Saturday, June 02, 2007

The Link [PART ONE]


“Mari kuceritakan sebuah kisah yang tidak pernah kau dengar sebelumnya... suatu keajaiban yang sudah terjadi sejak 20 tahun yang lalu, namun baru disadari pada hari ini...”
“... aku sudah menemukan dia, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mencegah aku menemuinya.”


.
.
.


18 November 2001
Berastagi, 56 km dari kota Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Lucas berlari keluar menyebrangi lautan rumput di bukit hijau yang terhampar luas di hadapannya. Pagi itu, adalah Minggu pagi yang dingin seperti biasanya. Oksigen dan uap air menyerang wajah Lucas, membuatnya menggigil. Namun ia tidak peduli, karena jika ia tidak menghindari kerumunan orang di belakangnya, mereka akan bisa mendengar dia. Atau lebih buruk, tahu kalau Lucas bisa mendengar dia.

“Halo... kamu bisa dengar aku? Namaku Lucas.”

“... I can’t be wearing that dress. It’s ghastly. Oh no, Miss Janet is here. She will be forcing me to wear it. I don’t want to. Please. Help me. Please!”

“Halo... Halo... Aku tidak bisa mengerti apa yang kamu katakan.”

Lucas berdiri seorang diri di tengah-tengah Bukit Kubu di pagi hari, di atas rumput basah. Tidak ada seorang pun yang berada dalam radius 50 meter dari dia. Lucas berdiri menatap ke pegunungan dan hutan nan jauh tanpa terfokus. Tangannya yang tadi terkantung-kantung tanpa arti sekarang sedang menekan pelipis kepalanya.

“Oh there she is! I hope Brad will be here as well. But what happens when he sees me with these clothes? I can’t. He can’t see me.”

“Tolong hentikan ini. Jangan memanggilku lagi. Tolong... hentikan...”

Namun kepada siapapun Lucas berbicara, jelas mereka tidak mendengarnya. Karena Lucas masih bisa mendengar suara itu. Suara dia. Tidak mau berhenti.


.
.
.


4 Mei 2006
Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Di atap sebuah gedung tua kosong, 16 meter dari tanah, Lucas memandang kebawah. Pintu masuk gedung baru saja terbuka dan seorang laki-laki masuk kedalam. Lucas berbalik dan duduk diatas sebuah balok beton yang lembab. Rambutnya yang lumayan gondrong terkibas angin kencang yang menyejukkan.

“He’s there? I can’t believe it. Did he see me? Oh. He’s wearing the shirt I picked for him. Oh my God, oh my God...”

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki kecil berambut seperti tikus muncul di hadapan Lucas. Wajahnya tampan dan rahangnya kokoh. Namanya Eric. Dia teman dari Lucas, mungkin satu-satunya.

“Jadi, katakanlah padaku.” ungkap Eric tanpa basa basi.

“Ada sebuah suara di kepalaku. Suara seorang perempuan.” jawab Lucas buru-buru.

“Perempuan? Apa kamu tidak hanya membayang—”

“Aku tahu apa yang kualami, Eric. Dan tidak! Aku tidak membayangkan. Aku memberitahumu karena aku tahu kamu tidak akan menganggapku aneh dan menertawakanku bahwa semua ini hanyalah sebuah hasrat akan perempuan yang tidak pernah aku dapatkan. Aku tidak butuh itu! Sudah cukup banyak orang yang mengejekku!”

“Hei Hei! Aku tidak mengejekmu. Aku cuma penasaran. Kau yakin itu suara orang lain? Bukan suara rekaanmu sendiri?”

“Iya. Suara itu terdengar begitu jernih seakan dia ada disampingku... bukan.. seakan dia ada di dalam kepalaku.”

“Tapi siapa dia? Kau mengenal suaranya?”

“Tidak tahu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang dia bilang. Bahasa Inggris. Ia berbicara bahasa Inggris. Kusadari itu ketika aku berumur 12 tahun. Sebelumnya aku tidak tahu sama sekali bahasa apa itu.”

“Tunggu. Kau mengatakan bahwa suara ini sudah ada sejak dulu?”

“Iya. Pertama kali muncul sejak aku berumur 10 tahun. Aku memberitahu orang tuaku dan mereka menyuruhku melupakannya saja, bahwa itu tidak nyata. tapi bagaimana kau bisa melupakan hal yang sedang terjadi padamu seumur hidupmu?”

“Berapa sering suaranya muncul? Apa suara itu muncul sekarang?”

“Kadang-kadang. Baru saja. Sekarang tidak ada. Tidak dapat kutebak kapan munculnya. Kadang pagi-pagi sebelum aku bangun, kadang muncul ketika aku ada di sekolah, kadang bahkan muncul ketika aku sedang tidur, membuatku terbangun dan terkejut.”

“Lalu apa katanya?”

“Entahlah. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang dia bilang. Biasanya aku mencoba untuk tidak mendengarnya. Biasanya aku mencoba untuk menganggap itu hanya keributan di sekitar.”

“Tapi itu bukan keributan, Luc. Kau harus mendengar apa yang dia katakan. Mungkin dia hendak memberimu pesan. Mungkin saja dia hantu yang penasaran.”

“Jangan bercanda, Ric!”

“Iya, Sorry. Tetap saja, kau harus memberitahuku apa yang dikatakannya lain kali.”

“Tapi aku tidak mengerti Bahasa Inggris. Itu pelajaran yang paling tidak aku suka.”

“Cobalah untuk mengingatnya. Nanti aku akan membantumu mengartikannya. Jika kita tahu siapa dia, mungkin kita bisa menghentikannya.”

“Jadi, kamu percaya padaku, Ric?”

“Siapa itu Ric?” sahut seorang gadis tiba-tiba, membuat Lucas berbalik dan melihat Tania, adik perempuannya melongo melihat Lucas.

“Eric, temanku... ini.” Lucas menunjuk tempat dimana Eric berdiri tadi, yang sekarang tinggal sebuah dinding kosong. “Eric?” tanya Lucas melihat-lihat sekeliling. Eric tidak ada di atap gedung itu. Kemana dia pergi?

“Eric sudah meninggal 2 tahun lalu, Luc. Ayo, turunlah ke bawah. Ayah punya seseorang yang mau bertemu denganmu.” sahut Tania dengan nada cemas.

“Tidak. Aku mau berada disini. Eric percaya padaku. Eric percaya dia ada! Tinggalkan aku sendirian, Tan!”

“...Forever suits on you? ‘Forever suits on you’? What was I thinking? Oh no.. this is so embarassing...”

Perlahan-lahan, Tania mundur dan turun ke lantai bawah.


.
.
.


November 21, 2004
Downtown Los Angeles
USA


“Tidak! Tidak! Ini semua salahku. Jika Eric tidak mempercayaiku... jika aku tidak memberitahunya.. semua ini tidak akan terjadi. Ini salahku.. ini salahku...”

Michelle opened her eyes up almost abruptly. Her breath was racing. Sweating all over her body, she got up and sat on her bed. Her eyes were checking her surroundings. It was just a dream. A weird dream it was. She knew that she couldn’t sleep anymore, not with what had just happened.

She went downstairs to get a drink. Glancing at the clock as she was walking out of her bedroom, she saw that it’s 3 in the morning.

To her surprise, there was someone in the kitchen. Ah, it’s just her mom.

“Darling, what’s wrong?”

“I .. I had a nightmare. I can’t sleep.” she told her mom, who was handing her a glass of water. “Thanks.”

“Well.. can’t we all?”

Michelle shrugged.

“Mom. I had this weirdest dream.”

“I thought it was a nightmare.”

“I don’t know. I was not seeing anything. It’s just... there was some voice I heard. Speaking in a language I didn’t understand. I think it’s like Arab or something.. tagalog or something.”

“Well.. what did it say?” asked her mom curiously.

“I don’t know. I told you. It’s a foreign language. How could I tell? But I could tell that he’s hurt or upset. It was very grim and there are a lot of yellings...”

“It’s a he? Wow. You need to get rest, Mich, especially when you start to dream about an unknown boy.”


.
.
.


30 Januari 2009
Jakarta Utara
Indonesia



“Dr. Prawojo, aku sudah merasa lebih baik. Aku tahu. Aku bisa merasakannya di dalam sini. Sepengetahuanku, Eric tidak pernah muncul lagi dan begitu juga suara asing itu. Aku sadar kalau semuanya tidaklah nyata. Semua hanya bayangan semata. Anda juga tahu bukan, sepanjang waktu ini Anda juga mengawasi aku.”

"...What are you saying? Who are you?..."

“Aku tidak bisa berpura-pura kalau kamu masih belum sembuh, Luc. Aku senang sekali kamu akhirnya bisa mengatasinya. Dengan demikian, kamu sudah boleh pulang. Kembalilah ke keluargamu. Kembalilah ke hidupmu. Aku akan mengurus semua dokumennya.”

"I can't let them know about him... no.. not right now... I must act as if nothing is happening to me.. it's all imagination..."

“Terima kasih, dr. Prawojo.”

Lucas menyalami Dokter itu. Senyum sopan melintas di bibirnya, yang dibalas juga dengan sebuah senyum tulus kebapakan dari dokter yang sudah mengawasinya dalam program yang ketat selama 2 setengah tahun belakangan.

Ketika Lucas keluar dari gedung itu, pikirannya hanya ada satu. Ia harus mencari tahu siapa sebenarnya gadis itu. Pikiran siapakah yang selama hidupnya ini dia dengarkan? Iya, karena Lucas telah menyadari selama 2 tahun ini, di dalam sel yang sepi sendirian, mendengarkan semua suara-suara itu. Mereka adalah pikiran dari seseorang. Pikiran dari seorang yang hidup di negara lain. dan entah bagaimana, Lucas bisa mendengarnya, tanpa dia ketahui.

Dan sekarang, setelah dia bebas dari kurungan Dr. Prawojo, dia akan bisa menyelesaikan semua teka-teki ini, dan menemukan siapa sebenarnya gadis itu.

"... not really happening..."


.
.
.


October 22, 2008
Somewhere in Los Angeles
USA


“Halo? Halo? Namaku Lucas. Bisakah kamu mendengarku? Aku adalah seorang lelaki berusia 18 tahun di Indonesia. Suaramu selalu masuk ke kepalaku. Aku bisa mendengar apa yang kamu pikirkan. Tapi aku tidak tahu namamu. Bisakah kamu memberitahuku? Halo.. halo.. namaku Lucas. Bisakah kamu mendengarku?”

Michelle freaked out. She didn’t realize she had just been screaming so loudly inside the exam hall. How could she not be? She suddenly heard a voice of a stranger man inside her head, as clear as her own thoughts. Voices she couldn’t understand. Voices which she had forced herself to believe wasn’t real. But they were! They are real!

“Stop it! Leave me alone!” cried Michelle out of the blue. The whole class were staring at her.

“Mich.. what happened? Are you OK?” asked a friend of her, Julia.

Michelle eyed at her protuberantly as if she was looking at something surprising.

“It happened again, Julia, and he was trying to contact me… I… I don’t want… please go away…” Then Michelle ran away. She scurried her way to the park, where all students were still at examination. There were no people there. She was on her own. But even after she’d closed her ears, the voices were still as clear as before.

“Aku tidak menyangka akan terkurung seperti ini. Aku harus keluar dari sini. Setelah itu, aku baru bisa melacak suara-suara ini. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana?”

“Stop! Stop it please!” she kneeled on the grass, crying.


.
.
.


1 Januari 2010
Pinggir kota Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Ada seorang lelaki jangkung berusia 20 tahun berdiri di tengah-tengah sebuah ruangan gelap tertutup. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu adalah dari sebuah monitor flat berukuran 17 inchi, menghadap wajah lelaki itu, sehingga jika ada orang yang melihatnya dari dekat, ia akan bisa melihat sebuah ekspresi lelah pada wajah yang dulunya tegap dan berwibawa. Ia belum bercukur selama beberapa hari, dan rambutnya tidak gondrong lagi, melainkan pendek dan acak-acakan.

Pandangan Lucas benar-benar terfokus pada monitor di depannya, tapi ia tidak membaca satu hal pun disana. Malah, dia sekarang memejamkan matanya. Mulutnya tertutup rapat. Pikirannya tenang dan terkontrol. Dia sudah siap.

Hello... Hello... Can you hear me? Don’t be afraid. If you can hear me, I want you to stay calm and relax your mind. If you can hear this... please... think of the word ‘yes’...

Suasana di ruangan itu begitu hening. Tidak ada suara selama beberapa jam terakhir. Lucas menunggu dengan sabar. Satu menit... dua menit... tiga menit...

Lalu datanglah suara itu.

Yes... yes...

Lucas tersungkur jatuh karena kaget. Belum pernah dia sekaget dan sesenang sekarang. Dia berhasil. Girang bukan main, dia telah berhasil berkomunikasi dengan dia. Tapi dia masih belum selesai. Dia harus tetap tenang... dan melanjutkan...

I can hear you... I can hear you... can you hear me now? My name is Lucas... I have been hearing your thoughts for my whole life...

Lalu mendadak, tanpa peringatan, pikiran Lucas dibanjiri suara seorang perempuan...

...Oh my God, he can hear me... He can hear me too. Who are you? What are you doing inside my head? Oh no.. Am I going crazy?...

Stop! You must be calm. Please Arrgh——

——What? Stop it! What’s happening to me?

———Arrgh.. I know this can happen.. you should not listen to my thoughts right now——

——Ahh.. My head hurts.. Are you doing this to me? What are you doing?——

We are reading each other’s mind... I must stop... I must stop———


Lucas tidak bisa tenang dengan rasa sakit menyerang dikepalanya. Ia merasa bagaikan sebuah suara berfrekuensi tinggi dinyalakan di otaknya. Suara perempuan itu terus menerus datang, dan ketika akhirnya Lucas tidak bisa menahan lebih jauh lagi, dia terpuruk. Pingsan.


.
.
.


January 1, 2010
Downtown Los Angeles
USA



“Mich.. Mich.. are you OK?”

Julia’s voice came thru her mind, but thankfully, it was from next to her. Michelle gasped for a heavy breath, and then looked at her friend.

“It’s gone. He’s gone. I can’t hear him now.”

“What happened just now?” asked Julia carefully. They were alone in Mich’s room.

“I think I just… I think we just communicated…”

Communicated?”

“Yeah. He asked me to stay calm. He told me he was also listening to my thoughts the whole time, kinda like I am listening to his. His name is Lucas…”

“Lucas? Where is he?”

“I don’t know…we haven’t got the chance to really talk. I mean… my head hurt and I heard all this high frequency buzzing… I was afraid that he was doing that to me, somehow…but then it was gone.”

“What buzzing?”

“I think it’s because we were trying to read each other’s thoughts. I don’t know…”

And at that time… out of nowhere… A voice crawled in to Michelle’s head, so slowly and so delicately.

Email me at lucas1990@yahoo.com … subject “mind me”









... continued to PART TWO

---oOOo---

Lucas, Michelle, and all the characters are mere fiction. Created by Bambang Superwan, 2007©

No comments: