Friday, February 17, 2006

▫▪▫ Story 0 ▪▫▪

This is a story before the others.
Story 0
An Unfamiliar Glow

Sungguh pagi yang indah. Hari yang indah. Semua yang eksis di dunia tampaknya sedang merayakannya. Kicauan burung, udara sejuk yang meniup telinga, sampai barisan semut yang menari penuh semangat. Aku sangat tidak ingin merusak hari ini, namun kepulanganku ke kota ini hanyalah sebuah kunjungan, dan harus berakhir. Aku pun benci mengakhiri kunjungan ini, tempat dimana masa laluku bisa menyentuhku lagi, walau aku tahu aku tidak mempunyai kenangan yang benar-benar istimewa, aku selalu berpikiran sebaliknya.

Jadi, di hari yang biasa ini, aku bertolak ke pelabuhan, pintu keluar kota ini. Jevy yang mengantarku ke sana, karena aku tidak mempunyai seorang kakak, ayah, ataupun seorang ibu. Jevy tinggal di sebelah. Rumahnya besar dan megah, tapi dia tidak pernah sombong. Ia malah yang menawarkan jaguarnya untuk mengantarku.

Jevy menaruh koperku di bagasi dan mempersilakan aku masuk. Jaguar sungguh mobil yang bagus, walaupun aku tidak begitu suka dengan ide kendaraan yang membuang gas pollutan. Pemanasan global di bumi ini sudah cukup parah.
“Bagaimana liburanmu, Hailie?” tanyanya waktu kami mulai memasuki jalan tol.
“Lumayan,” kataku “Menyenangkan bisa melihat kembali kehidupan kita yang lalu.” Aku memandang santai pemandangan ramai yang terus berkelebat dari kaca jendela.
“Aku akan mengambil jalan di kiri, lebih sepi dan jarang digunakan. Kita tak mau terjebak macet.” Kata Jevi. Aku mengangguk setuju, tidak memandang Jevy yang sedang sibuk berkendara.

Kami masuk ke jalan lebar yang lebih sepi. Tidak ada mobil lain yang tampak, dan ini bukan lagi jalan layang. Jevi mempercepat laju mobilnya. Aku hanya menangkap gambar pohon-pohon sekilas sebelum mereka bergerak mundur melewatiku. Kemudian sesuatu terjadi dengan cepat sekali, membuatku menoleh terkejut ke arah Jevi.

Bahkan sebelum aku sadar apa yang terjadi, terdengar suara rem keras dan sesuatu menabrak mobil kami di sayap kanan belakang. Jevi berseru marah dan memutar stir untuk mengendalikan mobilnya yang sudah mulai oleng. Tapi bukannya membaik, mendadak aku merasa sesuatu yang berat memukul kami dari belakang. Jaguar Jevi terbalik. Sesuatu meledak dan suara letupan keras memenuhi kepalaku. Selama kira-kira sedetik, mobil kami terseret dalam keadaan terbalik. Api menyembur dan membakar kakiku yang tak bisa digerakkan. Panas dan sakit menguasaiku. Lalu terdengar ledakan lagi, dan kali ini lebih keras. Aku merasa seperti terlempar dengan keras. Tubuhku menyentuh sesuatu yang panas dan kasar. Kaki dan kepalaku sakit bukan kepalang, namun semuanya menjadi gelap dan hitam.



Aku mendengar suara-suara teriakan, suara kasar seorang lelaki. Lalu tubuhku bagai ditarik oleh sesuatu. Ketika aku membuka mata, pemandangan didepanku mengerikan sekali. Sekitar empat meter dari tempatku berbaring, dua mobil sedang diselimuti api, keadaannya gosong, terbalik, terpecah-pecah sampai rasanya tak bisa dikenali lagi. Tapi aku bisa melihat Jaguar Jevi yang sedang dilalap api. Isi kepalaku tiba-tiba terasa hilang. Aku melihat sekeliling untuk mencari Jevi, tapi tak ada orang yang aku kenal. Beberapa lelaki empat puluh tahunan keluar dari mobil mereka dan sedang terlihat sibuk bertelepon di ponsel mereka. Seorang lelaki gelap yang pakaiannya gosong berlari ke arahku.
“Nona, kau bisa jalan?” tanyanya sambil berjongkok memeriksa keadaanku.
Lalu aku sadar kesakitan yang melanda tubuhku. Aku tak bisa merasakan kakiku, tangan dan lenganku berdarah-darah dan perutku rasanya seakan disodok keras-keras dengan pemukul gong. Aku menggeleng. Lelaki itu mencoba mengangkat tubuhku, tapi aku meringis kesakitan. Dengan tanganku yang kebas, aku bisa merasakan luka yang cukup parah di dahiku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lelaki itu mengangkatku, berjalan sambil berteriak pada sekitarnya “Dimana ambulansnya!?”



Satu jam kemudian. Aku sampai di rumah sakit. Banyak orang berpakaian biru atau putih mendorongku yang sedang berbaring lemas di atas tandu berjalan.
“Yang lainnya tidak ditemukan. Gubernur dan anaknya juga.” Terdengar suara lelaki tadi. “Dia satu-satunya yang selamat.”
“Langsung bawa ke unit gawat darurat.” Perintah seorang wanita.
Aku merasa bergerak ke ruang ICU. Setelah banyak mendengar suara yang samar-samar di ambulans, kepalaku akhirnya berhasil menyimpulkan beberapa hal. Mobil yang tadi menabrak kami adalah mobil pemerintah yang hilang kendali. Begitu menabrak, sesuatu dari mobil itu meledak dan membalikkan jaguar Jevi. Lalu mobil itu meledak sekali lagi, dan membuat mobil kami terlempar keras dan ikut dilalap api. Pada saat itulah aku mungkin terlempar keluar mobil. Jevi dan yang lainnya tampaknya tak ada yang selamat.

Aku merasa semakin lemah, rupanya aku sudah dibius. Pandanganku semakin kabur. Aku tak bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di depanku, pikiranku tidak bisa merambat lagi, merasa hari biasa tadi tidaklah begitu biasa lagi.



Satu hari kemudian. Aku dipindahkan ke ruang High Dependency Unit, begitu aku selesai dioperasi. Disini, kerabat-kerabatku mulai datang berkunjung. Aunt May datang setiap hari. Ia hanya meninggalkanku sewaktu malam, karena waktu besuk sudah berakhir setiap pukul sepuluh. Aunt May bersyukur sekali aku selamat. Dia terus-terus menangis dan berterima kasih. Dia bilang dia tidak bisa bayangkan kehilangan diriku, padahal usiaku belum sampai muka dua. Dia sudah lebih tenang sewaktu aku bilang dia sudah seperti ibu bagiku. Dan bagiku, dia adalah ibuku.

Lalu Aunt May banyak bercerita. Dia sangat sedih waktu memaksakan dirinya memberitahuku Jevi sudah meninggal. Aku lumayan terkejut, walaupun sudah menduga demikian. Jevi orang yang baik. Tuhan memang kadang punya rencana yang lain. Tapi Aunt May bilang aku sekarang terkenal, karena selain Jevi, yang meninggal dalam kejadian kemarin adalah Gubernur kota tetangga kami beserta anaknya. Karena aku satu-satunya yang selamat, banyak wartawan datang untuk meliput cerita ini, berusaha mendapatkan fotoku.

Hari berlalu dengan lambat dan menyakitkan. Berbagai kejadian bertubi-tubi terjadi di sekitarku, tapi tak ada yang penting dan membuatku terkejut, setidaknya sampai malam harinya. Aku baru saja dibius, dan kondisiku lemah. Aku mendengar ada seseorang yang mau menjengukku. Seorang teman. Aku tak bisa memikirkan siapa, semua sahabatku sekarang sudah sedang ada di luar negeri. Ketika dia memasuki kamarku, aku mengenali gaya bicaranya yang malu-malu. Pete. Dia laki-laki yang aku kenal beberapa tahun yang lalu, sewaktu aku masih sekolah disini. Orangnya sangat penutup dan pemalu. Jangkung. Murah senyum, baik dan ramah. Aku jarang bergaul dengan dia, tapi kami berteman baik. Sewaktu lulus, kami tidak pernah berhubungan lagi. Terakhir aku dengar, dia sedang keluar kota. Aku tak bisa membayangkan Pete datang menjengukku. Dia seperti suatu bagian kecil masa laluku. Tapi disitulah dia, Pete berdiri di depan pintu masuk kamarku. Berbicara gugup dengan Aunt May. Aku mencoba menangkap pandangannya. Mukanya kelihatan pucat, dan dia lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Waktu dia memandangku, dia tersenyum seakan bermaksud menenangkanku. Beberapa menit kemudian, dia melambai padaku malu-malu, dan segera pergi tanpa sepatah katapun.


Satu malam kemudian. Keadaanku semakin membaik. Popularitasku semakin gencar mengejarku, sama sekali tidak kusangka sebelumnya. Beberapa teman sekolahku datang menjengukku. Beberapa darinya bahkan tidak kukenal. Tapi aku lumayan senang mereka datang, dan lumayan malu mereka melihatku saat keadaanku seperti ini.

Pada tengah hari ketiga aku di kamar ini, Pete datang lagi. Kali ini wajahnya lebih rileks dan tidak sepucat sebelumnya. Aku merasa kecewa dengan kunjungan terakhir Pete yang begitu singkat, jadi waktu aku melihat wajahnya sekali lagi, aku merasa bahagia. Suatu perasaan yang asing mendadak saja memenuhi diriku. Aku tak pernah mendapat hal yang seperti ini. Pete duduk, menanyakan bagaimana keadaanku. Tampaknya ia ingin meminta maaf untuk kunjungannya yang terakhir. Tapi dia bertingkah seperti tidak bisa berbicara. Itulah ciri khas Pete. Kalau sudah sampai soal perasaan, dia bisa menjadi yang paling jago, sekaligus yang paling bodoh.

Aku mengangguk pelan, tersenyum. Aku tahu apa yang mau ia katakan. Tiba-tiba saja aku rasanya bisa memahami dia. Waktu pertama Pete mendengar kabarku, mungkin dia shock. Dia selalu baik padaku. Tentu dia tidak mau menggangguku pada malam pertama aku disini, lagi pula aku sedang dibius. Aku tak cukup kuat untuk berbicara. Tapi sekarang sudah lain, kami berbincang-bincang seakan sekarang adalah acara reuni yang terundur. Aku menceritakan lagi kecelakaannya pada Pete. Kami tertawa. Kami mengingat kembali masa terakhir kami bertemu.

Aku sangat berterimakasih karena Pete sudah datang. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan tidak ingat lagi dengan orang ini. Sekarang aku senang dia ada bersamaku. Banyak kenangan lama kembali lagi padaku. Membuatku sadar kalau sesuatu yang kecil terjadi di masalalu, kadang tidak selamanya terlupakan. Kenangan yang biasa saja di masalalu, kadang menjadi yang terindah buat kita. Aku masih ingat kalau dulu, aku pernah merasa Pete suka padaku. Aku begitu cuek dan tidak peduli. Satu hal kecil.
Satu hal kecil.



Aku kalang kabut. Perasaanku tak terkendali. Kepalaku penuh istilah-istilah latin yang tidak aku mengerti. Udara disini pengap sekali, seperti biasa kalau lima puluh orang lebih dikumpulkan dalam satu ruangan yang AC-nya rusak. Susah sekali untuk konsentrasi. Padahal tinggal setengah jam lagi ujian Biologi akan dimulai. Entah apa yang kulakukan semalam sampai tidak sempat menghafal semua catatan ini. Tiga bab. Ilmu taksonomi, cara perkembangbiakan kelajengking, struktur anatomi jantung Pisces, dan sistem organ pada manusia yang terdiri dari sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem respirasi, sistem gerak dan sistem transportasi darah.

Aku pastilah tampak kacau sekali. Temanku Elisha yang duduk tepat disampingku sudah pindah kira-kira setengah jam yang lalu. Ia sudah sadar keadaanku yang berbahaya. Ia tentu juga sadar kemarahanku yang sudah menggelegak dipermukaan bisa tersembur ke siapa saja yang cukup tolol untuk bernafas terlalu keras di dekatku, atau tertawa mendengar lelucon orang lain. Banteng yang terluka ini tampaknya sudah jelas bagi seisi kelas. Tulisan ‘Jangan ganggu aku’ bagai tercoret begitu saja di jidatku, membuat semua orang yang sudah percaya akan lulus Biologi, buru-buru menyingkir sebelum aku meledak.

Aku sedang membaca ulang baris ketiga defenisi dari tekanan osmosis dan sedang sebal tak mengerti juga mengapa aku tidak bisa menyerap kalimat itu kedalam otakku, ketika seorang lelaki kurus berambut hitam terbelah ke samping datang dan duduk disampingku. Aku menoleh tak percaya padanya. Siapa pula yang belum membaca ancamanku, atau terlalu tolol untuk mengerti. Ternyata Pete. Dengan muka cerah seakan tak ada hal lain yang lebih dicintainya daripada duduk di sampingku, dia berpaling padaku.
“Sudah bisa belum?” tanyanya riang.
Selama kira-kira sedetik, aku berniat menimpuk kepalanya yang bodoh itu dengan buku biologiku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Malah, tanpa mengerti apa yang kulakukan, aku menatapnya dan tersenyum lalu berkata,
“Oh, belum.”

Pete tersenyum sekilas padaku, lalu meraih catatan yang tadi sekuat tenaga kuremas, seakan berharap isinya melayang masuk ke kepalaku. Aku tidak melakukan apa-apa selain membiarkannya. Aku tak tahu mengapa aku melakukan itu. Pete selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih. Dia tidak pernah membuatku marah, dan anehnya, tidak bisa. Aku tidak merasa punya rasa suka pada lelaki ini. Walaupun banyak orang yang bilang kalau Pete diam-diam naksir padaku. Aku tetap tak peduli. Bagiku, Pete hanyalah seorang teman. Dan aku tidak mengharap lebih. Tapi rupanya Pete tidak berpikir demikian. Karena dia kemudian membantuku untuk menghafal. Banyak hal yang tidak kuketahui dia terangkan kurang dari setengah jam. Dan walaupun pada awalnya aku sebal dengan interupsinya, aku menjadi lebih tenang karena ada baiknya Pete duduk di sampingku. Aku merasa paling tidak ujian Biologi kali ini aku akan lulus.

Ketika ujian berlangsung, aku dilanda stress, dan kalau itu mungkin, stroke. Aku tak bisa menjawab kira-kira empat per lima dari semua soalnya. Sungguh satu setengah jam yang menyedihkan. Pada belasan menit terakhir, aku sudah pasrah. Sebagian dari diriku tak mengerti mengapa aku tidak bisa menjawab soal-soal ini.

Lalu aku melihat Pete, berdiri di luar kelas menungguku. Kaget, aku hampir saja merobek lembar jawabanku. Untuk apa pula dia berdiri disana? Aku tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pete memandang ke dalam mataku dari kejauhan dan tersenyum, lalu dia mengacungkan kedua jempolnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Apakah dia mengharapkan aku bisa menjawab semua pertanyaan ini setelah dia membantuku tadi? Kalau iya, dia salah besar. Ataukah dia cuma ingin mengolokku, tahu kalau aku pasti gagal di ujian kali ini... Berbagai pikiran menyelimutiku. Pada akhirnya, aku mengisi acak jawaban untuk soal-soal yang tersisa, lalu bergegas keluar.

Pete langsung menyambutku. Aku rasanya sudah ingin memarahinya. Ingin melampiaskan segala kekesalan hari ini pada mukanya yang ceria dan malu-malu.
“Bagaimana, Hailie?” tanyanya riang, seperti biasa. Sekali lagi, aku mendadak tak ingat rencanaku untuk memukulnya. Aku hanya menjawab lesu, berharap dia pergi dariku secepat mungkin.
“Gak bagus.” Aku menggeleng lemah.

Lalu sesuatu yang aneh terjadi, aku ingat aku sedang berjalan di sampingnya, bergerak menjauh dari kelasku. Pete mengikutiku. Dan rasanya semua beban yang tadi memenuhi kepalaku mendadak hilang. Aku menatapnya heran, seolah yakin Pete punya penjelasannya. Tapi dia hanya memandangku dan tersenyum, lalu berbicara soal cuaca. Pada saat itu, aku tiba-tiba tidak ingin berpikir lagi. Aku lalu berjalan pulang bersama Pete, bicara soal hal-hal yang lain yang tak penting. Tersenyum, aku tak bisa melupakan perasaan ringan ini. Bersama Pete, yang selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih.



Satu minggu kemudian. Aku sudah operasi untuk yang kedua kalinya, yang membuatku terbangun malam-malam hari berikutnya sambil mengerang kesakitan. Aku sadar bagian yang tersulit belum lewat. Orang-orang yang menjengukku tidak bertambah sedikit, namun wajah Pete tak terlihat lagi dari mataku yang tersiram air mata kesakitan, membuatku sedikit merasa terlupakan. Aneh, aku tak tahu mengapa aku merasa begitu. Tapi aku lalu berpikir-pikir sendiri di kamar itu sewaktu aku menghabiskan hariku yang panjang. Mungkin tidak adil bagiku untuk mengharapkan Pete datang mengunjungiku lagi. Dia ’kan punya hidup. Dan dia juga tidak begitu akrab denganku dulu, waktu di sekolah, ataupun sesudahnya. Aku merasa sedikit muak pada diriku yang egois ini. Walaupun begitu, aku tak bisa tidak mengaku kalau sebagian kecil dari diriku mengharap bisa bertemu Pete lagi.

Makan siangku semakin lama semakin bervariasi, namun apapun yang masuk ke mulutku tampaknya berubah hambar. Sore ini rasa sakit kakiku tak terbayangkan. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis keras-keras. Ingin rasanya aku membagi kesakitan ini dengan orang lain, supaya mereka setidaknya mengerti apa yang kurasakan. Tapi aku tak bisa apa-apa, hanya bertahan tanpa tahu sudah berapa lama aku berjuang.

Lalu ketika Em, sohib baikku pulang, aku melihat wajah Pete bergerak mendekat menuju tempat tidurku. Dia tersenyum dan menyapaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, dan tanpa senyum, aku memandang matanya lama sekali. Tampaknya dia sedikit salah tingkah karena kulihat terus, karena dia buru-buru memalingkan mukanya sebentar sebelum mengobrol denganku. Seperti setiap kali teman baikku menjengukku, rasa sakit yang kurasakan semakin berkurang. Emosi tak terjelaskan menjalari tubuhku. Seberkas cahaya asing yang tak tampak sebelumnya, sekarang begitu pekat. Menyiramiku dengan kehangatan.

Aku sangat senang hari itu. Ketika semua temanku akhirnya pamit pulang, Pete kembali sekali lagi dan meninggalkan sepucuk amplop di hadapanku.
“Aku lupa memberikan ini padamu.” Katanya sedikit malu, lalu pergi setelah meninggalkan surat itu.
Aku membukanya dan menemukan sehelai kartu jingga ramah bertuliskan “Hailie Hope” di atas kalimat lain yang tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berhenti membacanya, tanpa banyak tahu mengapa mataku kembali basah. Tapi aku tahu satu hal, sudah cukup lama sejak air mata bahagia terakhir mengalir turun ke pipiku.

——oОo——


All Characters described are merely fiction. Hailie Hope© created by Bam, 2004

Komentar Penulis :

Cerpen ini aku tulis tahun 2005, aku lebih suka menggambarkannya sebagai suatu bab dari jurnal hidupku. Walau cerita ini bukanlah kisah nyata, beberapa hal yang kualami memberikanku inspirasi. Pete, aku suka tokoh yang aneh-pemalu-tapi-mengesankan ini. Mirip seseorang yang dulu aku kenal. Hailie Hope, mungkin adalah karakter favoritku. aku menciptakan dia sekitar lebih dari setahun lalu, dan sampai sekarang aku masih berharap bisa bertemu seseorang yang seperti dia. Cerita ini berlatar di tahun 2018-2019. Yah, karena hidup adalah masalah bagaimana kita menjalani waktu.
Bam.

No comments: