampok rumahnya, menyandera istri anaknya, memaksanya mengeluarkan isi tabungannya di bank, dan menyuruhnya berpura-pura menjadi perampok di metro mini supaya si gadis bisa lolos dengan mudah.
Aku turun di terminal Grogol untuk melanjutkan naik metro mini yang akan mengantarku sampai depan rumahku. Satu perjalanan baru lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak akan memulainya dengan memikirkan tentang gadis idamanku yang tidak kunjung tiba di dalam hidupku. Tidak kali ini.
Aku tak ingat lagi apa yang kurasakan saat ini, kupikir aku akan duduk di deretan paling belakang. Aku gerah. Panas. Tak pernah aku merasa sepanas ini di sore hari di Jakarta. Sejak dulu aku pikir Jakarta tidak lebih panas dari kota lain, tapi ternyata aku salah. Aku juga berkeringat, capek, dan ngantuk. Hanya berharap aku lebih cepat sampai ke rumah dan metro mini tua rongsok ini segera bergerak.
Aku duduk di barisan kedua belakang, di pinggir dekat jendela terbuka. Ah, setidaknya aku bisa mendapat sedikit angin sejuk sampai si supir memutuskan untuk mengakhiri penantian penumpang di terminal tersayangnya ini.
Metro belum lagi bergerak. Aku mulai bertambah ngantuk. Ada orang kasar di luar yang berseru-seru kata Grogol dengan logat Batak yang kental. Ada juga suara lain di kepalaku yang juga terasa kasar. Ia memaki-maki diriku. Nah, padahal aku tadi sudah janji untuk tidak, tidak akan berpikir tentang ini lagi selama aku di perjalanan. Berpikir tentang dia, tentang betapa tidak adilnya hidup ini bagiku, tentang apa yang menungguku di depan dan kapan saatnya tiba aku akan bertemu dengan gadis idamanku, yang benar-benar mengerti dan peduli padaku.
Ah, bukankah itu harapan setiap orang yang kesepian? Setiap remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata? Apa yang aku pikirkan, akulah orang itu, akulah remaja tanggung yang belum pernah mengecap bagaimana rasanya cinta di dunia nyata. Kan sudah kuperingatkan untuk tidak berpikir tentang ini? Aku tahu aku akan kembali bersikap serba pesimis lagi, kalau sudah mengenai cewek. Aku lumayan banyak mengenal cewek, namun dari semua yang pernah aku taksir, tidak ada yang pernah naksir balik. Lama-lama aku bisa mati bosan karena hidup yang penuh kerutinan menyedihkan ini.
Ada seorang cewek masuk ke dalam metro mini. Sepatunya mengeluarkan bunyi setiap kali dia melangkah, seakan memastikan dia mendapat perhatian semua penumpang saat dia berjalan naik mendekatiku. Dia seorang cewek cantik yang tidak kukenal. Dandanannya mengagumkan dan aku bisa mencium harum parfum yang dipakainya. Khas padang rumput di musim semi. Dia mengambil tempat duduk di belakangku, baris paling jauh, sehingga semua orang tidak bisa lagi melihatnya. Aku juga sulit mengecek dia lebih jauh tanpa menoleh memandangnya langsung.
Ketika kemudian ada seorang bapak masuk dan duduk di samping cewek cantik itu, akhirnya metro bergerak juga. Kelegaan membanjiriku, disusul rasa kantuk yang makin jadi. Mencoba tidak memikirkan cewek cantik barusan, aku merebahkan kepalaku di kaca jendela disebelahku. Bukannya bertambah nyaman, gerakan metro yang mulai ngebut itu membuat kepalaku terantuk berkali-kali, ditambah seruan kondektur yang semakin menjadi-jadi, rasanya sulit bagiku untuk bisa tidur dengan nyaman. Tapi di sela semua itu, aku bisa mendengar bisikan seorang lelaki yang asalnya tepat dibelakangku.
“... patuh dan tak bersuara, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu terluka.” Mataku yang terpejam dalam sekejap terbuka. Aku dengar apa yang aku dengar. Dan hanya ada dua orang di belakangku, dan hanya ada satu lelaki disana. Meskipun demikian aku tidak yakin apa yang terjadi adalah apa yang aku sangka, sampai aku mendengar desah gadis cantik itu yang jelas-jelas bernada takut. Ya ampun, kurasa dia sedang dirampok... aku tidak berani menoleh ke belakang, tidak mau membuat mereka tahu kalau aku mendengar.
Pura-pura masih merebahkan kepalaku, aku mendengarkan dengan tajam, mencari celah diantara suara mesin yang berderum dan suara kondektur yang bersemangat.
“Pelan-pelan keluarkan dompet loe, kita tidak mau ada yang terluka.” Suara bapak itu terdengar hanya berupa bisikan, sedikit gugup tapi pelan dan jelas, seakan ingin memastikan wanita itu tidak berbuat macam-macam. Aku tidak mendengar si gadis bersuara. Tapi pasti dia sedang ketakutan sekali, disamping menyesal karena sudah naik di metro yang salah dan tempat duduk yang salah pula.
Tidak ada suara selama beberapa saat. Sepertinya si gadis sedang mengeluarkan isi dompetnya pada orang asing.
“Hanya ini?” aku mencoba menekankan telingaku lebih ke belakang, mencoba meraih gelombang suara yang dengan marah dibisikkan lelaki itu. “Mana Handphone loe?”
Si gadis sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya apa yang dia mau. Aku bisa merasakan degupan jantungku yang sangat kuat sehingga takut mereka dapat mendengarnya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tampaknya tidak ada orang lain yang menyadari kejadian ini selain aku. Bagaimana jika aku teriak RAMPOK, apakah semua orang akan peduli dan cepat beraksi ataukah justru akan membuat si gadis terluka karena si perampok terkejut? Tapi aku tidak mau hanya berdiam diri saja, mendengar dan menyaksikan si gadis yang ketakutan. Mendadak semua rasa kantuk dan beban pikiranku menguap tanpa bekas.
Pelan-pelan aku merogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah cermin kecil yang tertempel di belakang handphoneku. Aku mencoba menggunakannya untuk melihat apa yang sedang terjadi di belakangku. Agak susah karena selalu terhalang sandaran kursi dan aku takut untuk bergerak terlalu banyak. Tapi akhirnya aku melihat sebilah pisau kecil yang dipegang lelaki itu dengan tangannya yang sedikit gemetaran. Dia tidak tampak begitu cocok dan yakin jadi perampok, tapi tetap saja pisau itu teracung dengan maksud mengancam ke pinggang si gadis.
Aku menggeser cerminku supaya bisa menangkap wajah si gadis, tapi mukanya dihadang oleh sandaran kursi di sampingku. Jadinya aku melihat muka orang yang duduk disampingnya. Dia lelaki berumur empat puluh tahunan yang lusuh, kumis dan jenggutnya tidak lebat tapi cukup banyak untuk menghitamkan sebagian wajahnya. Ekspresinya tampak gugup dan berkeringat.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh dan matanya tepat menatap cerminku dan terpantul ke mataku. Selama setengah detik kami berpandangan dan kemudian aku menarik cepat cermin itu sehingga kontak mata kami terputus. Degup jantungku semakin melaju kencang. Aku berusaha menoleh ke pemandangan luar dan berharap bapak itu tidak menangkap pandanganku.
Aku tidak tahu harus bagaimana, apakah akan teriak atau hanya diam saja. Tapi sudah beberapa detik berlalu dan tidak ada yang terjadi. Padahal aku tadi yakin sekali kalau kami sudah berpandangan sejenak, cukup untuk merusak rencana rampoknya yang diam-diam. Dia seharusnya sudah berbuat sesuatu, ataukah dia merencanakan sesuatu untuk dilakukan pada diriku? Dan apakah dia akan melukai si gadis itu?
Aku bahkan tidak sempat untuk berpikir harus bagaimana, ketika tiba-tiba suara rem terdengar setelah ketukan tangan seseorang di belakangku. Si perampok mau turun dan lari, aku yakin itu. Dia sudah tahu kalau aku sudah tahu apa yang dia lakukan, dan dia mungkin berpikir aku terlalu pengecut untuk memberi tahu orang lain, seperti si gadis yang ketakutan itu, dan dia tidak mau mengambil resiko. Jika aku mau teriak, sekaranglah saatnya.
Betapa terkejutnya aku ternyata si gadis lah yang memberi isyarat berhenti. Dia tampak takut sekali sampai berlari menuju pintu keluar bus. Menabrak beberapa orang di depannya dan menyirami mereka dengan bau parfum yang harum, dia mendadak berteriak JAMBRET!!! dan menunjuk si lelaki yang tadi duduk di sampingnya. Semua orang menoleh kaget pada bapak itu. Bahkan si sopir menghentikan metronya. Aku ikut menoleh dengan bingung dan melihat si lelaki yang duduk ketakutan dan mandi keringat. Mulutnya terbuka setengah lebar seakan menerima nasibnya.
Aku benar-benar tak mengerti. Semua ini tidak masuk akal. Mengapa si perampok begitu bodoh melepaskan korbannya dan meninggalkan dirinya tersudut seperti ini? Dan mengapa lelaki itu tidak bereaksi melihat aku tadi?
Sebelum aku sempat memikirkan kemungkinannya, si kondektur yang tadi berdiri kaget di dekat pintu tiba-tiba menyerbu maju hendak mengebuk bapak itu. Tapi tampaknya bapak itu tidak tahu apa yang dia lakukan ketika dia berkata,
“Bohong! Jangan biarkan perempuan itu lari! Tangkap dia!”
BUK! BUK! Pukulan di muka menyusul perkataannya. Si kondektur yang main hakim sendiri rasanya tidak mendengar apa yang dia katakan. Tapi aku rasanya mulai curiga pada perempuan yang sudah tidak tampak batang hidungnya itu.
Sebelas-pukulan, tiga-sepakan, dan dua-belas-menit-penjelasan kemudian, semua orang akhirnya selesai mendengar bapak itu bercerita bagaimana gadis itu dan sekumpulan ‘teman’nya merampok rumahnya, menyandera istri anaknya, memaksanya mengeluarkan isi tabungannya di bank, dan menyuruhnya berpura-pura menjadi perampok di metro mini supaya si gadis bisa lolos dengan mudah.
Aku turun di terminal Grogol untuk melanjutkan naik metro mini yang akan mengantarku sampai depan rumahku. Satu perjalanan baru lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak akan memulainya dengan memikirkan tentang gadis idamanku yang tidak kunjung tiba di dalam hidupku. Tidak kali ini.
--―o0OOO0o―--
Komentar penulis :
Cerpen ini sangat unik. Aku ingat menulisnya pada tengah malam saat tiba-tiba ide tentang double robbery muncul di kepalaku. Disisi lain, aku suka karena cerita ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama yang sebenarnya adalah rekaman tertulis dari pikiran-pikirannya dalam satu kejadian ini. Cerpen ini juga suatu metafora yang bagus tentang kehidupan, diibaratkan hidup itu adalah satu perjalanan metro mini, kesialan kadang terjadi, mengambil keputusan kadang tidaklah selalu benar, dan obsesi kadang haruslah dilepaskan, yang sesungguhnya merupakan inti cerita ini, bagaimana si tokoh utama yang selalu menantikan gadis idamannya, lalu mendapat kesan negatif dari seorang perampok wanita sehingga kemudian mengubah prinsipnya terhadap wanita. Hidup itupun unik dan tidak dapat disangka, jadi nikmatilah!
Bam.
No comments:
Post a Comment