Saturday, June 02, 2007

The Link [PART ONE]


“Mari kuceritakan sebuah kisah yang tidak pernah kau dengar sebelumnya... suatu keajaiban yang sudah terjadi sejak 20 tahun yang lalu, namun baru disadari pada hari ini...”
“... aku sudah menemukan dia, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mencegah aku menemuinya.”


.
.
.


18 November 2001
Berastagi, 56 km dari kota Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Lucas berlari keluar menyebrangi lautan rumput di bukit hijau yang terhampar luas di hadapannya. Pagi itu, adalah Minggu pagi yang dingin seperti biasanya. Oksigen dan uap air menyerang wajah Lucas, membuatnya menggigil. Namun ia tidak peduli, karena jika ia tidak menghindari kerumunan orang di belakangnya, mereka akan bisa mendengar dia. Atau lebih buruk, tahu kalau Lucas bisa mendengar dia.

“Halo... kamu bisa dengar aku? Namaku Lucas.”

“... I can’t be wearing that dress. It’s ghastly. Oh no, Miss Janet is here. She will be forcing me to wear it. I don’t want to. Please. Help me. Please!”

“Halo... Halo... Aku tidak bisa mengerti apa yang kamu katakan.”

Lucas berdiri seorang diri di tengah-tengah Bukit Kubu di pagi hari, di atas rumput basah. Tidak ada seorang pun yang berada dalam radius 50 meter dari dia. Lucas berdiri menatap ke pegunungan dan hutan nan jauh tanpa terfokus. Tangannya yang tadi terkantung-kantung tanpa arti sekarang sedang menekan pelipis kepalanya.

“Oh there she is! I hope Brad will be here as well. But what happens when he sees me with these clothes? I can’t. He can’t see me.”

“Tolong hentikan ini. Jangan memanggilku lagi. Tolong... hentikan...”

Namun kepada siapapun Lucas berbicara, jelas mereka tidak mendengarnya. Karena Lucas masih bisa mendengar suara itu. Suara dia. Tidak mau berhenti.


.
.
.


4 Mei 2006
Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Di atap sebuah gedung tua kosong, 16 meter dari tanah, Lucas memandang kebawah. Pintu masuk gedung baru saja terbuka dan seorang laki-laki masuk kedalam. Lucas berbalik dan duduk diatas sebuah balok beton yang lembab. Rambutnya yang lumayan gondrong terkibas angin kencang yang menyejukkan.

“He’s there? I can’t believe it. Did he see me? Oh. He’s wearing the shirt I picked for him. Oh my God, oh my God...”

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki kecil berambut seperti tikus muncul di hadapan Lucas. Wajahnya tampan dan rahangnya kokoh. Namanya Eric. Dia teman dari Lucas, mungkin satu-satunya.

“Jadi, katakanlah padaku.” ungkap Eric tanpa basa basi.

“Ada sebuah suara di kepalaku. Suara seorang perempuan.” jawab Lucas buru-buru.

“Perempuan? Apa kamu tidak hanya membayang—”

“Aku tahu apa yang kualami, Eric. Dan tidak! Aku tidak membayangkan. Aku memberitahumu karena aku tahu kamu tidak akan menganggapku aneh dan menertawakanku bahwa semua ini hanyalah sebuah hasrat akan perempuan yang tidak pernah aku dapatkan. Aku tidak butuh itu! Sudah cukup banyak orang yang mengejekku!”

“Hei Hei! Aku tidak mengejekmu. Aku cuma penasaran. Kau yakin itu suara orang lain? Bukan suara rekaanmu sendiri?”

“Iya. Suara itu terdengar begitu jernih seakan dia ada disampingku... bukan.. seakan dia ada di dalam kepalaku.”

“Tapi siapa dia? Kau mengenal suaranya?”

“Tidak tahu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang dia bilang. Bahasa Inggris. Ia berbicara bahasa Inggris. Kusadari itu ketika aku berumur 12 tahun. Sebelumnya aku tidak tahu sama sekali bahasa apa itu.”

“Tunggu. Kau mengatakan bahwa suara ini sudah ada sejak dulu?”

“Iya. Pertama kali muncul sejak aku berumur 10 tahun. Aku memberitahu orang tuaku dan mereka menyuruhku melupakannya saja, bahwa itu tidak nyata. tapi bagaimana kau bisa melupakan hal yang sedang terjadi padamu seumur hidupmu?”

“Berapa sering suaranya muncul? Apa suara itu muncul sekarang?”

“Kadang-kadang. Baru saja. Sekarang tidak ada. Tidak dapat kutebak kapan munculnya. Kadang pagi-pagi sebelum aku bangun, kadang muncul ketika aku ada di sekolah, kadang bahkan muncul ketika aku sedang tidur, membuatku terbangun dan terkejut.”

“Lalu apa katanya?”

“Entahlah. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang dia bilang. Biasanya aku mencoba untuk tidak mendengarnya. Biasanya aku mencoba untuk menganggap itu hanya keributan di sekitar.”

“Tapi itu bukan keributan, Luc. Kau harus mendengar apa yang dia katakan. Mungkin dia hendak memberimu pesan. Mungkin saja dia hantu yang penasaran.”

“Jangan bercanda, Ric!”

“Iya, Sorry. Tetap saja, kau harus memberitahuku apa yang dikatakannya lain kali.”

“Tapi aku tidak mengerti Bahasa Inggris. Itu pelajaran yang paling tidak aku suka.”

“Cobalah untuk mengingatnya. Nanti aku akan membantumu mengartikannya. Jika kita tahu siapa dia, mungkin kita bisa menghentikannya.”

“Jadi, kamu percaya padaku, Ric?”

“Siapa itu Ric?” sahut seorang gadis tiba-tiba, membuat Lucas berbalik dan melihat Tania, adik perempuannya melongo melihat Lucas.

“Eric, temanku... ini.” Lucas menunjuk tempat dimana Eric berdiri tadi, yang sekarang tinggal sebuah dinding kosong. “Eric?” tanya Lucas melihat-lihat sekeliling. Eric tidak ada di atap gedung itu. Kemana dia pergi?

“Eric sudah meninggal 2 tahun lalu, Luc. Ayo, turunlah ke bawah. Ayah punya seseorang yang mau bertemu denganmu.” sahut Tania dengan nada cemas.

“Tidak. Aku mau berada disini. Eric percaya padaku. Eric percaya dia ada! Tinggalkan aku sendirian, Tan!”

“...Forever suits on you? ‘Forever suits on you’? What was I thinking? Oh no.. this is so embarassing...”

Perlahan-lahan, Tania mundur dan turun ke lantai bawah.


.
.
.


November 21, 2004
Downtown Los Angeles
USA


“Tidak! Tidak! Ini semua salahku. Jika Eric tidak mempercayaiku... jika aku tidak memberitahunya.. semua ini tidak akan terjadi. Ini salahku.. ini salahku...”

Michelle opened her eyes up almost abruptly. Her breath was racing. Sweating all over her body, she got up and sat on her bed. Her eyes were checking her surroundings. It was just a dream. A weird dream it was. She knew that she couldn’t sleep anymore, not with what had just happened.

She went downstairs to get a drink. Glancing at the clock as she was walking out of her bedroom, she saw that it’s 3 in the morning.

To her surprise, there was someone in the kitchen. Ah, it’s just her mom.

“Darling, what’s wrong?”

“I .. I had a nightmare. I can’t sleep.” she told her mom, who was handing her a glass of water. “Thanks.”

“Well.. can’t we all?”

Michelle shrugged.

“Mom. I had this weirdest dream.”

“I thought it was a nightmare.”

“I don’t know. I was not seeing anything. It’s just... there was some voice I heard. Speaking in a language I didn’t understand. I think it’s like Arab or something.. tagalog or something.”

“Well.. what did it say?” asked her mom curiously.

“I don’t know. I told you. It’s a foreign language. How could I tell? But I could tell that he’s hurt or upset. It was very grim and there are a lot of yellings...”

“It’s a he? Wow. You need to get rest, Mich, especially when you start to dream about an unknown boy.”


.
.
.


30 Januari 2009
Jakarta Utara
Indonesia



“Dr. Prawojo, aku sudah merasa lebih baik. Aku tahu. Aku bisa merasakannya di dalam sini. Sepengetahuanku, Eric tidak pernah muncul lagi dan begitu juga suara asing itu. Aku sadar kalau semuanya tidaklah nyata. Semua hanya bayangan semata. Anda juga tahu bukan, sepanjang waktu ini Anda juga mengawasi aku.”

"...What are you saying? Who are you?..."

“Aku tidak bisa berpura-pura kalau kamu masih belum sembuh, Luc. Aku senang sekali kamu akhirnya bisa mengatasinya. Dengan demikian, kamu sudah boleh pulang. Kembalilah ke keluargamu. Kembalilah ke hidupmu. Aku akan mengurus semua dokumennya.”

"I can't let them know about him... no.. not right now... I must act as if nothing is happening to me.. it's all imagination..."

“Terima kasih, dr. Prawojo.”

Lucas menyalami Dokter itu. Senyum sopan melintas di bibirnya, yang dibalas juga dengan sebuah senyum tulus kebapakan dari dokter yang sudah mengawasinya dalam program yang ketat selama 2 setengah tahun belakangan.

Ketika Lucas keluar dari gedung itu, pikirannya hanya ada satu. Ia harus mencari tahu siapa sebenarnya gadis itu. Pikiran siapakah yang selama hidupnya ini dia dengarkan? Iya, karena Lucas telah menyadari selama 2 tahun ini, di dalam sel yang sepi sendirian, mendengarkan semua suara-suara itu. Mereka adalah pikiran dari seseorang. Pikiran dari seorang yang hidup di negara lain. dan entah bagaimana, Lucas bisa mendengarnya, tanpa dia ketahui.

Dan sekarang, setelah dia bebas dari kurungan Dr. Prawojo, dia akan bisa menyelesaikan semua teka-teki ini, dan menemukan siapa sebenarnya gadis itu.

"... not really happening..."


.
.
.


October 22, 2008
Somewhere in Los Angeles
USA


“Halo? Halo? Namaku Lucas. Bisakah kamu mendengarku? Aku adalah seorang lelaki berusia 18 tahun di Indonesia. Suaramu selalu masuk ke kepalaku. Aku bisa mendengar apa yang kamu pikirkan. Tapi aku tidak tahu namamu. Bisakah kamu memberitahuku? Halo.. halo.. namaku Lucas. Bisakah kamu mendengarku?”

Michelle freaked out. She didn’t realize she had just been screaming so loudly inside the exam hall. How could she not be? She suddenly heard a voice of a stranger man inside her head, as clear as her own thoughts. Voices she couldn’t understand. Voices which she had forced herself to believe wasn’t real. But they were! They are real!

“Stop it! Leave me alone!” cried Michelle out of the blue. The whole class were staring at her.

“Mich.. what happened? Are you OK?” asked a friend of her, Julia.

Michelle eyed at her protuberantly as if she was looking at something surprising.

“It happened again, Julia, and he was trying to contact me… I… I don’t want… please go away…” Then Michelle ran away. She scurried her way to the park, where all students were still at examination. There were no people there. She was on her own. But even after she’d closed her ears, the voices were still as clear as before.

“Aku tidak menyangka akan terkurung seperti ini. Aku harus keluar dari sini. Setelah itu, aku baru bisa melacak suara-suara ini. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana?”

“Stop! Stop it please!” she kneeled on the grass, crying.


.
.
.


1 Januari 2010
Pinggir kota Medan
Sumatera Utara, Indonesia


Ada seorang lelaki jangkung berusia 20 tahun berdiri di tengah-tengah sebuah ruangan gelap tertutup. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu adalah dari sebuah monitor flat berukuran 17 inchi, menghadap wajah lelaki itu, sehingga jika ada orang yang melihatnya dari dekat, ia akan bisa melihat sebuah ekspresi lelah pada wajah yang dulunya tegap dan berwibawa. Ia belum bercukur selama beberapa hari, dan rambutnya tidak gondrong lagi, melainkan pendek dan acak-acakan.

Pandangan Lucas benar-benar terfokus pada monitor di depannya, tapi ia tidak membaca satu hal pun disana. Malah, dia sekarang memejamkan matanya. Mulutnya tertutup rapat. Pikirannya tenang dan terkontrol. Dia sudah siap.

Hello... Hello... Can you hear me? Don’t be afraid. If you can hear me, I want you to stay calm and relax your mind. If you can hear this... please... think of the word ‘yes’...

Suasana di ruangan itu begitu hening. Tidak ada suara selama beberapa jam terakhir. Lucas menunggu dengan sabar. Satu menit... dua menit... tiga menit...

Lalu datanglah suara itu.

Yes... yes...

Lucas tersungkur jatuh karena kaget. Belum pernah dia sekaget dan sesenang sekarang. Dia berhasil. Girang bukan main, dia telah berhasil berkomunikasi dengan dia. Tapi dia masih belum selesai. Dia harus tetap tenang... dan melanjutkan...

I can hear you... I can hear you... can you hear me now? My name is Lucas... I have been hearing your thoughts for my whole life...

Lalu mendadak, tanpa peringatan, pikiran Lucas dibanjiri suara seorang perempuan...

...Oh my God, he can hear me... He can hear me too. Who are you? What are you doing inside my head? Oh no.. Am I going crazy?...

Stop! You must be calm. Please Arrgh——

——What? Stop it! What’s happening to me?

———Arrgh.. I know this can happen.. you should not listen to my thoughts right now——

——Ahh.. My head hurts.. Are you doing this to me? What are you doing?——

We are reading each other’s mind... I must stop... I must stop———


Lucas tidak bisa tenang dengan rasa sakit menyerang dikepalanya. Ia merasa bagaikan sebuah suara berfrekuensi tinggi dinyalakan di otaknya. Suara perempuan itu terus menerus datang, dan ketika akhirnya Lucas tidak bisa menahan lebih jauh lagi, dia terpuruk. Pingsan.


.
.
.


January 1, 2010
Downtown Los Angeles
USA



“Mich.. Mich.. are you OK?”

Julia’s voice came thru her mind, but thankfully, it was from next to her. Michelle gasped for a heavy breath, and then looked at her friend.

“It’s gone. He’s gone. I can’t hear him now.”

“What happened just now?” asked Julia carefully. They were alone in Mich’s room.

“I think I just… I think we just communicated…”

Communicated?”

“Yeah. He asked me to stay calm. He told me he was also listening to my thoughts the whole time, kinda like I am listening to his. His name is Lucas…”

“Lucas? Where is he?”

“I don’t know…we haven’t got the chance to really talk. I mean… my head hurt and I heard all this high frequency buzzing… I was afraid that he was doing that to me, somehow…but then it was gone.”

“What buzzing?”

“I think it’s because we were trying to read each other’s thoughts. I don’t know…”

And at that time… out of nowhere… A voice crawled in to Michelle’s head, so slowly and so delicately.

Email me at lucas1990@yahoo.com … subject “mind me”









... continued to PART TWO

---oOOo---

Lucas, Michelle, and all the characters are mere fiction. Created by Bambang Superwan, 2007©

Wednesday, April 11, 2007

DH - The Inferi land

Character: Harry Potter, Ron Weasley, Hermione Granger, Remus Lupin, Peter Pettigrew, Vernon Dursley, Petunia Dursley, Dudley Dursley, Arabella Figg.

Harry Potter, names, characters and related indicia
are copyright and trademark Warner Bros., 2000
----------------------------------------------------------

—Chapter Two—
The Inferi Land


Harry hanya bisa berdiri diam. Pikirannya berpacu. Pandangannya terfokus ke televisi baru Dudley di ruang makan, yang dengan penuh ketakutan sedang menayangkan berita khusus, memotong acara favorit Aunt Petunia “Celebrity Corner”. Uncle Vernon dan Aunt Petunia menonton TV dengan atmosfer kengerian menyelubungi mereka semua. Dudley mengintip dari belakang bahu ayahnya. Wajahnya menyiratkan ketakutan yang sama besar.

“... para ahli belum dapat menyimpulkan apa yang menyebabkan kehancuran misterius yang menerpa kota London dan sekitarnya. Walau dapat dilihat langsung dari liputan McKinsley yang sekarang sedang mengudara di atas London. Silahkan, Saudara McKinsley.”

Terlihat seorang pria pucat bertopi GMTV berbicara keras pada kamera melawan suara helikopter yang berkeliling diatas sisa-sisa kota London di malam yang suram ini.

“Terimakasih, Ben. Dapat kita lihat dari atas sini, apa yang telah menjadi sisa kota London. Saya dapat melihat banyak orang panik yang berusaha keluar dari kota. Hampir semua jalan raya dipenuhi mobil. Laju kecelakaan di London tidak pernah setinggi ini. Tampaknya semua orang panik dan takut akan ketidakmampuan pemerintah mengatasi terror yang menurut sebagian orang—tak terlukiskan. Bagaimana orang bisa tenang, melihat rumah-rumah dan gedung-gedung di kota mendadak runtuh, pohon-pohon tercabut dari akarnya, dan banyak penduduk yang meninggal begitu saja, tanpa ada sedikitpun bekas luka. Kota ini sudah menjadi tanah pembantaian..”

Harry bergabung dengan keluarga Dursley, tidak bisa berkata-kata. Semua anggota keluarga Dursley melihat Harry dengan pandangan aneh, namun tidak mengucap sepatah katapun. Mereka berpaling ke televisi lagi, ketika lelaki bernama McKinsley itu berbicara lagi.

“... oh ya, pemirsa dimanapun kalian berada, kami baru saja mendapat laporan dari bagian Selatan kota, mereka baru saja melaporkan tentang monster-monster besar yang sedang mengubrak-abrik kota. Ya Tuhan, tampaknya... itu... itu raksasa. Darimana muncul monster mengerikan seperti itu!” Kamera lalu diarahkan ke bagian Selatan kota, dimana dari kejauhan dapat dilihat dengan jelas sekumpulan raksasa yang sedang menghancurkan kota dengan jauh lebih efektif dari pada apapun.

“Oh, Vernon. Apa yang harus kita lakukan?” sedu Petunia penuh ketakutan, tangannya menyambar lengan besar Vernon. Namun tampaknya Uncle Vernon tidak mendengarnya.

“Apa yang sebenarnya direncanakan orang-orang di duniamu?” tuding Vernon tajam pada Harry, yang segera sadar Voldemort telah melancarkan serangannya dengan merajalela, melihat tidak ada lagi Dumbledore.

“Ini ulah Voldemort. Aku tak tahu apa sebenarnya yang dia inginkan, tapi aku rasa dia ingin menduduki kementrian sihir. Mengancam dia akan memusnahkan dunia muggle jika Mentri Sihir tidak memberikan jabatannya. Dia juga melakukan ini tahun lalu.”

“Jadi semua ini salah kalian?!” umpat Uncle Vernon. Ludahnya bersemburan. “Kami semua harus menanggung akibatnya karena kementrian bodoh kalian tidak bisa melawan satu orang pe-... penyihir bodoh?” Harry tahu Vernon masih belum bisa mengatakan kata penyihir dengan keras. Namun dia tidak peduli saat ini. Dia juga tidak begitu peduli dengan pendapat pamannya. Dan Petunia juga tampaknya demikian.

“Kita harus pergi dari sini, Vernon. Bagaimana jika raksasa itu sampai ke Surrey?” kata Petunia.

“Tapi kemana kita akan pergi?” tanya Dudley balik.

Uncle Vernon tidak menjawab satupun pertanyaan yang diajukan. Setelah terdiam sebentar, ia membuka mulutnya. Namun, sebelum ia sempat mengeluarkan isi pikirannya, terdengar teriakan dari luar. Sesuatu telah terjadi di luar Privet Drive.

Keempat orang itu bergegas keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi. Para tetangga tampaknya juga sedang melakukan hal yang sama. Harry melihat sekeliling, pandangannya menerawang jauh sampai semua jalan-jalan yang dapat dijangkau matanya. Tongkat sihirnya teracung siap.

Teriakan-teriakan banyak orang masih terdengar samar-samar. Harry memandang ke ujung jalan Privet Drive. Disana ia melihat sekumpulan muggle—yang dikenalnya sebagai pemilik rumah-rumah di Privet Drive—sedang berlari ke arah keluarga Dursley. Lalu sebuah ledakan keras terjadi, dan semakin banyak orang menjerit. Sebuah mobil terlempar ke udara, jatuh terbakar menimpa sebuah rumah petak bertingkat dua. Dan saat itu, Harry bisa melihat dengan jelas apa yang menjadi penyebabnya.

Dengan ngeri, dia melihat kira-kira ada ratusan inferi yang dengan jelas sudah disihir oleh pelahap maut untuk menyerang dan membunuh orang-orang. Berjalan lambat dengan langkah berat, kumpulan mayat hidup itu mulai memasuki Privet drive dan mendekati keluarga Dursley.

“Ya ampun. Apa itu?” jerit Petunia.

“Kelihatannya seperti Zombie yang di video games.” Kata Dudley dengan nada seperti ingin membuat ibunya merasa lebih baik.

“Semuanya, cepat pergi dari sini!” teriak Harry pada orang-orang di belakangnya. Tapi semua anggota Dursley tidak bergerak sedikitpun, entah karena ketakutan setengah mati atau karena mereka belum menyadari betapa bahayanya situasi sekarang. Malah, mereka bertanya balik pada Harry.

“Apa itu, Harry?” tanya Vernon dengan nada lemah, akhirnya.

“Mereka inferi. Mayat yang disihir jadi hidup. Mereka adalah suruhan Voldemort.” Kata Harry tergesa-gesa.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Vernon lagi, melirik tongkat ditangan Harry.

“A.. aku akan mencari orang yang menyihir mayat ini. Dia pasti berada disekitar sini. Lagi pula, inferi tidak bisa membuat mobil terlempar ke atas dan meledak. Pasti itu perbuatan penyihir.”

“Tapi bagaimana jika mereka lebih dari satu orang? Dan mayat-mayat ini.. jumlahnya ratusan..” kata Petunia lebih kepada dirinya sendiri. Harry dapat mendeteksi rasa cemas dari suaranya.

Harry tidak sempat mengatakan apa-apa, ketika seorang wanita tua memanggilnya dari belakang.

“Harry! Harry!”

Harry menoleh. Dia melihat Mrs Figg berjalan terpincang-pincang ke arahnya. Beberapa ekor kucing mengikutinya dari belakang.

“Mrs. Figg.” Sahut Petunia sambil mengernyitkan keningnya. Dia tidak suka dengan kekotoran Mrs Figg, begitu juga dengan kucingnya.

“Harry, aku sudah mengirim burung hantu ke kementrian sihir. Mestinya sebentar lagi akan ada Auror yang datang.” Katanya tanpa mempedulikan Petunia.

“Right.” Kata Harry mengangguk, tapi Uncle Vernon menyelanya.

“Burung hantu? Kementrian sihir? Mrs Figg, jangan-jangan, kau juga...” katanya menunjuk Mrs Figg, yang herannya, masih mengacuhkan keluarga itu.

“Nah, Harry. Aku harus membawamu pergi dari sini. Ayo, kita ke tempat aman.”

“Tidak.” Kata Harry tiba-tiba. Semuanya berpaling melihatnya.

“Harry, apa yang kamu lakukan? Dumbledore menugaskanku untuk menjaga keselamatanmu setiap saat. Aku tidak bisa membiarkan kau disini sekarang, tidak dengan semua inferi ini.”

Harry melihat Uncle Vernon masih terpana melihat Mrs Figg, dan mulutnya dalam diam mengucapkan kata ‘Dumbledore?’. Harry juga melihat kerumunan inferi semakin dekat dan semakin banyak orang yang berlari menjauhinya, meninggalkan semua harta benda dan rumah mereka.

“Mrs. Figg. Tolong bawa keluarga Dursley pergi dari sini. Aku akan menyusul.” Lalu Harry berlari menuju inferi itu, mengabaikan panggilan “Harry!” dari Mrs Figg. Uncle Vernon bergegas memaksa semua keluarganya memasuki mobil mereka. Tampaknya ia sudah bertekad untuk lebih memilih nyawanya dari pada rumahnya.

Harry tidak takut. Ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk melawan para inferi. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, siapakah pelahap maut yang ikut datang bersama inferi ini? Apakah Voldemort datang untuk membunuhnya? Ataukah penyerangan inferi ini hanyalah kebetulan terjadi si Surrey, tempat Anak Lelaki Yang Bertahan Hidup berada?

“Bombarda!” Harry berteriak sambil mengacungkan tongkatnya ke arah para Inferi yang sudah berjarak hanya beberapa meter darinya. Ledakan yang keluar dari tongkat Harry begitu kuat sampai belasan inferi itu terlempar dan terdorong kebelakang, jatuh menimpa mayat-mayat lainnya. Lalu mereka bangun lagi, berjalan lagi dengan tampang mengerikan seakan tidak ada yang mendorong mereka. Hanya saja mayat-mayat itu sekarang mengincar Harry.

Muggle-muggle yang masih belum melarikan diri dari sana, melihat Harry dengan penuh takjub. Harry tahu ia telah melakukan sihir di depan muggle, dan dia tidak peduli, karena dia tahu kementrian sihir sekarang tidak mempedulikan hal itu sekarang, lebih sibuk mengatasi kerusuhan yang disebabkan Voldemort.

Ratusan mayat hidup yang datang bergerombol memadati rumah dan jalan di privet drive kelihatan seperti neraka orang mati. Dudley benar. Ini tampak seperti serangan zombie di malam hari.

“Circulio Flagrate!”

Api merah raksasa menyembur keluar dari tongkat Harry, kemudian bergerak seperti ular dan melingkar mengelilingi Harry sampai 3 kali. Harry menghentakkan tongkatnya, dan dia dikelilingi cincin api raksasa yang mengikuti dia kemana pun dia pergi. Malam itu mendadak terasa terang dan panas. Harry mengingat dengan jelas apa yang dilakukan Dumbledore di gua pada waktu itu. Inferi takut akan cahaya. Mereka takut akan api.

Harry melihat inferi itu menjauhi Harry, tidak berani datang terlalu dekat dengan lingkaran api harry. Memanfaatkan hal ini, Harry berlari ke tengah-tengah ratusan Inferi itu. Lingkaran apinya mengikutinya. Lalu Harry melambaikan tongkatnya membentuk lingkaran diatas kepalanya. Ia berteriak. Mantra itu dengan cepat bekerja.

Lingkaran Api itu membelah dan menyembur menuju inferius-inferius di dekatnya. Harry melihat banyak inferi yang terbakar, dan mayat-mayat itu seperti tersiksa dan tidak bisa mematikan serangan api Harry. Akhirnya mayat-mayat itu menelungkupkan tubuhnya diatas tanah. Terbakar hidup-hidup—atau mati.

Entah dari mana, tiba-tiba sebuah sinar merah menyerang Harry. Harry menghindar tepat waktu.
“Mati kau Potter!” terdengar sebuah suara kasar, namun tidak asing.

Harry tersenyum. Rencananya berhasil. Ia telah menarik perhatian pelahap maut yang datang bersama inferi itu, yang kemungkinan besar juga menyihir dan memerintahkan inferi itu. Harry melihat dari celah di antara lingkaran apinya, sosok seorang penyihir bergerak mendekati Harry. Sampai jarak tertentu, Harry akhirnya mengenalinya.

“Wormtail.” Sahut Harry dengan nada penuh kemarahan. Inilah dia, pengkhianat orang tuanya, penyebab Sirius dipenjarakan selama dua belas tahun, dan penyebab Voldemort bangkit kembali.

“Bodoh sekali kau, Potter. Kupikir akan sulit mencarimu di antara muggle-muggle bodoh ini. Tapi seharusnya aku tahu nyalimu memang besar. Aku tahu kau tidak akan lari begitu saja dari semua kekacauan ini, dan aku berterima kasih untuk itu.” Sahutnya keji. Suaranya masih berciri khas cicit tikus setelah selama ini.

“Kau datang untuk membunuhku?” tanya Harry , tongkatnya teracung siap. “Kupikir Voldemort akan menghabisiku sendirian.”

“Pangeran Kegelapan tidak tahu aku ada disini, Harry. Beliau tidak melihatku sebagai aset yang berharga lagi, belakangan ini. Menyuruhku sembunyi di rumah Snape! Aku tahu aku harus menunjukkan kemampuanku padanya, maka aku menyusun rencana ini. Aku mengumpulkan mayat-mayat selama setahun ini, untuk menjadi pasukanku. Dan aku akan membunuhmu, Harry! Dan Pangeran Kegelapan akhirnya akan mengakuiku sebagai abdinya yang paling setia, dan yang paling berguna.”

“Silakan mencoba. Jika kau bisa!” Harry menembakkan sinar merah ke arah wormtail tiba-tiba. Lingkaran apinya padam seketika.

Wormtail menangkis serangan Harry dan tertawa. Harry tahu dia tidak boleh menganggap remeh Wormtail, bagaimanapun juga, dialah orang yang telah berhasil mengutuk dua belas orang dan membuat ledakan tanpa Sirius sempat mencegahnya.

Wormtail mengangkat tangan peraknya dan mengirim kutukan mematikan ke arah Harry. Kutukan itu meleset dan menghantam rumah Dursley sampai ambruk. Harry melempar tubuhnya ke tanah, berguling dan mengarahkan lagi tongkatnya pada Wormtail dan bergumam ‘Levicorpus!’ dalam pikirannya.

Berhasil! Wormtail terbalik, tergantung dengan satu kakinya tertahan di tengah udara. Tapi tongkat Harry mendadak terbang dari genggamannya. Ternyata Wormtail telah menyucuti senjata Harry tanpa disadari Harry. Harry berlari untuk mengambil tongkatnya. Sementara itu Wormtail merapalkan mantra dengan melambaikan tongkatnya. Lalu terdengar bunyi POP! Dan Wormtail berubah menjadi seekor tikus yang terjatuh ke tanah. Akhirnya dia terlepas dari kutukan itu.

Melihat itu, Harry berlindung di belakang sebuah tembok. Dia tidak akan bisa menang melawan Wormtail tanpa tongkatnya.

Wormtail muncul tiba-tiba di depan Harry, seakan dia tahu benar dimana Harry bersembunyi. Refleks Harry menggarap pasir dan kerikil dengan tangannya dan melemparkannya ke wajah Wormtail. Wormtail berteriak dan menutup matanya yang kemasukan pasir. Mantra yang diluncurkannya pada Harry meleset. Harry menendang Wormtail dengan kedua kakinya. Tongkat Wormtail terlepas dari tangannya.

“Ini untuk ayah dan ibuku!” Sahut Harry sambil meninju wajah Wormtail. Pencarian tongkat pun terlupakan. Harry hanya ingin menyakiti Wormtail separah mungkin.

“Ini untuk Sirius!” Harry menumbuk wajah jelek Wormtail sekuat tenaga. Namun pada saat bersamaan, tangan besi Wormtail dikalungkan di leher Harry.

Harry panik. Dia tidak bisa bernafas. Tangan itu mencengkram begitu kuat sampai Harry menyangka lehernya akan patah dan dia akan mati tanpa merasa sakit.

“Selesai sudah, Harry! Kirim salamku pada James dan Sirius!”

Lalu mendadak, Wormtail terlempar. Tubuh Harry entah bagaimana telah menghasilkan suatu kejutan listrik yang sangat besar. Tangan Wormtail terlepas dan Harry terjatuh dan terengah-engah mengambil nafas.

Sedetik kemudian, tiga inferi menangkap Harry dari belakang. Mereka menarik Harry yang sudah kehilangan tenaga. Tampaknya mayat-mayat itu akan mencabik-cabik tubuh Harry. Diatas ketidakberdayaannya, Harry melihat akhir hidupnya mendekat. Wormtail mendekatinya dengan tongkat teracung tepat padanya. Harry terpojok.

“Avada Ke..”

“Impedimenta!”

Sekali lagi Wormtail terlempar. Harry berpaling dan —harapannya tiba-tiba meluap— dia melihat Hermione Granger berlari ke arahnya. Sinar terang muncul dari ujung tongkatnya, membuat wajahnya yang penuh ketakutan terlihat jelas. Lupin dan Ron muncul di belakang Hermione. Ron menggunakan tongkatnya dan mengirim sebuah mantra dari jauh. Harry merasa inferi-inferi itu terlepas darinya. Ron dan Hermione menghampirinya, membantu Harry berdiri.

“Hey.” Sapa Harry sambil nyengir pada kedua sahabatnya, yang memandang Harry dengan takut. Tubuh Harry dilumuri keringat, tanah dan darah.

“Apa yang kau pikirkan melawan ini semua?” tanya Hermione sebal. “Kau hampir mati, Harry.”

“Well, kan ada kamu yang menyelamatkan nyawaku, Hermione. Thanks Ron.”

Ron nyengir dan takjub melihat banyak mayat yang terbakar ditanah. Hermione mulai berbicara lagi tapi Harry tidak mendengarnya. Ia melihat Lupin mendekati Wormtail dengan tongkat teracung tepat ke jantungnya.

“Halo, Peter!” Harry bisa melihat ekspresi wajah Lupin ketika melihat Wormtail.

“Oh, Remus... temanku.”

“Kau bukan temanku, pengkhianat. Kau telah membuat Voldemort kembali, dan kali ini aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Remus.. maafkan aku. Kau tidak tahu apa yang harus kami lakukan untuk bertahan hidup.. Sebagai pelahap maut..” Tiba-tiba Wormtail bertransformasi menjadi tikus dan mencoba untuk kabur.

“Awas!” teriak Harry pada Lupin, yang ternyata sudah memperkirakan hal itu.

Wormtail kembali menjadi manusia lagi, dia tersungkur di tanah dan menatap Lupin putus asa...

“Avada Kedavra!” sahut Lupin sambil memandang mata Wormtail dengan penuh kesedihan.

Wormtail tumbang. Tangan besinya menghantam tanah sama kerasnya dengan tubuhnya. Harry, Ron, dan Hermione memandang Lupin dengan kaget. Bersamaan dengan itu, semua inferi di sana ikut jatuh dan kembali tak bernyawa. Sihir di tubuh mereka telah ikut musnah.

Keheningan setelah kematian Wormtail berlangsung cukup lama. Kemudian Lupin berbalik dan berkata singkat pada Harry, “Ayo, Harry. Kita pergi.”

Harry menurut. Ron mengikuti Harry dari belakang. Matanya menatap sekilas rumah Dursley yang sudah runtuh sebagian.

“Blimey, Harry. Lihat rumah pamanmu!”

Harry memandang rumah itu sekilas dan membayangkan apa reaksi Uncle Vernon ketika ia kembali ke rumah hancurnya dengan ratusan mayat di pekarangannya.

Mau tidak mau, Harry tersenyum juga.

--------------------------------------
to be continued...

DH - Fight of The Prince

Rating: kayaknya PG-13 (untuk beberapa kekerasan dan siksaan)
Disclaimer: Semua punya JKR kecuali ide cerita.
Character: Harry Potter, Ron Weasley, Hermione Granger, Neville Longbottom, Lord Voldemort, Bellatrix Lestrange, Severus Snape.


Harry Potter, names, characters and related indicia
are copyright and trademark Warner Bros., 2000

----------------------------------------------------------------


Author's note : Ini adalah chapter kedua terakhir dalam FF Harry Potter and the Deathly Hallows versi gw. So bakal ada chapter-chapter berikutnya nanti (mungkin Chapter-chapter sebelumnya atau lanjutannya)

----------------------------------------------------------------

---Chapter kedua dari terakhir---
Fight of the Prince


Tubuh Hermione terangkat keatas dengan gemulai, seakan dalam gerak lambat Harry melihatnya. Dengan penuh kengerian, Harry teringat akan Katie Bell di Hogsmeade lebih dari setahun lalu. Belum sempat Harry mencerna ketakutannya, tubuh Hermione kemudian terlempar keluar dari pandangan seakan ditelan oleh sinar merah yang dipancarkan dari tongkat sihir Bellatrix.

“HERMIONE!!!” Ron berteriak parau. Dia bangkit dan menyangga tubuhnya dengan kedua kakinya yang terluka. Dia mengacungkan tongkatnya dengan garang dan gegabah ke arah Bellatrix, seperti seekor banteng yang mengamuk. Ron tidak menyadari, tampaknya, bahwa Alecto sudah juga bangkit dan sedang menolehkan tongkatnya pada Ron.

“Ron! Awas!” Neville berlari mendekati Ron. Tongkatnya teracung siap di tangan kirinya. “Oppugno!”

Sekumpulan silir tumbuhan liar menerjang pelahap maut itu sebelum sempat mengutuk Ron, lalu mengikatnya dengan liar jauh lebih kuat daripada Devil’s Snare. Ron tampaknya tidak menyadari Neville baru saja menyelamatkan dirinya. Harry melihat ia berlari menghampiri tubuh Hermione yang sekarang tergeletak diam.

“Hermione! Oh, Tidak! Hermione!” Ron mengguncang-guncang bahu Hermione tanpa hasil. “Ennervate! Hermione! Bangunlah.”

Harry yang sedang berada sepuluh meter dari tubuh Hermione tidak bisa berpaling terlalu lama. Kutukan yang diluncurkannya pada Amycus berhasil terelakkan. Amycus tersenyum licik.

“Cuma ini kah kemampuanmu, Potter? Pangeran Kegelapan selalu mau menghabisimu sendirian, semula aku kira kau lebih ‘spesial’ dari penyihir biasa. Ternyata kau tidak lain hanya seorang penyihir bodoh yang mencoba menyerang markas Pelahap Maut dengan bantuan segerombolan anak sekolahan. Langkah bodoh, Potter. Kau sama saja dengan bunuh diri!” Ia mengerahkan kutukan kematian pada Harry, yang sudah siap dengan serangan Amycus. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan Amycus agar bisa mengecek Hermione atau membantu Neville yang sudah mulai bertarung melawan Bellatrix.

Harry menghilang dari hadapan Amycus bahkan sebelum dia selesai mengucapkan mantra pembunuhnya. Harry muncul diatas tumpukan bangunan tidak jauh di sebelah Amycus yang ternyata tidak menyangka Harry akan ber-Apparate. Harry mempergunakan kesempatan itu sebaik mungkin.

“Stupefy!” seru Harry. Amycus terlempar dan tumbang tak sadarkan diri. “Kau terlalu banyak bicara.”

Tanpa membuang waktu lagi, Harry berlari menuju Hermione dan Neville, yang jatuh hilang keseimbangan karena menghindari mantra berwarna kuning yang misterius milik Bellatrix.

“Hahaha... Kau pikir kau akan bisa mengalahkanku dengan kekuatan lemah seperti itu Longbottom?” Seru Bellatrix meremehkan ketika dia menghancurkan silir tumbuhan Neville dengan tongkat sihirnya yang dipegang erat dengan kedua tangannya. Neville bangkit lagi dengan nafas tersengal-sengal. Muka bundarnya mengerut penuh kebencian dan kemarahan.

“Expelliar...” Mantra Neville ditepis Bellatrix dengan mudah. “Kau tidak akan bisa mengalahkanku, bodoh! Crucio!”

“Arrrgggghhh!! Arrggh!”

Untuk kedua kalinya, Neville mendapat kutukan yang sama dari Bellatrix. Teriakan Neville sepertinya telah menyadarkan Ron akan prioritasnya. Membalikkan tubuhnya, dia segera berteriak.

“Stupefy!”

Hanya saja, Harry juga berteriak “Expelliarmus!” pada Bellatrix bersamaan dengan Ron. Dua sinar yang melaju cepat menuju Bellatrix membuatnya kaget. Ia berhenti menyiksa Neville dan menyahut “Protego!”. Mantra itu berhasil menangkis pembius Ron, namun sesaat kemudian tongkat sihir Bellatrix terlempar melewati kepalanya sendiri. Terperangah, ia berlari meraih kembali tongkat sihirnya. Namun Ron tidak begitu saja membiarkan Bellatrix lolos. Seakan dia juga kehilangan tongkat sihirnya, Ron menerjang Bellatrix dengan kedua tangannya.

“Ron!” Harry terpana menyaksikan perkelahian Muggle itu. Jika keadaan tidak seserius sekarang, Ron akan terlihat lucu sekali. Tapi tampaknya Ron hendak melukai Bellatrix sampai separah mungkin karena telah menyihir Hermione.

“Katakan apa yang kau lakukan pada Hermione! Pelahap Maut busuk!” seru Ron sembari membabakbelurkan Bellatrix yang merintih kesakitan. Harry mengacungkan tongkatnya dengan hati-hati pada Bellatrix, bermaksud untuk mengamankan Bellatrix, tapi Ron tampaknya tidak akan berhenti. Di luar dugaan Harry, Ron terlempar seolah-olah dia menerima sengatan listrik dari tubuh Bellatrix, tepat pada saat Bellatrix meraung “Minggir!”

Harry yang takut Bellatrix akan ber-Apparate, segera mengacungkan tongkatnya. Sinar merah keemasan yang meliuk seperti ular menjalar cepat membentuk rantai dan mengikat Bellatrix tetap di tempatnya. Ikatan anti-Apparate itu tampaknya berhasil mengamankan satu-satunya pelahap maut yang masih sadar di markas itu.

Tanpa melepaskan pandangannya pada Bellatrix yang menggelepar-gelepar, Harry berkata pada Ron, “Kau tidak apa-apa?”

Ron menggeleng. Ia lalu menghampiri Hermione lagi. Harry membantu Neville untuk berdiri.
“Dia masih bernafas. Atau kukira begitu.” Ron meraba denyut nadi Hermione dengan penuh kecemasan terlukis di wajahnya.

“Ron, bawalah Hermione ke Spinner’s End. Snape ada di sana mengobati Malfoy. Dia akan tahu apa yang mesti dilakukan untuk menyadarkan Hermione. Aku akan mencari tahu dimana Voldemort sekarang.” Sahut Harry sambil menatap Bellatrix.

“Baiklah.” Ron merangkul Hermione, bersiap-siap untuk ber-Apparate bersamanya, ketika Harry berteriak,

“Neville!”

Neville sudah melepaskan dirinya dari pegangan Harry. Ia menuju Bellatrix, yang menatap balik dengan kadar kebencian besar yang sama.

“Crucio!” seru Neville mengacungkan tongkatnya tepat pada Bellatrix, yang mulai berteriak kesakitan. Suaranya mengaung membuat bulu kuduk berdiri.

“Neville!!! Kita butuh dia hidup-hidup!” Harry berteriak pada Neville. Ia tahu benar kerongkongannya sakit bukan main.

“Aku tahu, toh dia tidak akan mati.” Kata Neville dengan nada penuh kesakitan.

“Neville, hentikan! Ini kutukan yang ilegal!” kali ini Ron yang berbicara, tampaknya tindakan mendadak Neville telah membuatnya menunda ber-Apparate.

“Biarkan aku, Harry!” seru Neville yang terus mengacungkan tongkatnya pada Bellatrix, yang sekarang menggelepar-gelepar di tanah sambil berteriak sampai ke ujung batas suaranya. “Dia pantas menerima ini.”

Harry tahu dia harus menghentikan Neville yang terbawa emosi, sebelum Bellatrix kehilangan kewarasannya dan keberadaan Voldemort ikut hilang bersamanya.

BAM! Tubuh Neville terangkat dan terbalik seakan ada tangan besi besar menggantungnya pada mata kakinya. Tongkat Neville terjatuh dan suara Bellatrix mengecil menjadi rintihan.

“Lepaskan aku, Harry!”

“Maaf, Neville. Aku terpaksa. Kau tidak membe..”

“Perempuan ini membuat Mum and Dad menjadi gila! Perempuan ini menghancurkan hidupku! Aku tidak akan berhenti sampai dia kubunuh. Kau tidak tahu bagaimana rasanya melihat ibumu sendiri tidak mengenalmu, Harry. Kau tidak tahu...”

Harry terdiam melihat Neville yang hampir menangis sambil tergantung di udara. Harry berkata dalam pikirannya, “Liberacorpus!”, dan Neville jatuh tersungkur. Mukanya menghadap tanah. Ia menumbuk tanah dengan kepalannya.

“Neville... Aku tahu apa yang dia lakukan pada orangtuamu. Tapi kita masih butuh dia untuk Voldemort.” Sahut Ron tiba-tiba. Dia mendekati Neville dan membantu dia berdiri. Harry memberikan kembali tongkat Neville padanya, tahu setelah ini, Neville tidak akan bertindak gegabah lagi. Lagipula, Harry yakin Neville tahu betapa pentingnya menyingkirkan Voldemort.

“Dimana Voldemort?” tanya Neville kasar pada Bellatrix.

“Ha.. ha.. ha..” Perempuan itu tertawa licik walaupun nafasnya tersengal-sengal. “Kau boleh bertanya kepadaku berapa kalipun kau suka, aku tidak akan memberitahumu. Kalian semua akan mati di tangan Pangeran Kegelapan. Penyihir-penyihir bodoh.”

“Jika Voldemort tidak ada di markasnya, dimanakah dia? Kemanakah Lupin dan Sirius pergi?” tanya Harry keras, terdengar lebih kepada dirinya sendiri daripada ke orang lain.

“Sirius berkata padaku kalau dia dan Lupin sudah menemukan lokasi Nagini, dan dia akan menghancurkan Horcrux itu. Aku ragu Voldemort berada jauh dari ular itu. Jika mereka menemukan Nagini, maka mereka menemukan Voldemort.” Kata Ron serius.

“Iya, aku tahu itu Ron. Tak kusangka Sirius tidak melibatkanku dalam hal sepenting ini.” Sela Harry.

“Harry, kau tahu Sirius tidak mau kau mengejar Voldemort sendirian.”

“Nah, dia salah lagi, karena aku pasti akan mengejar Voldemort. Aku tidak mau Sirius meninggalkanku lagi.”

“Haha.. tak kusangka Black bodoh itu bisa selamat dari lembah kematian. Seharusnya aku menggunakan Avada Kedavra saat itu.” Kata Bellatrix tiba-tiba.

“Neville, ambilkan veritaserum dari kantong Hermione. Kita akan butuh itu.” Sahut Harry dengan tegas. Neville bergegas menghampiri Hermione. Ron menyusulnya.

Kemudian beberapa kejadian terjadi begitu cepat, bekas luka Harry seperti mau terbelah karena sakitnya. Harry berlutut ditanah. Tersungkur dengan kedua tangan menyentuh keningnya. Pandangannya menjadi kabur, tapi dia bisa melihat sesosok penyihir dengan kekuatan hitam kuat muncul mendadak tidak jauh dari tempat Neville dan Ron.

“RON!!” teriak Harry.

Voldemort menghempaskan Neville dan Ron dengan satu belaian tongkatnya. Mereka berdua terlempar menumbuk dinding rumah beton dan pingsan. Mata Harry melihat kedua temannya dengan ngeri. Namun, dia juga dapat melihat kalau Voldemort sedang terluka. Darah mengalir dari dada dan kedua kakinya. Dan dia tetap sama berbahayanya. Dimana Sirius? Dimana Lupin? Harry tidak melihat Nagini. Voldemort tampaknya kembali ke markas seorang diri.

Mata Voldemort dengan cepat menyapu ruangan. Dia melihat markas pelahap maut yang sudah hancur, kedua Carrow sudah kalah. Satu terlilit tanaman ganas, satu pingsan tersihir. Dia melihat Bellatrix yang terikat dan berkata “Tuan, kau datang.”

Lalu dia melihat Harry.

Voldemort menembakkan sinar merah kuat ke arah Harry tanpa basa basi. Harry meraih tongkat Bellatrix dan berseru “Protego!”

Mantra pelindung Harry menahan Harry dari akibat terburuk yang dapat ditimbulkan kutukan Voldemort. Walaupun dengan mantra pelndung, Harry terdorong ke belakang dan ia sempat berjungkir balik sebelum wajahnya menyentuh tanah.

Voldemort tergopoh-gopoh mendekati Bellatrix dan melepaskan ikatan emas yang tadi diciptakan Harry. Bellatrix terbebas.

“Kau mengecewakanku lagi, Bella. Markas Pelahap Maut...”

“Tuan, mereka muncul tanpa kami sadari... Amycus, dia..”

“Mereka cuma anak 17 tahun! Biar kuperlihatkan padamu bagaimana membereskan mereka.”

Harry tahu Voldemort akan membunuh Ron atau Neville dulu. Ia bangkit dan menyahut “Stupefy!”

Mantra Harry meleset hanya beberapa senti dari Voldemort. Namun itu cukup untuk membuat Voldemort berpaling pada Harry. Tongkat Voldemort kelihatan seperti memanjang dan bersinar hijau terang. Lalu suatu kumpulan sinar seperti cambuk hidup menyerang Harry. Bersamaan dengan itu, Voldemort menghilang dan muncul di atas Harry sama seperti ketika ia melawan Dumbledore dulu.

Harry melambaikan tongkatnya.

“Protego!” Mantra itu tidak bisa menolongnya. Tubuh Harry bagaikan diiris puluhan pisau tajam. Cambuk itu menyayat tubuh Harry dengan tiada ampun. Harry dapat merasakan darahnya memancar keluar dari setiap inchi tubuhnya. Tapi dia tahu bahaya yang sebenarnya ada diatasnya, ketika Voldemort muncul dengan mendadak lima meter diatasnya. Harry tidak bisa melakukan apapun. Tidak ada Fawkes atau Dumbledore yang dapat menolongnya sekarang. Ia akan mati seperti ini, setelah semua perjuangan Dumbledore.

Tiba-tiba terdengar teriakan di ujung sana. Harry tahu suara itu.

“Impedimenta!” Voldemort terdorong mundur.

Harry berpaling dan melihat Hermione berdiri dengan nafas berat. Tongkat Hermione teracung, namun ia kehilangan kekuatan dan jatuh kembali.

Voldemort kembali datang beraksi. Harry yang sudah lemah mengangkat tubuhnya dan tongkat sihir milik Bellatrix. Menggunakannya, ia berteriak “Sectumsempra!”

Voldemort menangkis sayatan pisau kasat-mata Harry. Lalu sebuah sinar merah mendorong jatuh Voldemort. Harry berbalik untuk melihat siapa yang membantunya.

“Minggir Potter!”

Snape berlari ke arahnya. Voldemort berdiri dan siap melawan Snape. Snape menghilang dan muncul dengan sangat cepat di sekeliling Voldemort. Setiap kali dia muncul, sebuah sinar menyerang Voldemort.

Voldemort menangkis beberapa sinar itu dan kemudian menghilang. Snape berdiri tenang melihat ke sekeliling. Suasana bergeming. Bellatrix hanya bisa berdiri melihat semuanya tanpa tongkat sihir.

Lalu dari langit yang gelap, mendadak muncul lima bayangan hitam yang menyerupai asap. Berbentuk seperti jubah terbang, kelima bayangan itu datang mengepung Snape dari segala arah.

“Inilah bayaran seorang pengkhianat, Snape!” terdengar suara Voldemort entah dari mana.

Snape tidak terdiam. Ia mengangkat tongkatnya vertikal ke langit dan berseru dengan suara tanpa ketakutan.

“Expecto Patronum!”

Seekor elang raksasa keluar dan menyapu semua bayangan hitam itu. Semuanya begitu menyilaukan. Harry tidak bisa melihat dimana Snape, apalagi Voldemort.

Lalu Harry mendengar Voldemort berkata, “Ayo, Bella.” Harry berpaling cepat ke arah Bellatrix berdiri, tidak jauh dari tempat Neville tadi terlempar. Neville dan Ron tidak ada di sana lagi. Neville sedang mencegah Bellatrix ber-Apparate, namun Voldemort muncul di depan Neville dan berseru, “Avada Kedavra!”

Ron melemparkan diri mendorong Neville. Kejadiannya sangat cepat. Harry melihat tubuh Ron terlempar seperti Cedric Diggory. Harry tidak dapat mempercayai matanya.

“RON!!! RON!!”

Harry berlari mengejar Voldemort, tapi Voldemort telah ber-Apparate bersama Bellatrix.
Mata Hermione terpaku pada tubuh Ron yang terhampar ditanah.

“Ron?” sahutnya pelan dan penuh ketakutan.

Neville mengangkat tubuhnya berdiri. Dia melihat Ron dengan penuh rasa bersalah. Harry melemparkan tubuhnya ke sisi Ron. Sesaat kemudian, Hermione melakukan hal yang sama. Wajah Ron menyiratkan ketakutan yang mendalam. Tapi matanya sudah kosong.

Harry tidak mau mempercayai semuanya. Ron tidak boleh mati. Ron tidak boleh mati.
Tapi Ron tidak bergerak lagi. Dia berbaring dengan mata terbuka. Hermione memeluk tubuh Ron dan tidak berhenti mengucap namanya.

“Oh Ron. Ron... Jangan tinggalkan aku. Ron...”

Harry berlutut di samping Ron. Tertunduk.
---o()O()o---
to be continued...

Thursday, March 22, 2007

Harry Potter and The Thing... You Know... The Thing

Title: Harry Potter and The Thing... You Know... The Thing
Rating: PG -13, for a strange thing you should find out later
Genre: Adventure, Comedy, I don't know...
Language: English
Timeline: Ten months after Book 6
Universe: This is definitely an Alternate Universe.
Disclaimer: All Harry Potter characters belong to JK Rowling and Warner Bros (although I twisted them a lil bit)Title credits goes to myself.
-------------------------------------------------------------------

It had been about ten months, seven days, four hours, twenty five minutes, thirty three seconds, and twenty six milliseconds since Dumbledore’s death. Everything had changed. But yet, Lord Voldemort was still at large. The killings had stopped, somehow. Nobody had the slightest idea of why. Harry sat alone on the rusty chair in Hog’s Head, persistently kept drinking the seventh goblet of Fire Whisky (with some ice, actually). His head was spinning around. Harry had never been so hopeless in his entire life. His quest to destroy Voldemort’s Horcruxes had been a dead end. Literally. His two best friends, Ron and Hermione, had left him alone, with reasons Harry would never understand. Ron said that he would rather join the Weird Sister than helping Harry conquering Voldemort, which he did. Ron wasn’t even a “sister”. What had happened to him? And Hermione was a different case, too. He met Viktor Krum that day, who eagerly asked her to marry him as soon as he learned that Hermione’s dad leaving her with a large amount of gold, I mean, dollars. They got married right away, leaving both Harry and Ron in a mind-numbing shock.

Harry felt so awful that he couldn’t resist it anymore. He needed to let it out. With the top of his lung, he sang,

My loneliness is killing me (And I..)

I must confess I still believe…

“Still believe…!!!” shouted the barman in front of him. Harry woke up. He sat again and looked at his goblet, avoiding the gaze from the barman who seemed to find Harry extremely interesting.

If Harry was to journey alone, he didn’t mind. It’s his wish from the beginning. And he also knew that those two had given up their hope in finding the Horcruxes and Voldemort, so he wouldn’t blame them. But Harry wished to have more help from the other members of the Order, or ex-member for what it’s worth. Tonks, Arthur, Mad-Eye, and even Lupin had been as much help as Ron and Hermione. Harry remembered the countless times when he approached them, asking for hints about the Horcruxes, R.A.B, or the whereabouts of Snape or Voldemort. All they said was the same dull thing.

“Find the Thing.”

Find the Thing? Well… Thanks a lot. It was a VERY clear hint! Totally not vague at all!

Harry took another sip from his goblet. Then a snakelike fire came out of his nostril, and a mysterious chemical gas came thru his butt. Harry fell into his hands, trying to sleep. He didn’t know what to do from there. It’s over. Voldemort had won.

Out of nowhere, a man with a veil wrapped all over his head appeared from behind. He then sat next to Harry and ordered something to drink. Harry didn’t care who that man was, but yet he looked up and catch a glimpse of that man’s face. Merlin’s Beard! It’s Dumbledore!

“Professor?” said Harry in a low voice.

That man turned his head to face Harry. He had the old crooked nose and the half-moon spectacles on his face. It’s no wrong. He’s Dumbledore!

“Ow.. Harry! Blimey Harry! I… I… what are you doing here?” Dumbledore seemed a little shy, his expression was as if he’d been caught doing something wrong.

“What? What about you? I mean, shouldn’t you be like….dead?” replied Harry in such an astonishing voice.

“Well.. that one was a fake. I mean, the death. Snapey did curse me with Avada, but I could block that spell easily, Harry. Don’t underestimate my intelligence.”

“What? I don’t. I .. but....Snapey?” Harry cast a look that was… well.. indescribable. “But what about the body? On the ground?”

“That was someone else’s corpse. I polijuiced it.” Said Dumbledore, grinning.

“What?? And the locket?” asked Harry. “The fake locket I took from you? Was that a fake as well?”

“What? Yeah. It was. This locket here.. is the real one.” Harry saw a locket that was hung around his neck as a necklace. “Turned out it wasn’t a horcrux after all. I found a note within it. This locket was concealed as a future gift from Lord Voldemort to someone he loved.”

As Harry said nothing, stunned, Dumbledore went on, “Look, I found a love letter inside it.”

Dumbledore opened the letter and read it out loud.

“Dear my love. I know it’ll be long before I can convince you my true love. But I save this locket as a gift for you, so you can really understand how much you mean to me. I love you. Lord Voldemort.”

Harry looked at Dumbledore with an opened mouth. But then he struggled to continue asking.

“But what? Why did you have to die? Why didn’t you help me? I thought we’re in this together!” demanded Harry.

“We were. But I’ve retired, Harry. I’m an old man. I can’t fight no more. It’ll be your job to finish him.”

On this, Harry gave him a sad look.

“I can’t, Professor! No one would help me. I don’t know what to do. Please, tell me what to do.” begged Harry hopelessly.

“Harry, listen to me. I’m going to tell you the most dangerous secret of Lord Voldemort. This will help you to destroy Voldemort in the end.”

“What? What?” asked Harry the most eagerly. This was what he had hoped for a long time. A helping hand from Albus Dumbledore.

“You should find the thing, you know, the thing.” answered Dumbledore in a very serious tone.

“WHAT THING?!” Harry began to lose it.

“That thing, you know.. that thing…” insisted Dumbledore.

“But I don’t know! What thing?!” cried Harry. He was even more hopeless than before.

“If you don’t know, I can’t help you.” said Dumbledore flatly.

“Well. Then I guess you can’t help me after all.” said Harry as he turned his back on Dumbledore. He started to walk out the door. “I give up. I don’t wanna do this anymore.”

As Harry reached the door, he heard a lament came from nowhere. A Phoenix’s Lament. It was eerily played, and Harry thought that he caught a familiar music out of it. It’s like he knew, like someone was singing the lament inside him…

I can’t live…. if living is without you…

I can’t live…. I can’t live anymore….

I can’t live…. if living is without you…

I can’t give… I can’t give anymore…

Despite the strong Mariah Carey’s song, Harry went on. He left Hog’s Head. He left Dumbledore. He left everything.

***


It was night. Harry stood alone in front of his parent’s tomb in Godric's Hollow. The graveyard’s empty. The wind was strong. It blew Harry’s beard which started to look like Osama bin Laden’s.

“Hello Harry.”

Harry turned around abruptly. Voldemort was standing alone in a black cape. His eyes were gleaming with pleasure Harry could never understand.

“Voldemort.” said Harry calmly. “You must be careful. There are people out there hunting your horcruxes down.” said Harry sarcastically.

“Horcruxes? Do you mean this?” and then he drew six objects from his pocket. There were a Barney’s doll, a green shirt, a Dragon Ball comic, a N 93i Nokia cell phone, and two copies of Don Brown’s Da Vinci Code. Harry looked at the two novels and confused.

“Oh, that’s my favourite, you know…” said Voldemort after realizing what Harry was looking at. “I love Robert Langdon.”

“What about the diary? The Gaunt Ring? The snake?” demanded Harry.

“Oh, those were decoys.” said Voldemort grinningly.

“Are you here to kill me?” asked Harry indifferently.

“Kill you? Of course not.” said Voldemort in a shock.

“What? Torture me?”

“No.”

“Kick me?”

“Nope.”

“Bite me?” said Harry terrifyingly. Now he’s scared.

“I’m not going to do anything to you. I just wanna talk to you.” explained Voldemort.

“Well, let’s talk.” Harry turned his back on him.

“I.. I .. er I’m sorry I had to kill Lily Potter, Harry. I kinda had to. The prophecy stated so..”

“I know what the prophecy said. So you can just finish your job.” interrupted Harry.

“It’s not the prophecy. What you heard in Dumbledore’s office was a fake.”

“What?” snapped Harry astounded.

“Yeah… Er.. Trelawney actually said, ‘The Dark Lord shall mark him as his soulmate, but he will have power the Dark Lord knows not... and either must die at the hand of the other for neither can live while the other refuses...’

Harry was incredibly stunned. He never would have guessed what the real prophecy was.

“Does this mean…”

“Yes, Harry. You are my soul mate. I have been loving you for ages, watching you grow up. Today, the time has come. See?” He dropped down the six Horcruxes and destroyed them all in a flick of a wand. “I would give you my life. This is how much I love you.”

And to Harry’s surprise, Voldemort began to sing.

First I was afraid, I was petrified…

I kept thinking I could never live without you by my side…

But then I spent so many nights…thinking how you did me wrong

I grew strongI learned how to carry on

Harry couldn’t help it. He couldn’t resist anymore. Instinctively, he followed.

So now you’re back…

From outer space…

I just walked in to find you herewith that sad look upon your face

Weren’t you the one who tried to hurt me with goodbye

Did you think I’d crumble?

Did you think I’d lay down and die…?

And Voldemort replied Harry’s melodious tune.

Oh no I…

I will survive…

But then Voldemort stopped suddenly as he saw Harry’s face. Harry was laughing so loud. His finger was pointed at Voldemort, who stood still, enormously confused.

“Oh man… Oh man.. I’m just messing with you man..!!” cried Harry, still laughing.

Voldemort cast him a sad and disappointed look.

“Why? I even prepared a gift for you, Harry.”

Harry didn’t hear, for he couldn’t stop laughing. His tears were running down his cloak then.

“I can’t be with you, man! Sorry dude, but I love a woman. I love Ginny.”

And so the words hit Voldemort strongly and painfully. He grabbed his left chest. His face reflected pain and sorrow. Voldemort collapsed. He shook uncontrollably and then he’s still. Who would’ve thought Voldemort die for a heart attack?

Harry watched him still for a while. Poor Vol-Vol. The real prophecy was right, after all. Either must die at the hand of the other for neither can live while the other refuses. It was Harry who killed Voldemort. It was the thing. It was love.

THE END

Sunday, April 23, 2006

Third Story : On The Sixth

On The Sixth



Pukul 06:06 p.m.

Suara itu begitu kerasnya sampai membuatku berpaling ketakutan. Aku segera melayang di atasnya, ingin melihat siapa kali ini yang bernasib buruk. Tapi panas sekali disana, aspal di depanku tampak berair dimataku, membuatku semakin gerah. Jalan ini biasanya bersih dan damai, tidak ribut. Tapi sekarang pecahan kaca tersebar dimana-mana, dan bahkan sebuah mobil sedan yang penyok dan terparkir ceroboh di trotoar tidak bisa mengalihkan pandanganku pada seorang gadis yang tergeletak diam di tengah jalan. Darah menetes di pelupuk matanya yang tertutup. Ah, dia rupanya yang bernasib buruk.
Aku terbang menjauh. Aku benci karena aku bisa melihat segalanya. Dunia ini sudah terlalu kecil, bahkan untuk seekor lebah.
Enam detik sebelumnya...
Ada seorang gadis muda dua puluh tahunan berpakaian biru muda dan jeans gelap sedang bergegas menelusuri trotoar dengan semangatnya. Jika ada orang yang baru saja melihatnya, tidak sulit baginya untuk tahu kalau gadis itu sedang terburu-buru. Langkahnya yang cepat mungkin hanya bisa diimbangi oleh seruannya pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, pada telepon genggamnya.
“Ya ampun, honey, angkat donk teleponnya...”
Namun hanya dengungan nada lemah yang terdengar membalas ke telinganya, sebelum akhirnya sebuah rekaman suara menyambutnya, “Hai, ini Jo. Tinggalkan pesan setelah beep dan aku akan meneleponmu kembali.”
“Jo, erm.. dengar, aku sudah banyak berpikir. Aku benar-benar minta maaf karena sikapku tadi siang. Aku mau kamu tahu kalau aku akan menemanimu mulai dari sekarang, tak peduli apapun yang terjadi. Aku sedang dalam perjalanan kesana. Busnya sudah menunggu di seberang jalan ini. Jangan menyerah ya... dan Jo, aku sayang ka..”
Sebuah sedan menabrak dengan suara keras yang hanya bisa ditutupi suara lengkingan rem mobil itu sendiri. Jalan yang sepi itu tidak lagi tampak indah. Aprille terlempar ke tengah jalan bahkan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya terakhirnya.
Enam menit sebelumnya...
Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan. Musim semi telah tiba, daun bermekaran dimana-mana, angin sejuk menggelitik telinga dan kicau burung bersenandung merdu. Tetap saja, Gristle Park tidak pernah terasa begitu menyedihkan.
Aprille duduk termenung di bawah sebuah pohon tua. Tangannya menggenggam sebuah apel merah yang ranum. Ia tidak berniat sedikitpun untuk memakannya. Tapi ia memandangi apel itu dengan penuh ingin tahu. Lalu, tanpa peringatan apa-apa, dia melempar apel itu vertikal ke atas. Dia menangkapnya lalu melemparnya kembali.
“Sif, apa yang kau lakukan?” Aprille berbalik dengan kaget. Apelnya jatuh menggelinding ke entah mana.
“Sam.” Sahut Aprille mengenali lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Entah kenapa dia merasa begitu kecewa melihat Sam. Tapi Aprille sengaja menyembunyikan kekecewaannya dan berkata, “Oh, aku hanya sedang mencari udara segar... dan berpikir.”
Sam memandang Aprille dengan seksama. Sudah terlalu lama dia mengenal Aprille dan Jo sampai dia bisa tahu kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu Aprille sekarang.
“Sif, kau baik-baik saja?” Aprille melirik Sam dengan cepat, seakan Sam telah berbuat sesuatu yang salah. Tapi dia tidak akan bisa membohongi Sam, karena Sam lalu berkata, “Ini soal Jo, kan?”
Aprille diam saja, tidak mengangguk, tidak menggeleng.
“Dengar Sif, Aku sudah kenal Jo sejak dia kecil. Dia tidak pernah bahagia seumur hidupnya. Tapi waktu dia pindah ke kota ini dan bertemu denganmu, dia menjadi orang yang berbeda. Dia menjadi... bahagia.” Aprille memandang Sam seperti baru pertama kali dia bisa melihat dengan jelas. “Aku tahu dia mencintaimu, dia selalu mencintaimu. Dan apapun yang dikatakannya padamu yang mungkin melukaimu, aku yakin di dalam hatinya dia tidak bermaksud begitu, dan dia tidak pernah ragu akan cintamu.”
Perkataan Sam sepertinya telah membuka suatu jendela masa lalu Aprille. Dia bisa melihat masa-masa indah yang dia dan Jo lewati bersama. Dan seperti disambar petir dia mendadak menyadari sesuatu yang sudah dia lupakan, sesuatu yang begitu sederhana.
“Kamu benar Sam. Ya ampun Sam, mengapa aku bisa begitu bodoh? Apa yang kunantikan dengan duduk disini? Dari semua tempat yang bisa kukunjungi, aku datang ke taman ini dengan apel di tanganku... Tentu saja aku cinta padanya. Oh, tidak. Aku tak percaya aku meninggalkan dia di sana sekarang.. sendirian...”
Dan Aprille Schiffer berlari meninggalkan Sam yang terbengong, meninggalkan keraguannya, dan berlari mengejar cintanya. Mendadak saja, Gristle Park tidak lagi terasa begitu menyedihkan, sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu dia sadari.

***

Dua puluh enam kilometer dari tempat itu, di kamar paling ujung dari rumah sakit paling megah di kota itu, berbaring seorang lelaki dua puluh tahunan yang sedang menatap sebuah cincin berlian di dekapan kedua tangan lemahnya. Pikirannya terlukis di permukaan batu itu, karena dia berani sumpah kalau dia bisa melihat wajah Aprille menjawab ya setiap kali dia berpikir akan rencananya melamar gadis itu malam ini.
Jo menyimpan kembali cincin itu dalam sakunya. Ia juga sudah banyak berpikir. Ia mencintai Aprille dengan segenap hati, selalu dan selamanya. Dan dia juga tahu Aprille merasakan yang sama padanya. Oleh karenanya, Jo merasa begitu malu pada dirinya telah meragukan cinta Aprille.
Kepalanya sakit. Jo tahu dia harus istirahat sekarang. Tadi dia kebanyakan berpikir. Dia hampir saja memaksa otaknya untuk menghancurkan diri sendiri. Tidur. Dia butuh tidur.
Jo memeluk bantal warna biru kesukaan Aprille, yang setiap malam juga menemaninya untuk setia berada disamping Jo. Ah, andai waktu lebih cepat berlalu, dan aku akan bisa segera bertemu lagi dengan Sif. Aku sudah rindu padanya. Jo berpikir dengan pelan. Dia masih merasa sakit yang menusuk di kepalanya. Tapi dia juga punya Aprille yang berkelebat dalam benaknya.
Rasa sakit itu datang lagi. Jo tahu dia harus tetap berpegangan dengan Aprille. Jangan lepaskan tangannya.
Rasa sakit itu datang lagi. Begitu hebatnya sampai rasanya kepala Jo sudah membara.
Aku ingat Aprille. Waktu dia tersenyum. Waktu dia tertawa. Waktu dia bernyanyi.
Rasa sakit itu menyerang lagi. Aprille. Aku ingat Aprille...
Enam hari sebelumnya...
Ketika Aprille masuk ke kamar Jo, banyak hal yang menyerangnya sekaligus sehingga dia tidak bisa mencerna semuanya. Apakah itu bayangan beberapa hari lalu ketika Jo ambruk di hadapannya dan dibawa ke rumah sakit ini dalam keadaan yang mengkhawatirkan, atau apakah itu bayangan Dokter Phillip yang menyarankan operasi Cyrosurgery saat dia menyuarakan kecemasannya akan keadaan Jo, atau apakah itu hanya amukan kesedihan Aprille setiap kali ia harus melihat lelaki yang dicintainya berbaring lemah? Disela semuanya itu, Aprille langsung bisa melihat raut muka Jo di tempat tidur. Jo menoleh padanya.
“Hai..” sahut Aprille riang, namun segera diakhiri dengan nada penuh kebingungan. “Apa yang terjadi? Mereka bilang tidak akan mengeluarkan kamu dari ruang operasi paling tidak tiga jam lagi? Kamu baik-baik saja?”
Jo tidak menjawab Aprille. Dia menoleh ke arah jendela, dimana terpampang kesibukan kota yang sudah beberapa hari ini ditinggalkannya.
“Jo?” Ulang Aprille, kian mendesak. Aprille mendeteksi sesuatu di ekspresi Jo yang dia tahu Jo tidak bisa mengeluarkannya. Atau tidak tega.
“Mereka memberiku tujuh hari. Sif, tujuh hari.” Seperti ada yang merogoh jantung Aprille dan menghentakkannya kasar kebawah, Aprille tidak bisa berkata apa-apa. Dia bergegas mendekati Jo dan memeluknya. Tidak dia sadar air matanya mengalir jatuh ke bantal kesukaannya.
“Oh, tidak.”
“Dokter Phillip bilang operasi pendinginan itu tidak berhasil. Mereka hanya bisa menangkat sebagian.”
“Jo, jangan berkata lagi.” Sahut Aprille pilu. “Kamu akan bisa melewati ini. Kita akan.. kamu pasti akan sembuh.”
“Tidak, Sif. Sudah lama ini kuketahui. Dan kini saatnya sudah tiba. Tolong jangan menangis. Aku tak mau kamu menangis. Kamu lebih cantik kalo sedang ketawa.” Tapi Aprille tidak punya sedikit keinginan pun untuk tertawa. Dia tidak tahu harus berkata apa. Maka dia hanya diam dan mendekap Jo seerat mungkin, seakan yakin kalau begitu Jo tidak akan meninggalkannya.
Aprille merasakan tangan Jo membelainya beberapa waktu kemudian.
“Sif, aku sudah banyak berpikir. Kurasa kamu lebih baik tidak disini. Aku.. Aku tak mau melihatmu menyia-nyiakan waktumu bersamaku, kamu masih punya hidup di luar sana. Aku rasa...”
Aprille tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, “Apa maksudmu? Mana bisa aku meninggalkan kamu?”
“Itulah maksudku, dan kamu bisa, Sif. Aku tidak mau kamu seharian disini dan meninggalkan perkerjaanmu. Aku tak mau kamu tidak tidur dan sakit karena harus merawatku. Aku tak mau kamu tidak bisa menikmati kehidupan karena harus bersamaku.”
“Aku tidak ‘harus’ bersamamu. Jo... aku memang mau bersamamu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang begitu?” umpat Aprille, yang benar-benar terkejut. “Jo, ini benar-benar konyol, hanya karena seorang dokter bodoh meramalkan hidupmu tinggal tujuh hari, bukan berarti aku akan meninggalkanmu...”
“Justru itu. Semuanya telah berubah. Aku tidak akan ada lagi untukmu. Minggu depan, aku mungkin sudah mati! Dan aku tak mau kamu ada disana.. kamu seharusnya bahagia...” Aprille menggeleng tak percaya apa yang didengarnya, tapi dia tidak pernah melihat wajah Jo yang begitu sedih dan marah seperti itu. “Kupikir jika operasi ini berhasil, aku akan... padahal aku sudah merencanakannya.. tapi semuanya tidak berarti lagi.. tolonglah, Sif.. pergilah.”
“Tapi aku sayang padamu, Jo... dan kamu juga begitu...”
“Bukankah itu yang membuat semua ini menjadi lebih sulit?”
Jo berpaling. Ia bisa mendengar isak Aprille yang semakin lama semakin menjauh. Aprille sudah pergi. Selesai sudah semuanya. Jo meraih sakunya dan mengeluarkan sebuah cincin berlapis berlian. Ia menatap cincin itu lama sekali sebelum akhirnya dia menutup matanya yang basah.
Enam bulan sebelumnya...
“Jo, apa kamu sudah baca buku yang kupinjamkan itu?”
Waktu itu sedang awal musim dingin. Semua orang lebih suka berdiam di rumah mereka dan nonton TV, tapi Jo dan Aprille sudah berjanji tidak boleh berdiam di rumah sekalipun badai salju menerjang. Mereka harus pergi ke Gristle Park, berdua merayakan Anniversary hubungan mereka yang keenam, dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya.
“Oh, sudah. Tentang apa sih itu? Tiga bab pertama pikiranku selalu bilang ‘Ini kan The Hobbit’, dan dua bab selanjutnya kepalaku bilang ‘Bukan, ini sih bukunya Robert Ludlum’.”
“Haha, siapa yang sangka kamu tidak mengerti judul bukunya waktu kamu baca ‘Men are from Mars, Women are from Venus’.” Sela Aprille santai, mendorong Jo yang sejak tadi tersenyum-senyum. “Hey, tidak sangka yah kita sudah bertahan enam tahun?”
“Iya, kamu sudah jadi tua tuh.” Gurau Jo.
“Hah? Beraninya kamu taruh jinx di anniversary kita...”
“Tenang aja deh, Sif. Hari ini tidak akan kita lupakan.. kecuali kalau kita mati kedinginan.”
Aprille tertawa.
“Kepalamu masih sakit?” tanyanya tiba-tiba, dengan muka cemas seperti biasanya.
“Oh, tidak lagi. Thanx. Kurasa itu hanya migrain.” Jawab Jo. Lalu dia menggenggam tangan Aprille dan menuntunnya sampai dibawah sebuah pohon oak tua. “Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Sif.”
Baru saja Aprille menerbitkan wajah serius-hendak-mendengar-nya, telepon genggam Jo berdering keras, bunyinya lebih menembus tulang dari pada dinginnya udara.
“Oh, Dr Phillip. Mungkin dia mau kasih aspirin.”

***

“Hei, jadi apa kata Dr. Phillip?” tanya Aprille beberapa jam kemudian. Mereka sudah kembali di rumah Jo. Jo baru saja menemui Dr. Philip, yang ternyata ingin bertemu langsung dengan Jo.
“Katanya hasil pemeriksaannya sudah keluar.” Seru Jo lemah. “Dan tampaknya tidak bagus.” Jo memandang Aprille dengan penuh arti.
“Apa maksudmu?” Aprille melirik Jo dengan hati-hati, mencoba memecahkan teka-teki yang terhampar di wajah Jo.
“Katanya... katanya.. aku punya peliharaan tumor di otakku. Terus tumbuh.” Aprille mendekap mulutnya, shok.
“Ini gila. Kamu tidak percaya dia kan? Maksudku.. ayo kita cari pendapat kedua. Apa yang dia sarankan?”
“Menurut dia, kalau ini tumor yang ganas, aku mungkin tidak punya kesempatan. Dan kalau ini sesuatu yang ganas, maka aku hanya punya hitungan bulan... bukan tahun.”
Mereka berpandangan, lama sekali.
“Maaf aku sudah merusak Anniversary kita.” Kata Jo akhirnya.
“Tidak kok. Ngomong-ngomong apa sih yang mau kamu bilang tadi di taman?” tanya Aprille hati-hati.
“Oh, itu tidak penting lagi..” Jo tampak berpikir, tapi Aprille segera bertindak.
“Jo, aku cinta padamu.” Lalu dia tersenyum manis sekali.
“Aku juga, Sif.”
Enam tahun sebelumnya...
Aprille Schiffer paling suka belajar fisika sendirian di sebuah taman di dekat rumahnya. Dia tidak pernah mengundang teman-temannya kesana, karena dia suka kesendirian. Gristle Park menjadi semacam Fortress of Solitude miliknya. Disana, dia bebas melamunkan apa saja yang dia suka. Kadang, dia suka berpikir kalau dia bisa mendapat ide brillian macam si Newton sehingga suatu saat dia bisa menciptakan suatu rumus yang menggemparkan dunia.
Aprille Schiffer juga dikenal sebagai kutu buku di kelasnya, penggemar pelajaran Fisika yang digosipkan lebih menyukai fisika daripada cowok. Padahal dia sudah berumur 17 tahun. Sebenarnya, Aprille tidaklah demikian. Hanya saja, dia memang suka dengan fisika, dan itu selalu memberinya kesan kutu buku yang dalam.
Hari ini dia melempar-lemparkan apel dibawah sebuah pohon oak yang tua, mencoba memahami gravitasi seperti si Newton. Sialnya, dia ternyata bukan satu-satunya orang di taman itu. Seorang cowok sejak tadi meliriknya, ingin tahu apa yang sedang dia lakukan. Sampai suatu saat, ketika cowok itu tidak tahan lagi, dia menyapa gadis itu..
“Kamu ngapain sih lempar-lempar apel ke pohon?”
Aprille terlonjak kaget karena tidak menyadari dia sedang diawasi. Ia menoleh dan matanya memandang seorang lelaki jangkung yang berwajah seperti seekor singa.
“Hah?” seru Aprille. Apelnya terlempar keras dan memantul mengenai kepalanya sendiri.
“Kamu mesti hati-hati sebelum mati karena sakit kepala.” Guraunya tajam.
“Siapa kamu?” Balas Aprille sedikit kesal.
“Mengapa kamu selalu duduk di bawah pohon ini?” tanya balik si lelaki itu.
“Hey, jawab dulu donk.” Umpat Aprille, “Aku memang selalu kesini, kok. Kamu siapa? Aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya.”
“Oh, Aku baru di kota ini. Rumahku dekat taman ini, dan aku suka suasana damai disini. Kalau besok aku kesini, apakah kamu datang lagi?” tanya lelaki itu dengan cepat.
“Mungkin. Emank kenapa?” balas Aprille masih cuek.
“Aku belum punya teman disini, apakah kamu mau jadi temanku?” tanya cowok itu tanpa basa basi.
“Kenapa kamu mau berteman denganku?”
“Karena kamu punya apel.” Katanya dengan polos.
Keduanya tertawa bersamaan. Aprille melihat cowok itu duduk di rumput di dekatnya. Ekspresinya begitu tenang.
“Kenapa kamu belum juga memberitahu namamu?” tanya Aprille heran. Dia tidak pernah melihat seorang cowok yang begitu aneh.
“Oh, aku lupa. Maaf. Kamu bisa panggil aku Jo.” Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Aku Sif.” Sahut Aprille.
“Nama macam apa Sif itu?” umpat cowok itu menyebalkan.
“Nama macam apa Jo itu?” balas Aprille tersenyum, dan dia juga bisa melihat senyum terlukis dengan lembut di wajah cowok itu.
“Bagaimana kalau kita ulangi lagi?”
Lalu cowok itu mengulurkan tangannya dan menyalami Aprille.
“Hi, Namaku Jonathan Fayes. Tidak ada yang panggil aku Jo.”
“Hi juga, aku Aprille Schiffer. Tidak ada yang panggil aku Sif.”

——o0OÔO0o——

All Characters described are merely fiction.
Aprille Schiffer© and Jonathan Fayes© created by Bam, 2006

Komentar Penulis :
Ini mungkin adalah cerpen paling sulit yang pernah kutulis. Aku sudah berencana menyusun sebuah karya tentang cinta yang begitu pahit sejak beberapa minggu silam. Ide-ide untuk cerita ini berdatangan secara terpisah, namun pantas untuk ditunggu. Aku menyelesaikan cerpen ini dalam waktu 4 jam, dan menyempurnakannya selama 2 jam kemudian. Keunikan cerpen ini terletak pada kronologik ceritanya, bagaimana waktu bisa menipu. Hidup berubah, dan cinta bukanlah sebuah pawai kemenangan.
Aku ingat saat-saat ketika aku mencari nama yang cocok untuk si lelaki -Jo. Aku berpikir lama sekali sebelum akhirnya mendapatkan nama yang paling cocok untuk karakter tersebut. Juga, karakter Sam awalnya bersifat antagonis, namun ceritanya akan terlalu panjang jika aku harus memasukkan satu tokoh penting lainnya kedalam cerita ini. Sama untuk kisah ini, sungguh aneh bagaimana suatu hal bisa berubah.

Bam.

Trivia
- Sif adalah kependekan dari Schiffer.
- Kata Gristle berarti tulang rawan.
- Cyrosurgery adalah metode pembedahan tumor di hati dengan nitrogen cair pada suhu -200oC dimana pada suhu itu sel-sel tumor menjadi mati.
- Setting dan latar kisah ini adalah NewYork bulan April 2011 pada awal cerita, yang membawa Sif kembali ke November 2004 pada akhir cerita.
- Narator pada bagian prolog kisah ini adalah seekor lebah.

Friday, February 17, 2006

▫▪▫ Story 0 ▪▫▪

This is a story before the others.
Story 0
An Unfamiliar Glow

Sungguh pagi yang indah. Hari yang indah. Semua yang eksis di dunia tampaknya sedang merayakannya. Kicauan burung, udara sejuk yang meniup telinga, sampai barisan semut yang menari penuh semangat. Aku sangat tidak ingin merusak hari ini, namun kepulanganku ke kota ini hanyalah sebuah kunjungan, dan harus berakhir. Aku pun benci mengakhiri kunjungan ini, tempat dimana masa laluku bisa menyentuhku lagi, walau aku tahu aku tidak mempunyai kenangan yang benar-benar istimewa, aku selalu berpikiran sebaliknya.

Jadi, di hari yang biasa ini, aku bertolak ke pelabuhan, pintu keluar kota ini. Jevy yang mengantarku ke sana, karena aku tidak mempunyai seorang kakak, ayah, ataupun seorang ibu. Jevy tinggal di sebelah. Rumahnya besar dan megah, tapi dia tidak pernah sombong. Ia malah yang menawarkan jaguarnya untuk mengantarku.

Jevy menaruh koperku di bagasi dan mempersilakan aku masuk. Jaguar sungguh mobil yang bagus, walaupun aku tidak begitu suka dengan ide kendaraan yang membuang gas pollutan. Pemanasan global di bumi ini sudah cukup parah.
“Bagaimana liburanmu, Hailie?” tanyanya waktu kami mulai memasuki jalan tol.
“Lumayan,” kataku “Menyenangkan bisa melihat kembali kehidupan kita yang lalu.” Aku memandang santai pemandangan ramai yang terus berkelebat dari kaca jendela.
“Aku akan mengambil jalan di kiri, lebih sepi dan jarang digunakan. Kita tak mau terjebak macet.” Kata Jevi. Aku mengangguk setuju, tidak memandang Jevy yang sedang sibuk berkendara.

Kami masuk ke jalan lebar yang lebih sepi. Tidak ada mobil lain yang tampak, dan ini bukan lagi jalan layang. Jevi mempercepat laju mobilnya. Aku hanya menangkap gambar pohon-pohon sekilas sebelum mereka bergerak mundur melewatiku. Kemudian sesuatu terjadi dengan cepat sekali, membuatku menoleh terkejut ke arah Jevi.

Bahkan sebelum aku sadar apa yang terjadi, terdengar suara rem keras dan sesuatu menabrak mobil kami di sayap kanan belakang. Jevi berseru marah dan memutar stir untuk mengendalikan mobilnya yang sudah mulai oleng. Tapi bukannya membaik, mendadak aku merasa sesuatu yang berat memukul kami dari belakang. Jaguar Jevi terbalik. Sesuatu meledak dan suara letupan keras memenuhi kepalaku. Selama kira-kira sedetik, mobil kami terseret dalam keadaan terbalik. Api menyembur dan membakar kakiku yang tak bisa digerakkan. Panas dan sakit menguasaiku. Lalu terdengar ledakan lagi, dan kali ini lebih keras. Aku merasa seperti terlempar dengan keras. Tubuhku menyentuh sesuatu yang panas dan kasar. Kaki dan kepalaku sakit bukan kepalang, namun semuanya menjadi gelap dan hitam.



Aku mendengar suara-suara teriakan, suara kasar seorang lelaki. Lalu tubuhku bagai ditarik oleh sesuatu. Ketika aku membuka mata, pemandangan didepanku mengerikan sekali. Sekitar empat meter dari tempatku berbaring, dua mobil sedang diselimuti api, keadaannya gosong, terbalik, terpecah-pecah sampai rasanya tak bisa dikenali lagi. Tapi aku bisa melihat Jaguar Jevi yang sedang dilalap api. Isi kepalaku tiba-tiba terasa hilang. Aku melihat sekeliling untuk mencari Jevi, tapi tak ada orang yang aku kenal. Beberapa lelaki empat puluh tahunan keluar dari mobil mereka dan sedang terlihat sibuk bertelepon di ponsel mereka. Seorang lelaki gelap yang pakaiannya gosong berlari ke arahku.
“Nona, kau bisa jalan?” tanyanya sambil berjongkok memeriksa keadaanku.
Lalu aku sadar kesakitan yang melanda tubuhku. Aku tak bisa merasakan kakiku, tangan dan lenganku berdarah-darah dan perutku rasanya seakan disodok keras-keras dengan pemukul gong. Aku menggeleng. Lelaki itu mencoba mengangkat tubuhku, tapi aku meringis kesakitan. Dengan tanganku yang kebas, aku bisa merasakan luka yang cukup parah di dahiku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lelaki itu mengangkatku, berjalan sambil berteriak pada sekitarnya “Dimana ambulansnya!?”



Satu jam kemudian. Aku sampai di rumah sakit. Banyak orang berpakaian biru atau putih mendorongku yang sedang berbaring lemas di atas tandu berjalan.
“Yang lainnya tidak ditemukan. Gubernur dan anaknya juga.” Terdengar suara lelaki tadi. “Dia satu-satunya yang selamat.”
“Langsung bawa ke unit gawat darurat.” Perintah seorang wanita.
Aku merasa bergerak ke ruang ICU. Setelah banyak mendengar suara yang samar-samar di ambulans, kepalaku akhirnya berhasil menyimpulkan beberapa hal. Mobil yang tadi menabrak kami adalah mobil pemerintah yang hilang kendali. Begitu menabrak, sesuatu dari mobil itu meledak dan membalikkan jaguar Jevi. Lalu mobil itu meledak sekali lagi, dan membuat mobil kami terlempar keras dan ikut dilalap api. Pada saat itulah aku mungkin terlempar keluar mobil. Jevi dan yang lainnya tampaknya tak ada yang selamat.

Aku merasa semakin lemah, rupanya aku sudah dibius. Pandanganku semakin kabur. Aku tak bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di depanku, pikiranku tidak bisa merambat lagi, merasa hari biasa tadi tidaklah begitu biasa lagi.



Satu hari kemudian. Aku dipindahkan ke ruang High Dependency Unit, begitu aku selesai dioperasi. Disini, kerabat-kerabatku mulai datang berkunjung. Aunt May datang setiap hari. Ia hanya meninggalkanku sewaktu malam, karena waktu besuk sudah berakhir setiap pukul sepuluh. Aunt May bersyukur sekali aku selamat. Dia terus-terus menangis dan berterima kasih. Dia bilang dia tidak bisa bayangkan kehilangan diriku, padahal usiaku belum sampai muka dua. Dia sudah lebih tenang sewaktu aku bilang dia sudah seperti ibu bagiku. Dan bagiku, dia adalah ibuku.

Lalu Aunt May banyak bercerita. Dia sangat sedih waktu memaksakan dirinya memberitahuku Jevi sudah meninggal. Aku lumayan terkejut, walaupun sudah menduga demikian. Jevi orang yang baik. Tuhan memang kadang punya rencana yang lain. Tapi Aunt May bilang aku sekarang terkenal, karena selain Jevi, yang meninggal dalam kejadian kemarin adalah Gubernur kota tetangga kami beserta anaknya. Karena aku satu-satunya yang selamat, banyak wartawan datang untuk meliput cerita ini, berusaha mendapatkan fotoku.

Hari berlalu dengan lambat dan menyakitkan. Berbagai kejadian bertubi-tubi terjadi di sekitarku, tapi tak ada yang penting dan membuatku terkejut, setidaknya sampai malam harinya. Aku baru saja dibius, dan kondisiku lemah. Aku mendengar ada seseorang yang mau menjengukku. Seorang teman. Aku tak bisa memikirkan siapa, semua sahabatku sekarang sudah sedang ada di luar negeri. Ketika dia memasuki kamarku, aku mengenali gaya bicaranya yang malu-malu. Pete. Dia laki-laki yang aku kenal beberapa tahun yang lalu, sewaktu aku masih sekolah disini. Orangnya sangat penutup dan pemalu. Jangkung. Murah senyum, baik dan ramah. Aku jarang bergaul dengan dia, tapi kami berteman baik. Sewaktu lulus, kami tidak pernah berhubungan lagi. Terakhir aku dengar, dia sedang keluar kota. Aku tak bisa membayangkan Pete datang menjengukku. Dia seperti suatu bagian kecil masa laluku. Tapi disitulah dia, Pete berdiri di depan pintu masuk kamarku. Berbicara gugup dengan Aunt May. Aku mencoba menangkap pandangannya. Mukanya kelihatan pucat, dan dia lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Waktu dia memandangku, dia tersenyum seakan bermaksud menenangkanku. Beberapa menit kemudian, dia melambai padaku malu-malu, dan segera pergi tanpa sepatah katapun.


Satu malam kemudian. Keadaanku semakin membaik. Popularitasku semakin gencar mengejarku, sama sekali tidak kusangka sebelumnya. Beberapa teman sekolahku datang menjengukku. Beberapa darinya bahkan tidak kukenal. Tapi aku lumayan senang mereka datang, dan lumayan malu mereka melihatku saat keadaanku seperti ini.

Pada tengah hari ketiga aku di kamar ini, Pete datang lagi. Kali ini wajahnya lebih rileks dan tidak sepucat sebelumnya. Aku merasa kecewa dengan kunjungan terakhir Pete yang begitu singkat, jadi waktu aku melihat wajahnya sekali lagi, aku merasa bahagia. Suatu perasaan yang asing mendadak saja memenuhi diriku. Aku tak pernah mendapat hal yang seperti ini. Pete duduk, menanyakan bagaimana keadaanku. Tampaknya ia ingin meminta maaf untuk kunjungannya yang terakhir. Tapi dia bertingkah seperti tidak bisa berbicara. Itulah ciri khas Pete. Kalau sudah sampai soal perasaan, dia bisa menjadi yang paling jago, sekaligus yang paling bodoh.

Aku mengangguk pelan, tersenyum. Aku tahu apa yang mau ia katakan. Tiba-tiba saja aku rasanya bisa memahami dia. Waktu pertama Pete mendengar kabarku, mungkin dia shock. Dia selalu baik padaku. Tentu dia tidak mau menggangguku pada malam pertama aku disini, lagi pula aku sedang dibius. Aku tak cukup kuat untuk berbicara. Tapi sekarang sudah lain, kami berbincang-bincang seakan sekarang adalah acara reuni yang terundur. Aku menceritakan lagi kecelakaannya pada Pete. Kami tertawa. Kami mengingat kembali masa terakhir kami bertemu.

Aku sangat berterimakasih karena Pete sudah datang. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan tidak ingat lagi dengan orang ini. Sekarang aku senang dia ada bersamaku. Banyak kenangan lama kembali lagi padaku. Membuatku sadar kalau sesuatu yang kecil terjadi di masalalu, kadang tidak selamanya terlupakan. Kenangan yang biasa saja di masalalu, kadang menjadi yang terindah buat kita. Aku masih ingat kalau dulu, aku pernah merasa Pete suka padaku. Aku begitu cuek dan tidak peduli. Satu hal kecil.
Satu hal kecil.



Aku kalang kabut. Perasaanku tak terkendali. Kepalaku penuh istilah-istilah latin yang tidak aku mengerti. Udara disini pengap sekali, seperti biasa kalau lima puluh orang lebih dikumpulkan dalam satu ruangan yang AC-nya rusak. Susah sekali untuk konsentrasi. Padahal tinggal setengah jam lagi ujian Biologi akan dimulai. Entah apa yang kulakukan semalam sampai tidak sempat menghafal semua catatan ini. Tiga bab. Ilmu taksonomi, cara perkembangbiakan kelajengking, struktur anatomi jantung Pisces, dan sistem organ pada manusia yang terdiri dari sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem respirasi, sistem gerak dan sistem transportasi darah.

Aku pastilah tampak kacau sekali. Temanku Elisha yang duduk tepat disampingku sudah pindah kira-kira setengah jam yang lalu. Ia sudah sadar keadaanku yang berbahaya. Ia tentu juga sadar kemarahanku yang sudah menggelegak dipermukaan bisa tersembur ke siapa saja yang cukup tolol untuk bernafas terlalu keras di dekatku, atau tertawa mendengar lelucon orang lain. Banteng yang terluka ini tampaknya sudah jelas bagi seisi kelas. Tulisan ‘Jangan ganggu aku’ bagai tercoret begitu saja di jidatku, membuat semua orang yang sudah percaya akan lulus Biologi, buru-buru menyingkir sebelum aku meledak.

Aku sedang membaca ulang baris ketiga defenisi dari tekanan osmosis dan sedang sebal tak mengerti juga mengapa aku tidak bisa menyerap kalimat itu kedalam otakku, ketika seorang lelaki kurus berambut hitam terbelah ke samping datang dan duduk disampingku. Aku menoleh tak percaya padanya. Siapa pula yang belum membaca ancamanku, atau terlalu tolol untuk mengerti. Ternyata Pete. Dengan muka cerah seakan tak ada hal lain yang lebih dicintainya daripada duduk di sampingku, dia berpaling padaku.
“Sudah bisa belum?” tanyanya riang.
Selama kira-kira sedetik, aku berniat menimpuk kepalanya yang bodoh itu dengan buku biologiku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Malah, tanpa mengerti apa yang kulakukan, aku menatapnya dan tersenyum lalu berkata,
“Oh, belum.”

Pete tersenyum sekilas padaku, lalu meraih catatan yang tadi sekuat tenaga kuremas, seakan berharap isinya melayang masuk ke kepalaku. Aku tidak melakukan apa-apa selain membiarkannya. Aku tak tahu mengapa aku melakukan itu. Pete selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih. Dia tidak pernah membuatku marah, dan anehnya, tidak bisa. Aku tidak merasa punya rasa suka pada lelaki ini. Walaupun banyak orang yang bilang kalau Pete diam-diam naksir padaku. Aku tetap tak peduli. Bagiku, Pete hanyalah seorang teman. Dan aku tidak mengharap lebih. Tapi rupanya Pete tidak berpikir demikian. Karena dia kemudian membantuku untuk menghafal. Banyak hal yang tidak kuketahui dia terangkan kurang dari setengah jam. Dan walaupun pada awalnya aku sebal dengan interupsinya, aku menjadi lebih tenang karena ada baiknya Pete duduk di sampingku. Aku merasa paling tidak ujian Biologi kali ini aku akan lulus.

Ketika ujian berlangsung, aku dilanda stress, dan kalau itu mungkin, stroke. Aku tak bisa menjawab kira-kira empat per lima dari semua soalnya. Sungguh satu setengah jam yang menyedihkan. Pada belasan menit terakhir, aku sudah pasrah. Sebagian dari diriku tak mengerti mengapa aku tidak bisa menjawab soal-soal ini.

Lalu aku melihat Pete, berdiri di luar kelas menungguku. Kaget, aku hampir saja merobek lembar jawabanku. Untuk apa pula dia berdiri disana? Aku tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Pete memandang ke dalam mataku dari kejauhan dan tersenyum, lalu dia mengacungkan kedua jempolnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Apakah dia mengharapkan aku bisa menjawab semua pertanyaan ini setelah dia membantuku tadi? Kalau iya, dia salah besar. Ataukah dia cuma ingin mengolokku, tahu kalau aku pasti gagal di ujian kali ini... Berbagai pikiran menyelimutiku. Pada akhirnya, aku mengisi acak jawaban untuk soal-soal yang tersisa, lalu bergegas keluar.

Pete langsung menyambutku. Aku rasanya sudah ingin memarahinya. Ingin melampiaskan segala kekesalan hari ini pada mukanya yang ceria dan malu-malu.
“Bagaimana, Hailie?” tanyanya riang, seperti biasa. Sekali lagi, aku mendadak tak ingat rencanaku untuk memukulnya. Aku hanya menjawab lesu, berharap dia pergi dariku secepat mungkin.
“Gak bagus.” Aku menggeleng lemah.

Lalu sesuatu yang aneh terjadi, aku ingat aku sedang berjalan di sampingnya, bergerak menjauh dari kelasku. Pete mengikutiku. Dan rasanya semua beban yang tadi memenuhi kepalaku mendadak hilang. Aku menatapnya heran, seolah yakin Pete punya penjelasannya. Tapi dia hanya memandangku dan tersenyum, lalu berbicara soal cuaca. Pada saat itu, aku tiba-tiba tidak ingin berpikir lagi. Aku lalu berjalan pulang bersama Pete, bicara soal hal-hal yang lain yang tak penting. Tersenyum, aku tak bisa melupakan perasaan ringan ini. Bersama Pete, yang selalu dan selamanya adalah seorang cowok kurus yang sekelas denganku, tiada lebih.



Satu minggu kemudian. Aku sudah operasi untuk yang kedua kalinya, yang membuatku terbangun malam-malam hari berikutnya sambil mengerang kesakitan. Aku sadar bagian yang tersulit belum lewat. Orang-orang yang menjengukku tidak bertambah sedikit, namun wajah Pete tak terlihat lagi dari mataku yang tersiram air mata kesakitan, membuatku sedikit merasa terlupakan. Aneh, aku tak tahu mengapa aku merasa begitu. Tapi aku lalu berpikir-pikir sendiri di kamar itu sewaktu aku menghabiskan hariku yang panjang. Mungkin tidak adil bagiku untuk mengharapkan Pete datang mengunjungiku lagi. Dia ’kan punya hidup. Dan dia juga tidak begitu akrab denganku dulu, waktu di sekolah, ataupun sesudahnya. Aku merasa sedikit muak pada diriku yang egois ini. Walaupun begitu, aku tak bisa tidak mengaku kalau sebagian kecil dari diriku mengharap bisa bertemu Pete lagi.

Makan siangku semakin lama semakin bervariasi, namun apapun yang masuk ke mulutku tampaknya berubah hambar. Sore ini rasa sakit kakiku tak terbayangkan. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis keras-keras. Ingin rasanya aku membagi kesakitan ini dengan orang lain, supaya mereka setidaknya mengerti apa yang kurasakan. Tapi aku tak bisa apa-apa, hanya bertahan tanpa tahu sudah berapa lama aku berjuang.

Lalu ketika Em, sohib baikku pulang, aku melihat wajah Pete bergerak mendekat menuju tempat tidurku. Dia tersenyum dan menyapaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, dan tanpa senyum, aku memandang matanya lama sekali. Tampaknya dia sedikit salah tingkah karena kulihat terus, karena dia buru-buru memalingkan mukanya sebentar sebelum mengobrol denganku. Seperti setiap kali teman baikku menjengukku, rasa sakit yang kurasakan semakin berkurang. Emosi tak terjelaskan menjalari tubuhku. Seberkas cahaya asing yang tak tampak sebelumnya, sekarang begitu pekat. Menyiramiku dengan kehangatan.

Aku sangat senang hari itu. Ketika semua temanku akhirnya pamit pulang, Pete kembali sekali lagi dan meninggalkan sepucuk amplop di hadapanku.
“Aku lupa memberikan ini padamu.” Katanya sedikit malu, lalu pergi setelah meninggalkan surat itu.
Aku membukanya dan menemukan sehelai kartu jingga ramah bertuliskan “Hailie Hope” di atas kalimat lain yang tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berhenti membacanya, tanpa banyak tahu mengapa mataku kembali basah. Tapi aku tahu satu hal, sudah cukup lama sejak air mata bahagia terakhir mengalir turun ke pipiku.

——oОo——


All Characters described are merely fiction. Hailie Hope© created by Bam, 2004

Komentar Penulis :

Cerpen ini aku tulis tahun 2005, aku lebih suka menggambarkannya sebagai suatu bab dari jurnal hidupku. Walau cerita ini bukanlah kisah nyata, beberapa hal yang kualami memberikanku inspirasi. Pete, aku suka tokoh yang aneh-pemalu-tapi-mengesankan ini. Mirip seseorang yang dulu aku kenal. Hailie Hope, mungkin adalah karakter favoritku. aku menciptakan dia sekitar lebih dari setahun lalu, dan sampai sekarang aku masih berharap bisa bertemu seseorang yang seperti dia. Cerita ini berlatar di tahun 2018-2019. Yah, karena hidup adalah masalah bagaimana kita menjalani waktu.
Bam.